Review

Islam Harusnya Diajarkan dengan Santai dan Gembira

4 Mins read

Islam Santai dalam Sudut Pandang Sastra dan Budaya

Memang sudah menjadi tugas sastrawan, untuk melihat fenomena dari kacamata yang unik. Sering kali luput dari pandangan khalayak. Salah satunya fenomena tentang Islam yang jarang diketahui banyak orang.

Buku berjudul Islam Santai buah karya Acep Zamzam Noor ini menarik. Ia tidak sedang membuat teoritisasi yang muluk-muluk mengenai keberagamaan masa kini. Pada kumpulan esai-esai ini ia banyak mengawali narasinya dengan cerita-cerita sehari-hari kehidupannya.

Terlebih ia merupakan seorang seniman, yang diakuinya sendiri dalam buku ini, bahwa pekerjaannya adalah melukis dan menulis puisi (hlm. 18). Ia juga merupakan seorang putra sulung dari tokoh ulama Kiai Haji Muhammad Ilyas Ruhiyat, ulama besar Nahdlatul Ulama. Ia sendiri lahir dan besar di lingkungan pondok pesantren di Tasikmalaya.

Dengan demikian, sajian pandangannya mengenai keislamannya banyak ditinjau dari sudut pandang sastra dan budaya.

Buku ini pada pembahasannya terbagi pada tiga bab besar, yang masing-masing bab terdiri dari 8-9 esai. Tiga bab tersebut yakni Bercermin pada Kearifan Lokal, Keberagaman dan Keseragaman, serta Ekspresi Budaya dan Proses Kreatif.

Belum lama ini masih hangat adanya kasus mengenai penyegelan tempat ibadah yang tak berizin. Bahkan melibatkan petinggi daerah setempat, hingga penyegelan diiringi takbir yang seakan-akan menjadi tanda “kemenangan” bagi kaum mayoritas.

Pada buku ini, Acep Zamzam memberi gambaran bahwa keberagamaan di desa nampak santai dan menggembirakan. Terhadap kelompok berbeda pola interaksi masyarakat begitu akur dan membaur. Memang hal ini dalam konteks kelompok Ahmadiyah, di desanya justru Ahmadiyah begitu berbaur dengan masyarakat setempat, hingga ikut pengajian dan tahlilan bersama.

“Bagi orang-orang kampung, mengamalkan pancasila ternyata sangat menyenangkan, menggembirakan, bahkan menguntungkan” tulis Acep Zamzam. (hlm. 20)

Baca Juga  Hijrah, Memaknai Islam yang Ramah

Jika menafsiri Islam santai penulis buku ini, seharusnya tak sampai harus dilakukan penyegelan bila tak berizin, petinggi daerah yang bahkan hadir saat penyegelan sebaiknya permudah perizinan, sementara kelompok yang hendak beribadah di dalamnya diberikan haknya secara penuh.

Islam santai dalam terminologi Acep Zamzam ini barangkali terwakili dalam esainya berjudul, “Sunda Santai, Islam Santai. Agama hendaknya diajarkan dengan penuh kegembiraan, tidak secara instan dan hitam putih sebagaimana menjadi fenomena akhir-akhir ini. “Dengan metode santai seperti ini, juga dengan dosis yang tidak berlebihan, agama merasuk ke jiwa anak-anak tanpa terasa dan sangat alamiah. Agama tidaklah selalu berwajah garang apalagi mengancam”.

Radikalisme, Hilangnya Keberagamaan yang Santai

Sebagai antitesa dari istilah Islam santai, isu radikalisme tak luput menjadi pembahasan buku ini dalam judul “NII: Neng Iis Istiqamah”.

Bagi Acep Zamzam korban yang menjadi rekrutan kelompok radikal ini terdapat kait kelindan dengan kesenjangan sosial di masyarakat serta fenomena pejabat korup. Hal tersebut menjadikan agama dalam pengertian yang radikal dan instan akan selalu menjadi tempat pelarian yang menggiurkan. (hlm. 210)

“Untuk menguasai ilmu agama berarti harus belajar tata bahasa dulu. Dengan kata lain harus belajar budaya dulu. Belajar nadoman dulu, salawatan dulu, kasidahan dulu, menulis puisi dan pencak silat dulu. Dan para santri yang telah menjalani proses beragama dengan wajar, tidak akan mudah tergiur tawaran-tawaran instan. Salah satu buktinya, sebagian besar yang menjadi korban cuci otak adalah mereka belum pernah belajar memahami, menghargai, dan menjalani sebuah proses yang saya maksudkan tadi.” (hlm. 211)

Dalam esainya yang berjudul “Tasikmalaya Kota Dangdut”, barangkali hal ini merupakan cara Acep Zamzam dalam mencounter politisi partai tertentu bermimpi ingin menerapkan syariat Islam di Tasikmalaya dengan mengampanyekan “Tasikmalaya Kota Santri”.

Baca Juga  Kulakan Hikmah dalam Beauty and The Bis

Acep Zamzam menyentil politisi partai tersebut yang bertekad memerangi kemaksiatan, kecuali korupsi, yang sejatinya menjadi hal dinormalkan dalam partai. (hlm. 152). Bahkan menurut Acep Zamzam, pesantren-pesantren besar di Tasikmalaya yang sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan dan mereka tidak ada urusan dengan pelabelan atau gelar semacam itu. Justru wacana pelabelan tersebut terkubur dengan sendirinya oleh para politisi tersebut.

Reinterpretasi “Porno” serta Pergeseran Ritual Istighosah

Sekilas berdasar uraian di atas, Islam santai sebagaimana buku ini sarat akan kritik sosial penulisnya, lebih-lebih kepada korupsi elite politik serta isu formalisme agama yang dangkal. Pada esainya yang lain dalam buku ini, Acep Zamzam melakukan kritik sosial. Misal dalam esainya yang berjudul “Porno”, ia seakan hendak mengatakan bahwa porno bukan hanya berurusan dengan tubuh namun juga dengan mental, pikiran, dan perilaku seseorang.

Perilaku korupsi, jual beli perkara, membohongi dan mengkhianati rakyat juga, semua hal itu sangat porno. Di samping itu perilaku menyerang pihak lain dengan mengatasnamakan agama, berbuat sewenang-wenang dan merasa paling benar sendiri termasuk bagian dari pornografi juga. (hlm. 238)

Sementara itu, sebagai seorang santri sekaligus sastrawan, Acep Zamzam resah dengan pergeseran makna istighosah yang kini tak lagi sakral. Hal tersebut lantaran ritual ini kini disusupi oleh politisi yang pikirannya “ngeres”. Dalam arti senantiasa menyusupkan “kepentingan” demi memperoleh masa dan memenangkan politik praktis.

“Sejak itulah istighosah menjadi fenomena dalam dunia politik kita. Hampir setiap tokoh yang punya “kepentingan” ke daerah selalu disambut dengan istighosah, tak peduli apakah tokoh tersebut warga NU atau bukan.” (hlm. 42)

Lebih keras lagi ia menulis, “…dengan demikian, istighosah yang sakral menjadi tak ada bedanya lagi dengan pentas dangdut atau jalan santai yang biasa digelar organisasi kepemudaan dari kalangan partai, karena sama-sama sebagai alat pengumpul massa.” (hlm. 43)

Baca Juga  Indonesia Kita: Refleksi Bernegara Kita!

Islam Santai; Belajar dari Gus Dur, Gus Mus, hingga si Kabayan

Pada akhirnya, mengenai gagasan Islam santai, dalam esai-esainya, Acep Zamzam menunjukkan teladan kepada tokoh-tokoh sekaliber Gus Dur, Gus Mus, bahkan si Kabayan sebagai tokoh pengamal Islam yang santai.

Gus Mus sebagai penyair dengan puisi-puisinya yang segar, Gus Mus juga dikenal sebagai seniman dan kiai. Gus Mus yang secara sadar mengambil jarak dengan kekuasaan. Sosok  Gus Dur sosok kiai yang cerdas dan santai. Serta si Kabayan yang membuat Acep Zamzam merindukan pemimpin yang bukan hanya gagah, namun juga mempunyai rasa humor tinggi. “Bukankah kita juga sudah lelah dipimpin orang-orang gagah yang hobinya menindas sehingga tak ada kesempatan bagi rakyat untuk tersenyum?” (hlm. 83)

Buku ini sejatinya merupakan kumpulan esai yang pernah dimuat di berbagai surat kabar lebih dari satu dekade yang lalu. Namun relevansinya masih terasa hingga kini. Seperti di Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Majalah Sastra Horison, Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, Suara Merdeka, dan lain-lain.

Daftar Buku

Judul Buku           : Islam Santai

Penulis                 : Acep Zamzam Noor

Editor                   : Tia Setiadi

Penerbit               : IRCiSoD

Tahun Terbit        : 2018

Tebal Halaman   : 324 halaman; 14 x 20 cm

Editor: Soleh

Al-Faiz Muhammad Rabbany Tarman
4 posts

About author
Dosen STAI Muhammadiyah Klaten
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *