Oleh: Muhamad Ali
Sesama Muslim, ada adab dalam hadis-hadis untuk tidak menjawab salam ketika dalam kamar kecil, kepada orang yang lagi mabuk, atau ketika sedang sholat. Ia bisa menjawab setelah selesai. Namun, adab-adab lain cukup rinci dalam hadis-hadis lain. “Orang yang berkendaraan mengucap salam kepada orang yang berdiri, orang yang berdiri kepada orang yang duduk, kelompok yang kecil kepada kelompok yang lebih besar.” Nabi juga mengucapkan salam kepada perempuan-perempuan dan anak kecil.
Adab Memberi Salam menurut Hadis
Ketika Nabi ditanya tentang sebaik-baiknya keislaman? Nabi menjawab, “memberi makan orang dan mengucapkan salam kepada orang yang kalian kenal dan tidak kalian kenal.” Nabi juga bersabda, ”Sebarkan salam, maka kalian akan selamat.” Ada juga, “Sebarkan salam sehingga kalian saling menyayangi.” Hadis-hadis ini ada dalam Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah.
Dalam Kitab Al-Adab al-Mufrad, dari Abdullah, dari Jabir berkata, “Apabila Anda masuk rumah, maka berilah salam dari sisi Allah berupa keberkahan dan kebaikan…”. Di sini dipahami rumah Muslim yang lain, tapi tidak selalu demikian. Abu Usman Al-Nahdi berkata, “Abu Musa menulis kepada bangsawan Persia dan menyatakan salam kepadanya dalam suratnya itu. Dia ditanya,”Mengapa Anda sampaikan salam padahal dia kafir. Dia menjawab,”Dia menyampaikan salam kepadaku maka akupun menjawab salamnya.”
Selain dalam tulisan, ada adab menyatakan salam dengan suara yang terdengar. Tsabit Ibnu Ubay berkata, “Aku mendatangi kerumuman orang, termasuk Abdullah Ibnu Umar yang berkata, ’Jika kalian mengucapkan salam, maka ucapkanlah hingga terdengar, karena itu dari Allah mengandung keberkahan dan kebaikan.”
Di ceritakan Abu Hurairah, ”Siapa yang bertemu saudaranya, dia harus mengucapkan salam. Jika ada pohon atau tembok yang menghalangi, dia tetap harus melewatinya dan mengucapkan salam.” Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Orang yang paling pelit adalah yang paling pelit mengucapkan salam, dan orang yang paling tidak mampu adalah orang yang tidak mampu menyampaikan do’a kepada orang lain.”
Juga dalam Al-Adab Al-Mufrad, Abu Bakar berkata, ”Apakah kalian tahu bahwa ketika orang-orang terdahulu memberi salam, mereka mendapatkan pahala? Karena itu, sampaikan salam kepada mereka sebelum mereka duluan, dan kalianpun akan mendapatkan pahala.”
Dalam Sirah Ibnu Ishaq, ada kisah Nabi didatangi tamu sekitar enam belas pendeta Nasrani dari Najran, dan Nabi menerima mereka di dalam masjid. Setelah berdialog tentang aspek-aspek keyakinan, semua pendeta itu tidak menerima pemahaman Nabi. Lalu Nabi mempersilahkan mereka beribadah sesuai dengan agama mereka di masjid Nabi itu.
Dalam kisah ini tidak disebutkan bagaimana Nabi dan delegasi Nashrani ini memberi dan menerima salam. Tapi setidaknya, akan sangat janggal jika tidak ada ucapan salam, dan juga akan janggal jika ucapan salamnya ucapan keburukan.
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,” Janganlah memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani, dan jika kalian bertemu dengan mereka di jalan, maka persempitlah jalan mereka (HR Muslim). Dalam Tafsir Tematik Majelis Tarjih dikutip dalam tulisan saya sebelumnya, ada penjelasan, ”Nabi Muhammad di dalam Al-Qur’an jelas dilukiskan sebagai seorang yang berakhlak luhur (68:4), dan menyatakan orang paling baik adalah orang yang paling baik akhlaknya serta memerintahkan supaya memperlakukan orang lain seperti kita senang diperlakukan demikian.
Oleh karena itu tidaklah mungkin kandungan hadis di atas menjadi norma umum dalam menghadapi orang lain agama. Hadis tersebut harus diartikan sebagai berlaku dalam kondisi dimana Nabi saw sendiri diperlakukan tidak baik. Jadi ringkasnya, dapat disimpulkan bahwa tidak dilarang di dalam hukum Islam untuk menjawab salam Islam yang diucapkan oleh non-Muslim kepada Muslim. Hal ini sesuai dengan keumuman ayat yang ditafsirkan di atas (4:86).” Majelis Tarjih PP Muhammadiyah juga menyimpulkan, “Begitu pula halnya mengucapkan salam kepada non-Muslim. Hadis-hadis yang melarang mendahului mengucapkan salam kepada non-Muslim itu harus diartikan sebagai menyangkut kasus khusus dan bukan merupakan norma umum…”.
Lebih lanjut, ada pemahaman lain terhadap hadis diatas. Yang dimaksud “janganlah membuka jalan pada orang kafir”, adalah justru dalam rangka menghormati mereka. Demikia menurut Al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (6: 501).
Lalu Bagaimana menggunakan salam umat agama lain?
Selain Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang membolehkan mengucapkan salam kepada non-Muslim, Bahstul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur tentang Hukum Salam Lintas Agama, yang ditandatangani KH Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I dan K. Ahmad Muntaha Am, S.Pd, tanggal 12 November 2019, juga membolehkan salam lintas agama.
NU membahas masalah ini dari perspektif fiqh atas ayat-ayat dan hadis-hadis, serta kitab-kitab Bariqah Muhammadiyah, Al-Asybah Wa Al-Nazhair, ‘Ianatul Thalibin, Zad Al-Ma’aad, Majmu’ah Sab’ah, dan Fatawa Al-Syaikh Izzudin. Dalam keputusan ini, diawali Islam sebagai agama kerahmatan, yang mengutip Surat Maryam ayat 47, yang menunjukkan Nabi Ibrahim yang mengucapkan salam kepada ayahnya yang masih belum bertauhid.
Hadis Bukhari dan Muslim, juga dikutip: “… Nabi Saw melewati suatu majelis yang di dalamnya berkumpul kaum muslimin, kaum musyrikin penyembah berhala, dan kaum Yahudi yang didalamnya terdapat Abdullah bin Ubay. Di majelis itu juga ada Abdullah bin Rawahah. Kemudian ketika debu telapak hewan kendaraan menyebar ke majelis, Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendangnya, lalu berkata:”Jangan kenai debu kami.” Kemudian Nabi saw mengucapkan salam kepada mereka.”
Demikian pula, keputusan NU ini menambahkan, sebagian sahabat dan tabiin setelahnya, seperti Abu Usamah, Ibnu Mas’ud, dan selainnya membolehkan dan melakukannya. Keputusannya ditutup sebagai berikut: “Dalam hal ini, bagi pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan semisalnya. Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.”
Dari dalil-dalil nash dan konteks di atas, tampaknya belum ada rujukan Nabi atau kaum salaf yang menggunakan salam Nashrani, salam Yahudi, salam Majusi, dalam konteks negeri Madinah atau zaman khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, atau di kalangan Syiah awal. Hal ini tidak berarti, bahwa salam umat agama lain menjadi bid’ah yang dilarang dan dimurka Allah.
Fatwa MUI di atas adalah himbauan dan bentuk kehati-hatian, tapi kita bisa memahami betapa luasnya Rahmat Allah Swt kepada semua manusia, semua makhluk-Nya, baik yang Muslim maupun non-Muslim, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Fatwa MUI Jawa Timur tersebut bukanlah satu-satunya pendapat atau fatwa mengenal masalah ini. Majelis Tarjih PP Muhammadiyah membolehkan salam untuk non-Muslim dan Bahstul Masail NU Jawa Timur, membolehkan salam lintas agama demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketiadaan dalil tekstual yang menyuruh atau membolehkan seorang Muslim menggunakan salam umat agama lain secara khusus, tidak berarti keharamannya. Adanya beberapa dalil Quran dan hadis yang tidak melarang menjawab salam dan mengucapkan salam kepada umat agama lain, menunjukkan ketidakharaman mengucapkan salam yang mengandung makna kebaikan.
Salam-salam dalam tradisi Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain, ada banyak, dan memiliki makna yang berbeda-beda dan khas agama masing-masing. Tidak semua mereka pun mengucapkan salam yang sama. Namun demikian, ada nilai kesamaan yang cukup universal: mendo’akan kebaikan dan keselamatan kepada orang lain, siapapun mereka. Tidak ada alasan dan bukti yang kuat untuk membuat praduga bahwa seorang Muslim yang mengucapkan salam umat agama lain berarti ia dangkal keyakinan dan keagamaannya. Tidak ada juga bukti bahwa ia menerima semua aspek dari ajaran agama lain.
Dengan mengucapkan salam pembuka di suatu acara, tidak ada bukti bahwa mereka menyamakan dan mencampuradukkan agama-agama yang berbeda. Tidak ada bukti bahwa seorang Kristen atau Buddha yang menerima ucapan salam dalam bahasa mereka berharap bahwa Muslim yang mengucapkannya itu menerima keyakinan Kristen dan Buddha.
Pengucapan salam juga tergantung dari niat, motivasi, dan dampaknya dalam kehidupan sosial non-Muslim dan Muslim. “Setiap perbuatan tergantung niatnya”, begitu hadis populer riwayat Bukhari dan Muslim. Begitu pula, Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad fisik kalian, tidak juga penampilan kalian, tapi Dia melihat hati kalian.”
Jika ada ketulusan untuk mendo’akan sesama, antara lain dengan kalimat dan bahasa yang sakral dan menggembirakan mereka, maka semoga itupun bagian dari perbuatan baik seorang Muslim kepada saudara-saudara non-Muslim. Setidaknya seorang Muslim yang mengucapkan salam kepada non-Muslim, menunjukkan etiket sopan santun (tathawwu, ataupun adab), ketika memulai terlebih dahulu.
Dan ketika berbicara, ia ingin mengikuti perintah Allah, “Dan berkatalah yang baik kepada semua manusia, “ dan mengikuti teladan Nabi, “Sebarkanlah Salam kepada siapa saja, baik yang kalian kenal maupun yang kalian tidak kenal,”, “walaupun ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Wallahu’alam