Sekitar pukul sepuluh seorang rekan guru membawa dua koran tempel di meja. Ini habis dicopot anak-anak, katanya. Lebih buruk lagi, juga diinjak-injak. Koran itu tampak ringsek, ada sobekan di sisi-sisinya dan lagi beberapa bagiannya basah. Padahal, baru tadi pagi saja koran ini ditempel di mading tersebut.
Kala koran itu diberikan, kami kebetulan tengah mengevaluasi tulisan yang baru pagi tadi terbit itu. Sontak mata salah seorang penulisnya memandang koran ini dengan berkaca-kaca. Saya tahu betul bagaimana perasaannya saat itu, tentu saja marah, terhina, dan mungkin saja merasa jerih payahnya sia-sia.
Dua orang lain yang juga anggota redaksi tampak memaki. Jika saya tak salah dengar, salah satu dari mereka kedapatan mengumpat anjir! Saya sendiri cuma membiarkannya saja. Ini bagian dari proses. Mereka juga harus segera tahu, menulis tak seindah yang mereka kira!
Terus terang saja, tiga bulanan ini saya dengan seorang rekan guru memang tengah mengajak sebagian anak-anak kelas sepuluh untuk menulis. Saya tak menyangka mereka bisa dan bahkan dengan senang melakukannya.
Sedikit contoh ini kiranya sudah dapat memangkas mitos absolut yang selalu digadang-gadang pada siswa, anak remaja sekarang ini manja-manja, tak punya visi dan juga alamat sentimen negatif lainnya.
Orang Dewasa yang Belum Mengenal Dunia Remaja
Maka, jika masih ada penilaian begitu, agaknya itu karena dua hal saja. Jika bukan kita yang terlalu angkuh, maka, kitalah para orang dewasa ini yang gagal atau tak cukup mengenal dunia remaja.
Ada jarak, frekuensi yang berbeda, dan juga cara berbahasa yang amat berlainan. Alih-alih memahami, terkadang para orang dewasa ini cukup puas dengan hanya menghardik! Ini juga berlaku dalam dunia literasi.
Padahal, para remaja, seperti halnya orang dewasa, mereka pun sama-sama punya sisi hitam dan putih, ada yang rajin dan ada pula yang malas membaca.
Suatu kali saya pernah membawa beberapa novel ke kelas. Mereka rebutan ketika saya tawarkan minjamkan novel tersebut. Saya pikir mereka hanya akan meminjam tanpa benar-benar membacanya. Dugaan saya salah ternyata.
Seminggu kemudian beberapa dari mereka mengembalikan, ketika saya tanya isinya, mereka juga bisa menceritakan. Artinya, mereka benar-benar membacanya. Malahan beberapa anak juga sering bertanya, “Ada buku yang bagus kayak gitu lagi?” Kebetulan saya memang sengaja milihkan novel-novel yang menurut saya bagus.
Ketika ditanya tentang perpus, beberapa menjawab tidak tertarik. Saya coba ngintip perpus, memang tempatnya tak cukup baik bagi remaja.
Terang saja, misalnya, remaja lebih senang dengan tempat yang sebut saja instagramable. Isinya pun juga begitu, buku paket sumbangan pemerintah dan beberapa buku lainnya yang sudah lama tak diugrade.
Saya kira nyaris semua sekolah juga bernasib sama. Lagi pula, kata mereka lagi, mereka tak punya cukup waktu untuk pergi ke perpus. Lantas gimana biasanya membaca? ada yang bilang tidak pernah! Yang lain lagi bilang, membaca di situs bacaan daring. Satu hal yang penting dari sini, ada loh yang mau membaca…
Ketika saya usulkan untuk belajar nulis dan membikin jurnalistik di sekolah mereka juga mau. Bahkan, ini sungguh di luar dugaan saya, ketika beberapa koran tempel bisa terbit!
Menulis: Bekerja untuk Keabadian
Kembali pada soal koran ringsek tadi, saya jadi ingat ketika mengutip ucapan Pramoedya itu kepada mereka, “Menulis bekerja untuk kebadian”. Siapa yang tak terpukau dengan kalimat itu.
Apalagi, setelah mendengar kutipan itu, salah seorang dari mereka langsung mengubah deskripsi grup Whatsapp, “Selamat berkarya rekan-rekan, menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Saya sedikit terharu, dan saya baru menyadari imajinasi remaja bisa jauh lebih tajam daripada saya!
Tapi kenyataannya, mereka mendapati karya mereka sudah ringsek meskipun tak sampai sehari koran itu ditempel. Bagaimana menulis tadi bisa disebut keabadian, dikatakan fana pun belum cukup! Lantas, apakah saya perlu memotivasi mereka? Tidak!
Ini pelajaran berharga. Ini adalah kenyataan yang ada, tak semua orang suka membaca apalagi menulis. Maka, jika sampai ada kejadian begitu, ya lumrah.
Tapi apakah semua tidak membaca dan akan dengan beringas menyobeknya? Tunggu dulu! Itulah yang terjadi beberapa menit setelahnya, satu dua siswa kedapatan tengah membaca. Coba lihat, ada loh yang membaca, kata saya. Mereka kembali tersenyum lagi meskipun koran yang ringsek itu masih kedapatan di depan mereka.
Ya seperti inilah nantinya, ada yang mau membaca tulisan mereka, ada yang akan memuji, juga memaki, bahkan mungkin respon bertindak anarkis dengan menyobeknya seperti itu.
Jujur saja, peristiwa koran ringsek itu membuat saya sedikit waswas. Saya tahu betul karakter mereka, misalnya, kerja sedikit banyak eksis. Ini bukan sentimen. Sama sekali bukan.
Justru ini bagian dari berada dalam frekuensi para remaja itu. Eksis semisal potret aktivitas saat bekerja memang kerap menjadi prasyarat untuk menjaga energi semangat mereka. Persoalannya, bagaimana sikap mereka dengan menulis yang nyata-nyata tak memberikan ruang eksis lebih ini?
Bahkan, jika melihat koran itu ringsek, tentu saja mereka sudah tahu, ada sebagian –bisa sedikit atau bahkan sebaliknya– yang tak meminati karya mereka.
Tapi toh saya lupa, tak semuanya begitu kan, mungkin mereka yang ada di depan saya ini lain yang liyan itu.
Membudayakan Literasi
Benar saja, salah penulis yang tadi matanya berkaca-kaca lantaran koran itu ringsek masih mau menanyai perihal teknik kata sambung, juga beberapa kata baku.
Beberapa lainnya, juga membicarakan inovasi yang bisa mereka lakukan dengan wadah ini. Sesekali saya tetap bicara tentang membaca dan menulis, mereka tampak mencatat dalam ingatan mereka.
Pada akhirnya, yang paling penting bagi saya, mereka tetap mau membaca dan menulis. Selama dua hal itu tetap terjaga, tak ada yang mesti dipersoalkan lagi kan? Saya kira untuk sementara ini sesederhana itu bukan membudayakan literasi bagi remaja, mau mengajak mereka, membawakan buku dan juga meluangkan sedikit waktu diskusi dengan mereka.