Bermacam-macam Pengetahuan yang Didapat
Menghargai Waktu – Terkadang muncul pertanyaan di kepala saya sebelum menulis, “Judul atau tema apa yang akan saya tulis?”. Karena dalam sehari, kepala saya menerima pengetahuan tidak hanya satu macam atau satu bidang tertentu saja.
Apalagi sebagai santri, saat pagi harinya kepala saya menerima pelajaran fiqih, bisa jadi siang harinya saya belajar ilmu tafsir, belum lagi pada malam harinya.
Sebagai santri, awalnya saya agak mengeluh saat kegiatan mahasiswa/mahasantri yang saya jalani kurang lebih sama dengan kegiatan santri saat menjadi siswa, yaitu padat, serba diawasi, dan selalu diabsen.
Ya, hampir setiap kegiatan di sini menggunakan absen kehadiran. Apabila didapati ada yang tidak ikut kegiatan, tunggu saja sangsinya setiap malam rekapan absen.
Tapi setidaknya di pesantren, seorang mahasiswa yang nyantri hidupnya diperhatikan agar tidak berlaku macam-macam, digembleng untuk ahli atau mahir dalam –minimal- satu bidang: ilmu agama misalnya, ataupun setidaknya mereka diajari betapa pentingnya waktu dan bagaimana cara memanfaatkannya dengan baik dan benar.
Lalu, bagaimana bila seseorang sudah sadar akan pentingnya waktu dan sudah tahu cara memanfaatkannya dengan baik dan benar ?
Barangkali, dari sekian mahasiswa yang nyantri ada yang sudah menyadari akan hal ini dan secara spontan muncul pertanyaan seperti diatas.
Kebanyakan orang yang saya tanyai akan hal ini, terkait padatnya kegiatan pesantren dan mereka sudah memiliki targetnya sendiri, seringkali menjawab dengan jawaban yang kurang lebih sama: semua tergantung pada diri sendiri.
Apabila saya ditanya begitu, mungkin saya juga menjawab sama. Tapi, seandainya hal itu yang bertanya adalah adik saya, maka saya akan menjawab dengan seolah-olah menjadi kakak yang berwibawa dan kharismatik begini, “Kau perlu mempelajari riwayat hidup para ulama-ulama besar, Dik. Bagaimana proses mereka menjadi orang-orang besar dan dikenang. Dan tentunya, mereka memberi manfaat pada dunia sebanyak-banyaknya.”
Belajar Menghargai Waktu
Kata Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia dan pengarang tafsir Al-Misbah 15 juz itu, dalam bukunya yang berjudul Dia Ada Dimana-mana, mengatakan, jangan bilang tak punya waktu dan semacamnya. Karena waktu seringkali hadir pada kita dan kita seringkali jarang menemuinya.
Di pesantren, saya mengenal salah seorang kyai yang diusai relatif muda, beliau sudah menghasilkan hampir tujuh puluh karya. Bahkan, beliau sempat mendapat penghargaan sebagai kyai muda yang produktif karya.
Tahun kemarin saja, di usinya yang berkisar 39 tahun, beliau telah sah mendapat gelar sebagai doktor di Universitas Islam Negeri Surabaya (UINSA) dibidang Dirasat Al-Islamiyah.
Karyanya pun tidak dapat dianggap enteng, buku-buku atau kitab-kitab beliau terdiri dari berbagai disiplin keilmuan Islam, seperti fiqih, tasawuf, ilmu kalam, dan lain-lain. Setiap ada ustaz atau guru yang mengajar, seringkali mereka memotivasi agar meneladani kyai tersebut. Di tengah kesibukannya sebagai aktivis, pendakwah, dosen, guru, kyai, dan menjadi suami, beliau masih saja berkarya sebanyak itu.
Memanfaatkan dan Menghargai Waktu Sebaik Mungkin
Waktu yang diberikan Soekarno, Buya Hamka, Gus Dur, Kh. Hasyim Asy’ari, bahkan nabi Muhammad sekalipun adalah sama, yaitu 24 jam dalam sehari. Lalu, mengapa mereka dapat menghasilkan karya-karya hebat, dengan porsi waktu yang sama setiap hari, sedangkan kita tidak?
Jangan-jangan ini persoalan kita yang kurang baik dan benar memanfaatkan waktu. Orang-orang kaya seperti Bill Gates saja masih menantang dirinya dengan mengkhatamkan satu buku dalam seminggu. Ulama kontemporer Syaikh Al-Ghazali menghabiskan 14 jam waktunya dalam sehari di perpustakaan, atau Oprah Winfrey yang terobsesi dengan buku, dan masih banyak yang lainnya.
“Waktu berjalan tanpa kompromi”, kata salah seorang penyair Indonesia.
Waktu mengubah segalanya, ia seolah-olah berjalan dan mengubah segala-galanya. Kita tidak bisa egois menuntut waktu untuk berhenti sejenak saat kita sedang malas-malasan. Waktu mengubah semuanya. Ketika masih kecil, saat saya masih suka bermain di rumah nenek, di sana selalu saja ramai dengan saudara-saudara saya, apalagi ketika hari raya Idul Fitri.
Kini ketika saya ke rumah nenek lagi saat usiaku menginjak dewasa, satu persatu bagian keluarga ini mulai berubah. Kakek-nenekku sudah tiada, paman dan bibi mulai nikah atau yang sudah menikah memiliki anak, sepupuku juga mulai dewasa dan tidak bersifat kekanak-kanakan lagi.
Dalam urusan waktu, saya harus mengakui sama payahnya dengan kebanyak orang. Kadang-kadang saya merasa cukup produktif, menulis hingga beberapa lembar di buku catatan saya dalam sehari, lalu tidak menulis lagi pada beberapa hari selanjutnya.
Pada saat seperti itu, menjelang tidur, saya merasa cukup senang karena dapat menghasilkan beberapa tulisan. Meskipun itu sekadar catatan harian atau seperti corat-coret yang tak tau jenis tulisan apa yang sedang saya tulis. Di dalam kepala saya seakan menggema larik puisi Chairil Anwar, “Ku ingin hidup seribu tahun lagi.”
Kita Sering Disibukkan dengan Aktivitas Pragmatis
Gawai, kegiatan, aktivitas turut menyita waktu menusia sejak bangun hingga menjelang tidur lagi. Bila terdapat waktu luang tentunya itu akan digunakan untuk istirahat atau leyeh-leyeh.
Kita seringkali disibukkan dengan aktivitas pragmatis, hasilnya, pikiran jadi bebal dan kaku, sering kagetan pada hal-hal baru dan viral, dan ujung-ujungnya pada tindakan radikal yang diembel-embeli perbuatan heroik bagi yang melakukannya.
Barangkali tidak berlebihan apabila ada aforisme mutakhir mengatakan yang isinya begini: kemewahan terakhir seorang manusia adalah memanfaatkan banyak waktu untuk membaca kitab. Salam literasi.
Editor: Rozy