Perspektif

Melawan Narasi Populisme Islam ala Mu’tazilah

4 Mins read

Islam dapat dipahami sebagai suatu jalan menuju silmi, yaitu jalan menuju perdamaian dan keselamatan. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 208, disebutkan bahwa, “…udkhulu fissilmi kaaffah.” (Hilwin Nisa’: 2017). Maka dalam mencapai suatu kedamaian, keselamatan, maupun ketenteraman, Islam tidak hanya meliputi aspek kesalehan ritual. Akan tetapi, juga meliputi kesalehan sosial.

Apabila kesalehan ritual ter-refleksi ke dalam bentuk salat, zikir, dan lain sebagainya, maka kesalehan sosial tercermin dalam wujud pembuatan panti asuhan, sekolah, rumah sakit, maupun politik.

Akan tetapi, fenomena gerakan politik yang dilakukan oleh beberapa kelompok umat Islam hari ini menjerumuskan pada narasi populisme. Hal ini apabila terjadi di suatu negara berkembang dengan kelompok umat Islam menjadi mayoritas, maka akan sangat mungkin intoleran akan terjadi, khususnya kepada minoritas.

Definisi Populisme

Dalam sebuah karya berjudul Politics of Citizenship in Indonesia yang diterjemahkan oleh Lukmanul Hakim, menjelaskan bahwa populisme merupakan suatu strategi politik yang diterapkan oleh elite untuk memobilisasi dukungan dan legitimasi massa.

Ada beberapa slogan yang sering diucapkan oleh para elite untuk membentuk karakter populis seperti ‘dekat dengan rakyat’, ‘dekat dengan umat’, ‘mengetahui apa yang di inginkan oleh rakyat’, ‘berbicara atas nama rakyat/umat’, dan lain sebagainya.

Populisme yang dianut ini lebih sebagai suatu gaya dalam berpolitik ketimbang suatu ideologi yang pro rakyat (Eric Hiariej et al., 2018: 104).

Populisme menjadi payung atas berbagai aliansi kepentingan dalam elemen kelas menengah yang mewujud dalam gerakan. Misal di dalam Pilkada yang sudah semakin dekat, perspektif populisme ialah melakukan suksesi secara absolut (Wahyudi Kumorotomo et al., 2020: 204).

Mereka akan mengandalkan kharisma, kemampuan berorasi, serta berwacana yang mampu memukau kelas menengah dan kaum akar rumput.

Baca Juga  Bagaimana Cara Menjadi Kritis Sekaligus Humanis?

Contoh kasus gaya populis yang mungkin masih kita ingat dalam demokrasi di Indonesia ialah Pilkada DKI Jakarta. Manuver yang dilakukan gerakan ini mampu membalikkan prediksi hasil Pilkada dari para ahli.

Populisme dengan berbagai gerakannya sebenarnya bukanlah hal yang dikehendaki dalam iklim demokrasi. Memang, di satu sisi, ia memberikan pengharapan dan penghargaan terhadap kalangan yang selama ini disebut sebagai silent majority.

Namun, di sisi lain, ia cenderung mengkotak-kotakkan masyarakat serta menimbulkan kebencian terselubung (Syamsuddin Haris et al., 2019: 76-77). Dan hal ini bisa menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu tergantung pemicu yang akan muncul nantinya.

Apalagi, hari ini kita sudah dekat dengan Pilkada, dan narasi-narasi populis ini sudah mulai kita dengar nyaring suaranya.

Narasi Populis di Indonesia

Ancaman umat manusia hari ini ialah oleh teknologi-teknologi konkret. Seperti banjir alat-alat, banjir informasi, serta segala hal yang disebabkan oleh teknologi masa kini (Yuval Noah Harari, 2018: 351).

Dalam kondisi pandemi hari ini, teknologi menjadi suatu demagog dalam kehidupan manusia. Segala aktivitas yang biasanya di lakukan secara langsung atau bertatap muka, kini dipaksa dilakukan secara maya. Smartphone, laptop, jaringan seluler, maupun wifi, menjadi suatu kebutuhan pokok hari ini.

Kegiatan keagamaan juga tak luput dari dampak tersebut. Misalnya, jika kita biasa menghadiri majelis-majelis ilmu secara langsung ke masjid-masjid. Hari ini kita dapat menghadirinya melalui rumah masing-masing.

Cukup dengan laptop atau smartphone, serta jaringan seluler yang stabil, kita tetap bisa menghadiri majelis ilmu melalui Zoom atau Google Meet. Tidak hanya itu. Youtube, Instagram, Telegram, maupun group-group Whatsapp, juga menjadi media penyampai yang banyak diminati oleh banyak orang.

Baca Juga  Tiga Cara Memahami Populisme

Namun apabila tidak dibekali literasi, saring, dan asal sharing, media-media tersebut bisa menjadi sumber penyebaran narasi populis yang berakibat pada kebencian terselubung.

Banyak ustaz dan pendakwah dadakan muncul serta berakibat pada simplifikasi ilmu. Belum jelas keilmuannya hanya membawa satu ayat atau penggalan hadis. Namun, disebabkan banyaknya followers dan subscribers, mereka pun menjadi rujukan.

Fanatisme yang Dapat Menjadi Bibit Terjadinya Populisme

Selain itu, fanatisme kelompok terhadap suatu tokoh menjadi bibit terjadinya populisme. Kita masih ingat, minggu lalu salah satu tokoh pendakwah Islam di Indonesia tiba dari Arab Saudi. Di tengah kondisi pandemi yang masih belum jelas statusnya, para pengagum dan pengikutnya yang diklaim berjumlah puluhan ribu hadir untuk menyambut dan menjemput kepulangannya.

Banyak yang beranggapan bahwa ini sebagai bentuk kebangkitan politik sayap kanan. Namun, hal ini juga bisa menjadi kebangkitan populisme dengan narasi keislaman.

Hal ini bisa terjadi sebagaimana ungkapan Prof. Hamdi Muluk, bahwa warga negara yang belum makmur mudah terkena godaan populisme. Dan populismenya lebih banyak (bercorak) agama.

Mengapa mereka bisa tergoda? Sebab, mereka adalah yang hidupnya merasa tidak pasti dan terancam. Menyukai narasi yang menawarkan jawaban hitam-putih (MM Ridho: 2020).

Dan akhirnya apabila narasi populisme ini dibiarkan, akan berdampak pada intoleransi, sikap ekstrimis. Dan kita akan lebih banyak mendengarkan orang mengkafir-kafirkan, bahkan kepada sesama muslim, karena tidak se-golongan atau se-mazhab.

Mu’tazilah sebagai Alternatif Wacana dalam Menghadapi Narasi Populis

Dalam sebuah artikel berjudul “Demonising Populism Won’t Work-Europa needs a Progressive Populist Alternative”, Chantal Mouffe, seorang profesor di bidang ilmu politik ini, memberi sebuah alternatif wacana dalam menghadapi narasi populis.

Menurutnya, hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi narasi populis ialah menyingkirkan pandangan simplistik dari media yang menghadirkan populisme sebagai demagog belaka, serta perlu mengadopsi perspektif analitis terhadap populisme (Chantal Mouffe: 2018).

Baca Juga  Al-Walla wa al-Barra: Tafsir Manipulatif Kaum Jihadis

Mengadopsi perspektif analitis, mengingatkan kita terhadap suatu aliran teologi dalam Islam yang dikenal sebagai rasionalis.

Aliran tersebut ialah mu’tazilah. Terlepas dari peristiwa minhan mengenai pandangan Al-Qur’an itu makhluk atau qadim, pola pikir rasional ala mu’tazilah ini bisa menjadi alternatif dalam menghadapi narasi populis.

Sebab, tidak dapat kita pungkiri bahwa sikap yang rasional dalam beragama ala mu’tazilah ini mampu mempengaruhi khalifah Ma’mun al-Rasyid dalam mendorong pemikiran rasional dan filsafat. Hingga akhirnya, berimplikasi pada penyiapan ruang penelitian bagi keilmuan Islam, bahkan keilmuan sains, yang membuat Islam pada akhirnya mengalami masa keemasannya.

Bahkan menurut Muhammad Kamal, aliran ini merupakan sekolah rasionalis pertama dalam sejarah pemikiran Islam. Yang mampu menafsirkan dogma agama ke dalam cahaya nalar manusia (Muhammad Kamal, 2003: 27-29).

Tidak hanya itu, sikap moderat ala mu’tazilah juga bisa menjadi alternatif wacana. Sebagaimana dalam sejarahnya, mu’tazilah ini mengambil posisi di antara kedua pendapat terkait dosa besar.

Kala itu, ada dua kelompok besar aliran teologi dalam Islam.

Pertama, Khawarij yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar itu kafir dan halal darahnya. Sedangkan yang kedua, Murjiáh menyatakan bahwa mukmin yang berbuat dosa besar biarlah Allah yang menentukan. Namun, mu’tazilah memilih untuk tidak mengklaim kafir dan tidak pula berpandangan seperti Murjiáh (Harun Nasution, 2016: 40).

Dua sikap mu’tazilah yakni berpikir rasional dan bersikap moderat ini, bisa kita jadikan sebagai alternatif wacana dalam menghadapi narasi populis.

Editor: Zahra

Rizaldy Muhaimin
5 posts

About author
Mahasiswa S1 Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds