Di antara sosok tokoh dan pahlawan yang dimiliki oleh Muhammadiyah ialah Drs. Mohamad Djazman Al-Kindi atau biasa disapa dengan sebutan pak Djazman, Bagaimana tidak, dengan keberanian dan kecerdasannya yang visioner, beliau bersama dengan Soedibyo Markoes, Rosyad Soleh, dan lain-lain, mampu membuat satu karya besar untuk Muhammadiyah. Yang kemudian menjadi organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah yang bergerak di ranah mahasiswa. Ortom itu diberi nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Tepat pada tanggal 14 Maret 1964, diresmikan secara langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah KH. Ahmad Badawy (1962-1965). Djazman menggulirkan gagasan agar melepaskan diri dari Pemuda Muhammadiyah dan membentuk organisasi sendiri. Suatu kelompok intelektual Muhammadiyah yang memiliki cita-cita keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, itulah IMM.
Ada hal yang menarik dari sosok monumental pak Djazman, yaitu cara atau paradigma berpikirnya sama dengan KH. Ahmad Dahlan. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena berangkat dari fenomena mahasiswa yang ketika itu pak Djazman lihat, Muhammadiyah harus memiliki tangan panjang dakwah di kalangan mahasiswa yang mampu kemudian membantu Muhammadiyah dalam meraih tujuan dan cita-cita besarnya. Yaitu terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Pak Djazman adalah sosok orang yang sangat memperhatikan kader-kader Muhammadiyah dengan terus berusaha menemukan rumus atau suplemen apa saja yang harus dilakukan oleh kader Muhammadiyah. Agar mampu melanjutkan dakwah dan cita-cita besar Muhammadiyah kedepannya.
Pak Djazman kemudian merumuskan apa itu arti kader Muhammadiyah? Kader sering diartikan sebagai calon pimpinan saja. Dalam batas-batas tertentu memang itu benar, tapi sebenarnya kader memiliki pengertian yang lebih luas dari pada itu. Kader adalah kelompok terbaik karena terdidik dan terlatih yang merupakan tulang punggung organisasi dan terorganisir secara permanen.
Salah satu bentuk perhatian beliau dengan kader adalah ketika pak Djazman sangat humanis kepada kader atau mahasiswa UMS. Ketika itu, padahal beliau sendiri sudah menjadi seorang Rektor UMS, tapi beliau tidak merasa tinggi hati dengan kondisi kader yang terus harus dibina. Apalagi rumah beliau sangat terbuka sekali bagi mahasiswa UMS. Biasanya rumahnya dijadikan tempat diskusi oleh pak Djazman bersama dengan mahasiswa.
Pemikiran Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah
Salah satu bentuk pemikiran pak Djazman yang sangat monumental dan fenomenal di tubuh IMM adalah ilmu amaliah, amal ilmiah. Saya kemudian berasumsi bahwa pemikiran ini senada dengan apa yang dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan yaitu dengan membaca ayat Al-Qur’an, memahaminya, kemudian mengamalkannya.
Itulah yang dimaksud dengan Ilmu amaliah. Ilmu yang kita peroleh, terus dipahami, kemudian diamalkan. Sedangkan amal ilmiah adalah perbuatan amal shaleh yang dilakukan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah al-maqbulah. Sehingga amal shaleh kita bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Jangan sampai beramal tetapi tidak memiliki sumber yang jelas, sehingga bisa berbentuk bid’ah (perbuatan yang tidak bersumber). Dari kalimat monumental di atas, secara tidak langsung Muhammadiyah adalah sebagai gerakan ilmu dan amal.
Ini yang menarik dari sosok pak Djazman. Beliau mampu menginterpretasi ulang pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Pak Djazman selain sebagai manusia amal, juga sebagai manusia pemikir sebagaimana halnya kiai Dahlan. Sangat patut untuk direfleksikan dua tokoh besar Muhammadiyah tersebut.
Kader Muhammadiyah perlu membaca ulang genealogi tokoh-tokoh di persyarikatan ini. Meminjam bahasa Kuntowijoyo, seharusnya kita hadirkan kesadaran sejarah ke dalam diri kita. Namun, tidak untuk mengajak pembaca larut dalam nostalgia dan berkutat pada sejarah saja. Poin pentingnya, bagaimana cara kita mengambil semangat zaman dari kedua tokoh tersebut, yang kemudian kita relevansikan dan kontekstualkan dengan kondisi perjuangan kita saat ini.
Pondok Shabran UMS: Program Kader Muhammadiyah
Salah satu bentuk amal pak Djazman yang sangat berharga dan bernilai besar bagi Muhammadiyah adalah ketika beliau menyumbangkan keberanian dan kevisionerannya dalam membentuk Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS atau biasa di sebut dengan “Pondok Shabran”.
Pondok Shabran adalah pondok program beasiswa Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) semata-mata hanyalah untuk kader Muhammadiyah yang ada di wilayah dan daerah dari sabang sampai merauke yang ingin melanjutkan kuliah S1-nya di UMS.
Begitu banyak orang jebolan pondok shabran ini yang berhasil, salah satu sebabnya yaitu adanya sentuhan humanis, kesabaran, serta keikhlasan dari pak Djazman dalam membina mahasantri Pondok Shabran.
Suatu hari saya bertamu ke kediaman Prof. Zakiyuddin Baidhawy, salah satu murid langsung dari pak Djazman. Kami ngobrol banyak dengan beliau membahas tentang pondok Shabran. Tidak luput dari pembahasan kami yaitu bagaimana pola pendekatan dan pembinaan pak Djazman kepada mahasantri Pondok Shabran.
Beliau menjawab bahwa kehebatan pak Djazman dalam membina mahasantri yaitu dengan tidak memberi sanksi ke mahasantri, baik itu di dalam kelas maupun dalam aturan pondok. Gagasan program merdeka belajar oleh Nadiem Nakariem (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), menurut Prof. Zakiyuddin Baidhawy, sudah jauh lebih dulu diterapkan oleh pak Djazman. Prof. Zakiyuddin Baidhawy merasakannya secara langsung ketika nyantri di Pondok Shabran.
Pendekatan kultural inilah yang menjadi salah satu senjata pamungkas pak Djazman dalam membina, menyentuh, dan mengambil hati Mahasantri untuk lebih semangat dan serius belajar di Pondok Shabran. Dari sini kita dapat melihat bahwa tidak ada jarak antara pak Djazman sebagai Rektor UMS dan dosen dengan mahasantri Pondok Shabran.
Pendekatan kultural ini yang juga harus dilakukan oleh para dosen yang ada di UMS. Khususnya perangkat pondok Shabran, bapak Direktur, dan para Pembina Pondok Shabran hari ini.
***
Ada Kalimat popular dari pak Djazman yang sering jadi motivasi mahasantri dan mahasiswa UMS pada umumnya yaitu “kemandirian, persaudaraan, dan kebebasan yang bertanggung jawab”. Kalimat yang amat kaya akan makna filosofis ini maksudnya adalah kebebasan yang diberikan oleh pak Djazman kepada kader Muhammdiyah untuk menjadi apapun yang mereka inginkan di masa depan. Yang penting menurutnya yaitu bisa bertanggung jawab dengan pemikiran dan perbuatan yang dilakukannya. Menjadi apapun boleh saja selama memberi kemaslahatan bagi persyarikatan, bangsa, dan negara.
Tapi suatu ketika pak Djazman pernah dikritik atas perilakunya yang masih mau merawat dan membina kader yang tidak serius dalam perkuliahan. Pak Djazman kemudian menjawabnya dengan tenang namun serius “Jenengan jangan melihat kader ini satu tahun, atau dua tahun kedepan, tetapi lihatlah kader ini lima sampai sepuluh tahun kedepan, dia akan menjadi apa”.
Akhirya dengan pola pendekatan ala pak Djazman di Pondok Shabran UMS, banyak sosok kader yang berhasil. Baik di ranah akademisi, birokrasi pemerintahan, juga ada yang di struktural PP Muhammadiyah. Misalnya, Prof. Zakiyuddin Baidhawy (Rektor IAIN Salatiga), Juliyatmono (Bupati Karanganyar), Dr. Syamsul Hidayat (Dekan FAI UMS dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah), dan Ahmad Norma Permata, PhD (Ketua LPCR PP Muhammadiyah 2015-2020), dan masih banyak kader Shabran jebolan pak Djazman yang tidak penulis cantumkan.