Opini

Menjadi Agamis Sekaligus Moderat

5 Mins read

Jika kita yakin bahwa Alquran berlaku sepanjang zaman, mengapa kita tidak yakin orang-orang yang disebut dalam Alquran itu (Yahudi, Nasrani, dan Shabiun) (Al-Baqarah: 62)–juga termasuk orang-orang tulus beriman dengan adanya Tuhan, berbuat baik setelah Nabi Muhammad, dan mendapat keselamatan dari Tuhan? (Hlm. 188).

Sepenggal kalimat di atas menjadi penanda bahwa metamorfosis pemikiran para sarjana muslim semakin bergerak ke depan, tidak hanya terpaku pada kebenaran tunggal keyakinan yang diimani, yang selama ini menyangkit hampir ke semua para sarjana dan orang muslim, maka Muhamad Ali dalam bukuNon-Muslim Bisa Masuk Surga: Islam, Keselamatan yang Lain, dan Etika Antariman”–menembus batas dinding pemikiran mainstream itu.

Jika sebelumnya sering terlontar penegasan orang di luar Islam adalah kafir, toghut, dan masuk neraka, maka lewat buku ini semua pergumulan manusia dengan kehidupan keberagamaannya yang begitu kompleks, diolah secara sederhana dan ringan dengan bahasa yang mudah dicerna untuk menemukan titik temu dan benang merah puncak dari ajaran semua agama–berdasarkan penelusuran dari dalil-dalil Alquran, Hadis Nabi, dan sumber-sumber bacaan yang mumpuni.

Adapun lokus dan tujuan utama buku ini adalah membentangkan secara jernih gagasan bagaimana semua umat beragama di dunia bisa menerima agamanya sendiri dengan baik namun juga legowo terhadap keimanan lain yang berada diluar dirinya–dengan melihat konstelasi sosial, politik, dan keagamaan masyarakat secara global. Karena di sini Muhamad Ali berkali-kali menyebut pergumulan umat beragama di beraneka kota, negara, dan kawasan di mancanegara.

Ini menunjukkan betapa besarnya keterbukaan dan daya serap di tengah masyarakat dunia terhadap aliran ide dan gagasan yang dianggap akan memberikan sumbangan besar bagi kehidupan masyarakat yang damai. Sehingga Ali menukilkan pada lembar pendahuluan buku, bahwa setiap individu yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik, pasti memiliki keseimbangan hidup yang dinamis (Hlm 1-30). Antara urusan teologis dan sosial akan berimbang (moderasi beragama). Karena kesalehan sosial adalah manifestasi dari keberimanan seseorang.

Sekalipun buku ini, kalau meminjam istilah Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya, “cukup menghentakkan”. Karena membahas tema-tema yang begitu berani. Mulai dari mengkaji Islam dari lapisan paling dasar dengan mengurai pertanyaan-pertanyaan yang agak “kontroversial” yang termuat dalam sebelas item bahasan, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji agama-agama dunia yang terbagi dalam duabelas item dengan dosis yang hampir sama dengan bagian sebelumnya, dilanjutkan dengan upaya menghormati dan mencintai umat lain, hingga mengkaji keragaman dan kebebasan dalam beragama, dan bagian terakhir berbicara tentang refleksi bagaimana beragama dalam situasi darurat wabah, dalam hal ini penulis bercerita di masa Pandemi Covid-19 yang lampau–akan tetapi buku ini juga cukup menghibur pembaca, yakni dengan mengikuti bagian per bagian, kita akan diajak penulis untuk melihat langsung bagaimana penganut agama-agama menjalankan kehidupannya di berbagai belahan bumi.

Baca Juga  LKKS PP Muhammadiyah Selenggarakan Program Kepemimpinan Mahasiswa Muhammadiyah Lintas Iman Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah

Secara global, saat ini agama-agama yang berkembang di mana pun bukanlah agama asli–bahkan di Amerika sendiri Protestan bukanlah agama asli. Kristen juga bukan agama asli di Inggris Raya. Di Timur Tengah agama asli adalah Zoroaster. Di India agama asli adalah Animisme. Termasuk di Indonesia, Islam dan agama-agama dunia lain yang berkembang bukanlah agama-agama asli, melainkan semuanya muncul karena masyarakatnya terbuka terhadap gagasan-gagasan dari luar, sehingga terjadi adaptasi dengan tradisi lokal, yang pada gilirannya mereka pun berkembang (Hlm. 268).

Dari realitas tersebut, sebenarnya Ali ingin menegaskan bahwa semua kita yang hidup sekarang adalah penganut agama yang “kebetulan”. Kita semua terlahir hanyalah sebagai manusia biasa, yang kebetulan lahir dari seorang ibu yang Yahudi, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konguchu, dan lain-lain. Dan, yang paling krusial adalah kita rupanya tidak bisa memilih tempat dan di wilayah mana kita mau dilahirkan. Sehingga kemudian kita tidak pernah berpikir dan merenung terkait hal-hal semacam ini dan tidak mau bertanya kenapa kita lahir dari seorang ibu yang menganut salah satu dari sekian banyak agama itu (Hlm. 140). Kita belajar agama setelah mengetetahui agama apa yang diwariskan oleh orangtua kita.

Kita semua adalah manusia yang memiliki akal budi, berbudaya, dan ada di dalam sejarah, ruang dan waktu. Agama tentunya bagian dari proses itu semua, terlepas dari keyakinan kita bahwa keislaman, kekristenan, kehinduan, kebuddha-an, kekonguchuan, keyahudian kita–semata-mata terjadi hanya karena Tuhan saja, yang memilih kita, dan bukan atas kehendak orang lain (Hlm. 142). Oleh karena itu, dalam perbedaan-perbedaan yang dilahirkan oleh misteri kehidupan ini, ada satu titik yang sama yakni setiap kita adalah manusia, dan dalam kemanusiaan inilah kita saling mengenal dan bekerja sama. Bahkan tak bisa dipungkiri, banyak sekali masalah yang bermunculan tanpa mengenal agama kita apa, dan dari mana kita berasal.

Baca Juga  Setiap Orang Perlu Berfilsafat!

Dalam konteks Alquran, jauh sebelum argumen Ali di atas muncul, sebenarnya Islam telah menyebutkan bahwa bukankah kalau Allah mau maka akan dia jadikan manusia itu satu umat saja (Q.S: An Nahl 93). Dalam ayat lain juga diterangkan bahwa Allah menciptakan manusia terbagi dari berbagai suku dan bangsa agar mereka saling mengenal (Q.S: Al Hujurat 13), dan banyak lagi ayat-ayat yang bicara dengan nada serupa. Oleh karenanya, tidak ada dasar bagi kita untuk saling memusuhi hanya karena kita dan mereka berbeda cara dalam beragama dan memahami Tuhan (Hlm. 142).

Kehadiran buku fenomenal ini di waktu yang sangat tepat. Ketika kajian mengenai konsep rukun dan damai, atau kajian tentang hubungan antar umat beragama di Indonesia dan dunia masih sangat sedikit. Bahkan kajian yang sedikit itu pun sebagian besar diantaranya berasal dari tuntutan projek yang digalakkan oleh Kementerian Agama RI dan lembaga semisalnya–dengan konsekuensi tidak komprehensifnya data dan tidak jujurnya realitas yang ditampilkan, banyak yang stereotype (cenderung menyalahkan agama atau kelompok tertentu), oleh karenanya buku Ali ini justru membawa pesan sebaliknya, bahwa semua penganut agama di dunia ternyata terlibat langsung dalam menyalakan obor perdamaian.

Terkait munculnya fenomena islamofobia di barat akibat aksi terorisme saat ini, rasisme agama dan ras di Amerika, serapatisme di Perancis, konflik antara Yahudi, Islam, dan Kristen di Palestina yang tak kunjung selesai–tidak bisa kita tafsirkan sebagai bentuk ketegangan antar pemeluk agama secara kontan. Tetapi itu semua terjadi karena imbas konstelasi politik yang merenggut nilai-nilai kemanusiaan. Banyak orang Yahudi mengecam keras kebijakan negara Israel dan mereka menunjukkan solidaritas dan kerja sama dengan warga Palestina demi perdamaian (Hlm. 285).

Baca Juga  Surau Jadi Pusat Penyebaran Islam di Minangkabau Masa Dulu

Termasuk serapatisme di Prancis, tidak dituduhkan kepada umat Islam secara umum, tetapi kepada kelompok-kelompok radikal yang ingin mengambil kesempatan politik di sana. Rasisme dan islamofobia yang sedang menjalar di Amerika juga ditangkis kuat oleh Diana Eck dan John L, Esposito, yang mendeklarasikan bahwa Amerika adalah negara pluralis. Banyak kalangan melihat dan menilai makin pentingnya peran orang Islam sebagai bagian dari warga Amerika yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penganut agama lain dan bahkan non-agama. Bahkan Islam di Amerika menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi (Hlm. 267). Protes-protes terhadap diskriminasi Islam di Amerika dan Barat juga muncul dari para akademisi Islam yang mengajar di berbagai Universitas Amerika–termasuk bentuk protes itu didukung kuat pula oleh penganut agama Yahudi, Kristen, Sikh, dan agama-agama lainnya.

Terakhir, buku Muhamad Ali ini adalah produk dari berbagai kombinasi yang ada di dalam dirinya. Ketertarikannya mendalami Islam dan agama-agama lain, dan kemudian mencari titik temu dari semua agama tersebut–jelas ada kaitannya dengan fakta bahwa setelah Ali menamatkan pendidikan menengah di Pondok Pesantren dan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus), kemudian Ali melanjutkan pengembaraan studinya ke Eropa dan Amerika, dan sekarang menjadi pengajar di Universitas California AS–dengan selalu girang dan antusias mengikuti forum-forum ilmiah lintas agama di berbagai negara.

Oleh Ali, berbagai pengalaman ilmiah ini ditulis dalam bentuk opini dan diterbitkan di berbagai media cetak dan online, hingga sekarang menjadi sebuah buku. Dalam karya ini, Ali dengan baik menunjukkan begitu semangatnya upaya manusia dalam mencapai kemajuan agamanya masing-masing tanpa harus berpindah ke agama yang lain namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Judul: Non-Muslim Bisa Masuk Surga: Islam, Keselamatan Lain, dan Etika Antar-iman.

Penulis: Muhamad Ali

Editor: Ibrahim Ali Fauzi

Penerbit: Milestone

Tahun terbit: Cetakan 1, Maret 2025

Ukuran: 14×21 cm

Halaman: 380

Editor: Soleh

Avatar
4 posts

About author
Pengajar di UIN Medan
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *