Parenting

Mengapa Was-was Anak Kecanduan Gawai?

4 Mins read

Mengapa kita was-was berlebihan kepada anak yang menggunakan gawai? Jangan-jangan, kita inilah yang kurang tepat atau bijak menggunakannya. Lantas, berdalih “gawai” menjadi “candu” bagi anak sebagai kambing hitamnya. Lalu bagaimana menyikapi kekhawatiran akan anak yang kecanduan gawai?

Dalam keseharian, kita sendiri begitu akrab dengan gawai. Hampir setiap hari, gawai tak bisa lepas dari genggaman kita. Bisa dibilang, kita inilah pecandu gawai. Sementara, anak kita hanya mengikuti perilaku kita saja.

Toh, tak sedikit dari kita membawa gawai ke ranjang tidur. Menggenggam gawai dari mau tidur hingga bangun tidur. Bahkan saat paket kuota habis, kita seperti kelimpungan. Panik tipis-tipis.

Anak Kecanduan Gawai?

Setuju atau tidak, begitulah cerminan keseharian kita. Kita tidak bisa mengelak dari gawai. Lah, mau berpergian saja, tanya alamatnya ke gawai. Ditambah sering sekali menyibukan diri di tengah hiruk pikuk era digital. Paling tidak untuk sekadar update status di medsos (media sosial).

Saya sendiri pun demikian. Gawai ya bikin candu. Ditambah gawai itu memang menyenangkan. Darinya kita bisa seolah tersambung dengan banyak teman-lintas wilayah. Bisa berselancar mengetahui banyak hal. Jika tak sibuk, saya otak-atik berbagai aplikasi yang disediakan di dalamnya. Itu terkesan gratis. Padahal, ya enggak juga.

Lihat saja, untuk mengoperasikan perangkat gawai kita itu, ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Pertama, kita bisa mengoperasikan aplikasi yang ada. Lalu memasukan berbagai data privasi di dalam ketentuannya. Semua dengan ikhlas dan cuma-cuma kita serahkan. Padahal, kita sendiri tidak tahu bagaimana nasib data itu sendiri.

Syarat lainnya, tentu saja tinggal di daerah yang punya jaringan internet, juga punya paket kuota. Kalau mau sedikit ribet, bisa menyiasatinya dengan nebeng wifi gratisan.

Meski menyenangkan, tidak sedikit orang punya kekhawatiran berlebih terhadap gawai. Khawatir jika anaknya menjadi kecanduan gawai. Anaknya jadi tidak bermain atau bersosialisasi dengan teman sebayanya. Dan beragam alasan lainnya, yang bla bla bla, banyak sekali.

Baca Juga  Hubungan Orang Tua dan Anak adalah Hubungan Kemanusiaan

Anak adalah Peniru Ulung

Kita khawatir, tapi sekaligus tidak bisa menghindar. Mungkin, kita sendiri yang sebenarnya kecanduan. Tapi, yang terjadi malah meminta si anak: “jangan main gawai, jangan main game online, dan jangan lama-lama dengan gawai,” sambil khusyuk menggunakan gawai di genggaman tangan.

Saya sedang tidak menyalahkan. Toh, banyak alasan orang tua berlaku seperti itu. Ada yang memang karena kebutuhan bekerja, seperti menjadi admin online shop, deadline menulis berita, artikel dan sebagainya. Bisa juga, kejar target membuat laporan tugas kantor. Tapi, ada juga yang cuma ngintip-ngintip gibahan grup WhatsApp. Atau sekadar hahahihi berbalas komentar di medsos. Saya juga sering begitu. Hahaha.

Jika sudah begitu, kenapa mesti larang anak kita memakai gawai? Apalagi mesti marah-marah ke anak kita. Bukankah anak-anak itu peniru ulung perilaku kita sehari-hari? Kendati tidak berlaku umum, pepatah “buah tidak akan jatuh dari pohonnya,” sepertinya masih berlaku bos. Setidaknya di masa perkembangan si anak.

Lalu ada yang bertanya. “Bagaimana bisa lepas dari jeratan gawai? Apa cara agar anak-anak kita tidak sampai candu dengan gawai?” Ya, silahkan saja konsultasi ke psikolog, atau ikut seminar-seminar parenting. Siapa tahu bisa ketemu jawaban dari persoalan anak kecanduan gawai. Toh, sekarang banyak kok, seminar parenting online. Nah kan, online lagi. Pakai gawai lagi.

Penggunaan yang Tak Terhindarkan

Tapi begini. Kemarin bersamaan hari aksara, Facebook mengingatkan saya dua postingan beberapa tahun lalu. Pertama, postingan saya yang memperlihatkan anak saya sedang bersama laptop di ruang perpustakaan keluarga. Postingan itu tertulis caption, “Ken mau bantu ayah nulis.” Kedua, postingan istri yang memperlihatkan foto anak saya sedang bermain-main dengan buku. Captionnya, “Ken, pagi-pagi sarapan buku.”

Jika dilihat dari tahunnya, anak pertama saya itu masih berusia tiga tahun. Usia yang cukup belia untuk kenal buku. Hanya saja, istri saya memang hobi menyediakan banyak buku anak untuk koleksi perpustakaan keluarga di rumah. Ken-anak saya yang pertama-, sejak usia setahun sudah mulai dikenalkan dengan banyak buku oleh Mama-nya. Mulai buku cerita yang penuh gambar sampai buku berbahan kain dan berbentuk bantal.

Baca Juga  Anak Usia Dini Jangan Dipaksa Calistung!

“Masih kecil kok sudah dibelikan buku?” tanya salah satu saudara kepada istri saya suatu ketika. “Kan kalau sejak dini dikenalkan pada buku, setidaknya anak jadi akrab. Syukur-syukur cinta. Dan kalau sudah cinta, InsyaAllah bakal suka dan mau membacanya,” katanya istri, yang membuat saya senyum sambil nguping pembicaraan diam-diam.

Oke. Katakan dua foto itu menunjukkan aktivitas berliterasi sedari dini dalam keluarga. Setidaknya terlihat dari aktivitas gambar foto dan caption yang tertera. Katakan membudayakan buku di rumah, mulai membacakan, mendongeng atau sampai menulis.

Tapi, waktu saya dan istri saya memfoto anak saya itu, juga pakai gawai. Jadi, secara otomatis anak saya melihatnya. Belum lagi, saya dan istri juga sering-katakan saja khilaf- menggunakan gawai di depan anak. Entah saat saya lagi bikin berita, lagi nonton televisi, atau lagi ngobrol santai di ruang keluarga. Bahkan saat update-update foto koleksi buku itu sendiri.

Kasih Saja Gawainya

Dari situ, saya dan istri tidak bisa mengelak dari pandangan anak. Yang ternyata, diam-diam penasaran dengan kelakuan saya menggunakan gawai yang menyolok mata. Akhirnya anak pun meniru sama persis. Sialnya lagi, setelah anak kenal gawai, banyak aplikasi yang menarik. Mulai dari animasi, video sampai beragam game yang terus menjerat anak lebih terpikat penasaran.

Jangankan anak-anak yang punya rasa ingin tahu lebih, kita-kita yang mengaku dewasa juga sering demikian. Bahkan seringkali tidak terkontrol toh? Asik dengan game online atau perkacapan di medsos. Maka, tanpa sadar kita sering menyontohkan sedari dini juga kepada anak-anak kita dengan gawai.

Istri saya sempat panik menyikapi situasi ini. Dia sampai cari-cari informasi, dan lewat gawai lagi. Sampai akhirnya, kita bicara banyak hal soal situasi ini saat si anak tidur. “Gimana ini mas, biar anak enggak kecanduan gawai?” tanyanya. “Kasih saja gawainya,” jawab saya. “Loh kok gitu?” balik tanya istri saya bingung. “Tapi kan ya harus tetap diawasi dan dikontrol. Aplikasi gawai juga banyak permainan yang edukatif. Kenapa tidak justru dimanfaatkan saja?”

Istri saya coba metode hasil obrolan tersebut. Tapi, rupanya tidak mudah juga. Butuh kesabaran dan ketelatenan tingkat dewa. Apalagi si anak tetap masih lebih suka dengan gawai daripada dengan buku-bukunya yang lama.

Baca Juga  Perceraian dan Kekerasan Anak di Tengah Pandemi Covid-19

Akhirnya, kita coba kombinasikan dengan cara lain. Lebih sering pergi ke toko buku, perpustakaan umum, dan museum. Juga tempat-tempat rekreasi, bahkan kafe, dan ruang publik lainnya. Tujuannya lebih menyenangkan si anak dan bisa mengalihkan perhatian ke hal lain. Syukur-syukur tempat-tempat itu banyak buku atau hal-hal yang bisa menjadi bahan cerita.

Lumayan berhasil. Ditambah lagi, istri juga kerap mendongeng atau menanyakan hal yang anak dikerjakan sebelum memasuki waktu tidur.

***

Belakangan istri saya punya resep baru. Resep itu berupa mengaji “Iqra” sebagai tiket bagi anak sebelum diizinkan memainkan gawainya. “Apa itu enggak terlalu transaksional yang?” tanya saya kepada istri. “Memang. Lagi pula, apa yang salah dengan transaksi yang membawa manfaat. Toh, anak mengaji dengan senang. Dia tetap bisa belajar dan main gawai sekaligus biar kelak tidak gaptek,” seloroh istri saya, sambil meneruskan aktivitas mengaji sambil bermain penuh riang gembira itu.

Apa anak saya bisa lepas dari jeratan gawai? Ya tidak. Justru gawai itu sudah menjadi salah satu perangkat bermainnya. Toh, aktivitas pekerjaan saya juga tidak bisa lepas dari yang namanya gawai. Tapi, gawai tetaplah hanya alat dan kitalah sebagaimana manusia yang menentukannya. Kita rayakan era digital ini tanpa memisahkan belajar dan bermain.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Jurnalis - esais, dan Koordinator Journalist Lecture di sela melanjutkan studi Magister Ilmu Komunikasi - Untirta
Articles
Related posts
Parenting

Generasi Toxic Harus Dididik, Bukan Dihardik!

5 Mins read
Tulisan sederhana ini saya suguhkan, berangkat dari keresahan saya tentang fenomena “generasi toxic“. Ada rasa cemas ketika saya menyadari bahwa generasi muda…
Parenting

Ajarkan Kepada Anak-anak, Masjid Tak Sekedar Tempat Ibadah

3 Mins read
Ibadah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Untuk memastikan agar generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama…
Parenting

Nasihat Nashih Ulwan untuk Para Pendidik Anak

3 Mins read
Awalan, Abdullah Nashih Ulwan sangat gemar menulis, kertas dan pena senantiasa bersama dimanapun dia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, dia tetap meluangkan waktu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds