Setiap tanggal 29 Oktober, warga Turki memperingati hari jadi Republik Turki. Pada tanggal 29 Oktober 1923, Mustafa Kemal yang kemudian dikenal sebagai Ataturk (Bapak Bangsa Turki), mengumumkan berdirinya Republik Turki. Setelah melewati berbagai perjuangan perang dan konfrensi, Ataturk memutuskan untuk mengubah konstitusi negara Khilafah menjadi Republik Turki yang berdaulat.
Berdirinya negara Turki Modern merupakan pemutusan negara Turki secara radikal. Dimana, bentuk negara kekhalifahan yang bertahan selama kurang lebih enam abad yang pernah berkuasa di wilayah ini, atau yang biasa disebut dengan Ottoman atau Turki Usmani, berhasil dipotong masanya dan diganti dengan sistem pemerintahan modern, dalam hal ini Republik.
Mustafa Kemal Ataturk melihat bahwa Ottoman sudah memasuki negara penyakitan atau dalam istilah Barat, the sick man of europe. Sehingga, hal inilah yang mengilhami Mustafa Kemal untuk mengakhiri pemerintahan khilafah yang dia lihat sudah tidak akan bisa lagi bertahan lama lagi, lalu mendeklarasikan negara Republik Turki Modern.
Ataturk ingin melihat Barat sebagai role model negara yang berperadaban maju. Maka dari itu, ia ingin menerapkan sekularisme atau laiklik sebagaimana yang diterapkan negara Prancis atau Amerika.
Ataturk ingin membatasi praktik-praktik keagamaan yang dulu sangat ramai pada zaman Ottoman dengan menerapkan kebijakan sekularisme radikal atau assertive secularism. Ataturk menerapkan kebijakan yang bersifat top-down atau dengan memaksa perintah dari atas dalam hal ini pemerintah Turki kepada masyarakat sebagai subyek dengan radikal.
Asal Usul Sekularisme Turki
Pada akhir abad kesembilan belas, ketika Ottoman mulai memasuki masa senjanya, para pemikir dan aktivis di wilayah tersebut berusaha menyelematkan negara tersebut dengan serangkaian ide. Dari beberapa ide atau gagasan lain itu adalah Turkisme, Islamisme, dan Ottomanisme. Semua buah ide tersebut saling berdialektika dan dari beberapa di antaranya masih bisa dijumpai hingga sekarang.
Jika ingin melacak melalui perspektif historis, maka kebijakan sekularisme Turki bisa dilacak melalui gerakan-gerakan kemerdekaan awal, dalam hal ini salah satu contohnya adalah Turki Muda.
Turki Muda pada awalnya banyak mengkritik lembaga-lemabaga tradisional yang ada di wilayah Ottoman. Banyak dari anggota mereka yang menerima dan mengenyam pendidikan di negara-negara Eropa khususnya Prancis.
Dari kaum Turki Muda inilah lahir organisasi CUP (Komite Pejuangan dan Persatuan – Ittihad ve Terakki Cemiyeti) yang pada masanya berhasil memaksa Abdulhamid II untuk membuka kembali parlemen Ottoman.
Westernisasi adalah tujuan utama CUP. Oleh karenanya, mereka mendirikan beberapa sekolah yang berorientasi Barat. Pada 1916, Syeikhulislam dikeluarkan dari kabinet, pengadilan Syariah dipindahkan yurisdiksinya ke kementerian kehakiman, dan beberapa administrasi yang menyangkut masjid dan madrasah atau sekolah agama dipindahkan yurisdiksinya dari kementerian agama ke yayasan yang baru (Kuru, 2009: 212).
Dari organisasi CUP inilah lahir beberapa tokoh pemikir dan ideolog dari Republik Turki modern yang kemudian dikenal dengan kebijakan sekularismenya. Misalnya ada Ahmad Riza yang dikenal dengan idelog positivismenya, Ziya Gokalp yang terkenal dengan ide nasionalismenya, Pangeran Sabaheddin yang dikenal dengan idenya tentang individualisme. Tokoh-tokoh ini mendapatkan pengaruh dan ide atas persentuhannya dengan karya-karya sosiolog Prancis yang terkenal.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bernard Lewis, Ahmed Riza mendapatkan ilham atas pemikiran positivis August Comte dan sangat mempengaruhi perkembangan radikal dari sekualrisme Turki.
Sekularisasi Negara Tuki
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, Ataturk guna mewujudkan cita-citanya terhadap negara Turki yang baru, berusaha meniru yang sudah terjadi di Barat. Maka, penerapan teori dan pengaplikasikannya pun meniru apa yang sudah dijalankan oleh negara Barat dalam hal ini Eropa.
Misalnya, Negara Turki menggunakan kode hukum Swiss sebagai pengganti hukum syariat yang diterapkan di negara Turki. Status perempuan kini sama di hadapan hukum serta tidak ada lagi penggolongan orang-orang non-Muslim. Kristen dan Yahudi pun mempunyai kedudukan sama di hadapan hukum. Selain itu, hukum negara Turki juga mulai menerapkan pakaian yang dipakai oleh masyarakat Barat seperti jas dan melarang pemakaian fez atau topi merah.
Di samping itu, ia ingin membatasi peran agama dalam hal ini Islam, yang dahulunya mendapatkan ruang yang bebas pada pemerintahan Ottoman. Hal ini tidak terjadi ketika negara Turki mulai menerapkan kebijakan sekularisasi yang berusaha membatasi aktivitas dan ajaran keagamaan.
Hal ini tentu saja dengan membubarkan institusi kekhalifahan pada 3 Maret dan pemimpinnya kini bukan lagi seorang khalifah, melainkan seorang Presiden, dalam hal ini Mustafa Kemal Ataturk yang memimpin, hingga kematiannya pada 10 November 1938. Lalu, membubarkan institusi syaikhulislam yang dulunya merupakan pemegang keputusan tentang hukum.
Turki Ottoman yang terkenal dengan corak Islam Sufismenya pun terkena imbas dari kebijakan sekularisasi ini. Ottoman dulu pernah melahirkan beberapa tokoh sufi terkenal beserta tarekat-tarekatnya yang masih bisa dijumpai hingga kini. Misalnya sufi besar seperi Maulana Jalaluddin Rumi yang terkenal dengan tarekat Maulawiyah yang makamnya terdapat di Konya. Begitupun seperti Haci Bektas Veli yang kemudian tarekatnya dikenal dengan tarekat Bektasiyah yang merupakan tarekat heterodoks yang dianut sekitar 20% warga Turki Anatolia.
Kebijakan-kebijakan sekularisme kepada kaum tarekat antara lain pembatasan aktivitas zikir dan praktik ibadah-ibadah dari tarekat-tarekat tersebut dan penutupan pondokan sufi sebagai pusat ibadah dan perkumpulan jamaah, yang di Turki dikenal dengan tekke.
***
Hal inilah yang menyebabkan beberapa tarekat melalukan aktivitasnya dengan diam-diam atau bawah tanah. Hal inilah juga yang berimbas kepada penutupan Turbe atau makam-makam suci dari para wali atau orang suci, serta pelarangan menggunakan gelar seperti dedes, babas, mursid, dervis, celebi, seyh, dan emir yang merujuk pada istilah-istilah dalam tarekat.
Selain itu, sekularisme juga menyasar pada praktik-praktik kebudayaan lama dan menggantinya dengan yang baru. Seperti pengubahan hari libur yang semula merupakan hari Jumat diganti dengan hari minggu. Lalu penggunaan kalender Georgia dan diikuti dengan pengenalan huruf alfabet dan penggunaan bahasa Turki.
Itu semua merupakan beberapa proses dari sekularisme Turki yang berjalan setidaknya selama sebelas tahun, mulai tahun 1924 hingga 1935.
Selanjutnya Mustafa Kemal mendapatkan gelar Ataturk yang berarti (Bapak Bangsa Turki), yang mana gelar ini tidak boleh dipakai oleh rakyat Turki, dan gelar ini berlaku hanya berlaku bagi Mustafa Kemal saja.
Editor: Yahya FR