Moeslim Abdurrahman merupakan tokoh intelektual Muhammadiyah. Lahir di Lamongan Jawa Timur, 8 Agustus 1947, pernah menjadi santri di Pesantren Raudhatul Ilmiyyah di kertosono, Jawa Timur. Moeslim lalu melanjutkan studi di fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Muhammadiyah Surakarta. Tahun 2000, dia meraih gelar Ph.D dalam kajian Antropologi di University of Illinois at Urbana – Champaign. Moeslim Abdurrahman pernah menjadi peneliti di Balitbang Departemen Agama (1977-1989), lalu Asisten Pemimpin Redaksi Harian Pelita (1989-1991) dan Kepala Litbang Harian The Jakarta Post (1999-2001).
Adapun karir di dunia NGO, Moeslim Abdurrahman pernah memimpin P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), lalu memimpin Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani dan Nelayan (LPBTN) PP Muhammadiyah (2000-2005), serta mendirikan Lembaga Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Transformatif(LPIIST). Dia juga pernah menjadi Penasihat di Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan menjadi Direktur Maarif Institute. Selain mengajar, habitat kehidupannya adalah dunia LSM dan Ormas.
Moeslim Abdurrahman juga mempelopori pemikiran Islam Transformatif. Pemikiran ini lahir dari kegelisahan dan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Islam Tranformatif, menurutnya, merupakan simbol kekuatan batin dan iman dari kaum bawah, menjadi kesadaran gerakan sosial, sehingga menjadikan Islam tidak hanya sebagai kesadaran dakwah untuk kesalehan ritual, namun dakwah Islam juga harus akhir pembentukan jamaah-jamaah baru bagi kaum pinggiran, lalu lahirnya da’i-da’i transformatif dan menjadikan teks-teks Islam sebagai rujukan untuk menguatkan nilai tawar dalam perjuangan kaum pinggiran ini.
Menurutnya, agama seakan-akan hanya menjadi urusan individu dengan Tuhan, namun tidak mengutamakan hubungan sesama manusia. Paradigma masyarakat Islam pada umumnya juga menjadi perhatiannya, karena sering dalam kenyataan sosial penderitaan umat tidak dianggap penting, padahal sebenarnya ajaran agama yang paling utama adalah menempatkan kedudukan harkat dan martabat kemanusiaan.
Mentor Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) terbentuk pada Oktober 2003. Terbentuknya JIMM tidak dapat dipisahkan dari momentum historis yang mendorong generasi muda Muhammadiyah merasakan pergeseran intelektual.
Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1994, para intelektual Muhammadiyah seperti Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, dan Amin Abdullah yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi luar negeri melahirkan inspirasi bagi kalangan muda Muhammadiyah untuk bisa berpikir lebih terbuka.
Lalu, para intelektual Muhammadiyah yang berkontribusi di luar Muhammadiyah memilih kembali bergabung dengan persyarikatan. Mereka ini sebenarnya secara kultural memiliki ideologi Muhammadiyah, tapi tidak atau jarang terlibat dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah. Salah satu intelektual tersebut adalah Moeslim Abdurrahman.
Moeslim Abdurrahman ketika itu dengan tulus mengumpulkan anak-anak muda Muhammadiyah yang tersebar di berbagai daerah, seperti Solo, Surabaya, Yogyakarta dan Malang. Jaringan yang berbasis wacana atau diskursus ini diberi nama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Mengutip buku “Islam Progresif dalam Muhammadiyah: Studi atas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), 2003-2015 M“ dalam wawancara dengan Andar Nubowo (sekarang Direktur Eksekutif Maarif Institute) ketika itu sedang melanjutkan studi Doktoral di Prancis (tahun 2021) mengatakan pemilihan nama JIMM bertujuan memudahkan penyebutan, karena yang terlibat adalah calon-calon intelektual dari Muhammadiyah. Keberadaan JIM menjadi ikatan kultural anak-anak muda berlatar belakang Muhammadiyah.
Menariknya, Maarif Institute pernah menjadi Sekretariat JIMM untuk beberapa waktu. Sebelum akhirnya pindah ke kantor Al Maun Foundation di Kawasan Mampang Prapatan Jakarta Selatan.
Kontribusi besar Moeslim Abdurrahman sebagai mentor utama menjadi sejarah dan catatan penting atas keberadaan dan eksistensi JIMM hingga saat ini. JIMM bertujuan menghidupkan kembali tradisi intelektual Muhammadiyah. Meski hanya jaringan dan bukan organisasi resmi, namun semangat pembaruan sosial-keagamaannya tetap terus menyala.
Moeslim Abdurrahman telah pergi sejak 2012 lalu. Nyawa memang terpisah dari raga. Meski sesungguhnya saya percaya, ia hanya berpindah alam, namun semangat, keihklasan dan perjuangannya terus bersemayam dan abadi khususnya bagi anak-anak ideologis dan lintas generasi JIMM. Namamu tertulis abadi kang Moeslim, tanpa mengenal ruang dan waktu.
Editor: Soleh