Feature

Mudik ke Sekian: Etape-2 Jepara-Jakarta

5 Mins read

Desa Cepogo Jepara, Ahad 24 April 2022. Bunyi alarm hape membangunkan aku dari lelap tidur pada jam 03.00. Padahal, aku baru bisa tidur lewat tengah malam. Semalam sekitar jam 20.30, kami kedatangan Lik Nur, adik Pak-e, sekeluarga.

Meski tidak tinggal di Cepogo, kami sangat dekat dengan keluarga ini. Anak pertama beliau tinggal bersama kami saat sekolah di MAN2 Jogja. Kini si anak pertama datang bersama, anak pertamanya yang sudah tamat SMA dan anak keduanya yang kelas enam SD.

Anak kelima Lik Nur dulu juga tinggal bersama kami selama kuliah di Prodi PGSD UAD. Kini, dia datang bersama anaknya yang baru berumur sepuluh bulan. Lalu anak terkahir atau keenam Lik Nur, juga tinggal bersama kami selama kuliah di Prodi KPI UMY.

Maka, Lik Nur sudah melebihi keluarga bagi kami. Malam tadi mereka hadir lengkap. Maka, kami bercengkerama sangat akrab. Kehadiran mereka menghadirkan kembali suasana keluarga besar yang meriah.

Selesai makan sahur, sebuah panggilan telepon menghilangkan sisa kantukku. Uda Akhyar, lengkapnya M. Akhyar Adnan, Ph.D, adalah dosen senior UMY sekaligus ketua Badan Pengawas Lazismu  dan anggota Badan Pengawas BPKH RI.

Tetapi kali ini beliau menelepon soal lain. Terkait adik-adik mahasiswa Muhammadiyah di Sudan. Salah satunya bernama Annisa Alya meninggal dunia enam jam sebelumnya. Almarhum berasal dari Kerinci dan keluarganya menginginkan pemakaman di Kerinci.

Tentu ini bukan soal mudah terkait perjalanan apalagi biaya. Maka, Uda Akhyar meminta aku sebagai ketua BP Lazismu dan orang Kerinci melobi keluarga almarhum.

Diharapkan, mereka mengikhlaskan pemakaman di Sudan saja. Aku lalu menghubungi nomor kontak yang dikirim Uda Akhyar untuk kemudian meminta nomor kontak keluarga alm di Kerinci.

Ini dilakukan sembari bersiap memulai perjalanan Mudik  Kesekian Etape-2: Jepara-Jakarta.

***

Hari masih gelap, pukul  05.15, kami mulai keluar rumah. Dilepas oleh Pak-e dan Bu Rohtun, kami menyusuri jalan desa Cepogo. Tujuan kami adalah kantor Lazismu di Jakarta. Kami kembali menyusuri hampir seperempat lereng gunung Muria bagian utara dan barat.

Baca Juga  Apapun Ormasnya, Agamanya Islam

Melalui jalur dalam, kami lewati Pakishaji, Lebak, Bate, dan keluar di Gotri. Selanjutnya berbelok kiri lalu ke kanan mengambil jalan tembus Gotri-Demak melalui Welahan. Sesampai di Mijen, kantuk berat meyerangku.

Maka, navigator berganti menjadi sopir. Istriku memang sudah mahir menyopir. Tetapi, ketika bermobil bersamaku, dia merasa lebih nyaman menjadi penumpang. Hanya butuh beberapa menit dan akupun terlelap.

Ketika terbangun, kami sudah berada di pom bensin depan Unissula di Kaligawe Semarang. Aku membuka hape dan sebuah pesan WA masuk dari Sudan. Di dalamnya tertulis nomor kontak ibu alm Annisa Aliya di Kerinci.

Tentu menelepon keluarga almarhumah bukan sesuatu yang mudah bagiku. Aku bisa merasakan kesedihan mereka di Kerinci. Agar komunikasi efektif, aku memerlukan beberapa penguatan. Aku perlu sudut pandang fikih terkait dengan pemakaman jenazah di tempat yang jauh dari keluarga. Dengan menelepon beberapa teman, aku mendapat pencerahan dari temannya temanku.

Menurut dia, mengutip Q.S. At-Thur ayat 21, hal yang mempertemukan orang tua dengan anak-anak mereka yang sudah meninggal bukan kedekatan fisik. Tetapi kedekatan dan kesamaan iman.

Lalu dari Dindo Wahidin, ketua Lazismu Sudan, aku diberitahu memulangkan jenazah dari Sudan ke Indonesia butuh biaya sekitar seratus juta rupiah dan waktu sekitar satu minggu.

Sedangkan, menyegerakan pemakaman jenazah tentu sesutu yang lebih baik. Dengan bekal dua info penting ini, aku mengontak keluarga almarhumah di Kerinci.

Teleponku terhubung dengan Pak Candra, ayah almarhumah. Sebagai pembuka, aku memperkenalkan diri sebagai ketua Lazismu. Bahwa teman-teman Lazismu Sudan, sedang mengurus hal terkait meninggalnya ananda Annisa.

***

Agar lebih cair, aku juga memperkenalkan diri sebagai orang Kerinci dana perjalanan mudik ke kampung halaman. Tentu aku mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Bahwa Annisa adalah syahidah dalam perjalanan jihad menuntut ilmu.

Lalu aku menanyakan rencana keluarga selanjutnya. Keluarga ternyata sudah mengambil keputusan. Mereka mengikhlaskan Annissa dimakamkan di Sudan. Alhamdulillaah. Pak Candra hanya berpesan agar teman-teman almarhumah membuat dokumentasi yang cukup atas pemakaman putri tercinta mereka. Maka dalam sedih, ada bahagia aku rasakan. Karena dalam perjalanan mudik, masih bisa membantu mereka yang dalam duka. Lalu terasa ada bulir-bulir hangat membasahi pelupuk mataku.

Baca Juga  Heran! Ada Pemuda Salat Pakai Celana Pendek

Tepat pukul 08.30 kami melanjutkan perjalanan, dari Semarang menuju Jakarta. Dari Kaligawe aku mengarahkan Raize masuk pintu tol menuju ruas tol Semarang-Kendal. Beberapa menit kemudian, kami memasuki km-420.

Ini artinya, Jakarta masih 420 km lagi. Lalu lintas tidak terlalu ramai. Badanku segar. Perasaanku bahagia. Ini kan perjalanan mudik. Setiap perjalanan mudik bagiku selalu membahagiakan. Pada suatu kali mudik, aku memasang tulisan besar di bagian belakang mobilku “Mudik itu Indah.”

Tanpa sengaja, kecepatan Raize mencapai 140 km/jam. Maka aku memperlambat laju kendaraan. Apalagi di beberapa titik ada tulisan “kecepatan Anda direkam oleh kamera CCTV”.

Beberapa jam kemudian, aku sudah melalui km-300. Lalu 200. Lalu tanpa terasa, kami sudah memasuki km 140 (?). Seiring dengan masuknya waktu zuhur dan mata yang kembali mengantuk. Kamipun masuk rest area yang sudah masuk kawasan Jawa Barat.

Seiring dengan laju perjalanan, kami mulai berbagi foto perjalanan ke grup Shabran 86. Ini grup WA teman sekelas saat kuliah di Pondok Shabran UMS Solo pada 1986-1991 dulu. Kami bersahabat sejak tiga dasawarsa yang lalu.

Istriku yang teman se-angkatan saat kuliah sekaligus navigator perjalanan menulis update di WA. “Semoga perjalanan kami lancar dan bisa masuk Jakarta sebelum asar. Colek sedulur Kirana, Sarnoto, Wahidah, dkk. Apakah memungkinkan kita bukber di suatu tempat di Jakarta?”.

***

Status ini segera memancing percakapan ramai di grup. Ahmad Sulaiman, teman yang kini menjadi tokoh umat di Pekajangan Pekalongan segera merespon. “Mampir aaaa… istirahat sejenak.” Istriku menjawab, “waduuuh… sudah kelewat Kyai. Masuk Cipali km 264.”

Dibalas oleh Ahmad, “Waduh… padahal wes tak siapke Sop Buntut bu Lemah lhoo….” Begitulah perjalanan mudik kami, diringi dengan berbagi cerita pada banyak teman dan keluarga di banyak tempat.

Sekitar pukul 13.00, kami memasuki tol Cikampek-Jakarta. Perjalanan menuju Kantor PP Muhammadiyah di Menteng membuat kami sedikit tegang. Jakarta kini bukan lagi Jakarta era aku sering singgah ke Klender dulu.

Baca Juga  Khilafah Ekologis: Etika Memperlakukan Alam

Pada era 1980-1990-an itu belum banyak jalang layang dan tol. Maka mudah bagiku mengenal jalan. Nama jalan dan nomor rumah juga tertulis lengkap di semua bangunan tepi jalan. Jalur belok kanan, kiri, atau lurus masih sederhana.

Pada dasawarsa ketiga abad ke-21 kini jalan di Jakarta tidak lagi ramah bagi driver daerah seperti aku yang masuk Jakarta hanya sesekali. Sekali salah berbelok maka rumit untuk kembali ke lokasi semula.

Seorang teman bahkan haru menyewa taksi untuk memandu keluar dari tersesat dalam keramaian lalulintas ibukota. Dia  dalam perjalanan dari Jogja menuju Sumatera. Untungnya kini ada aplikasi googlemap. Dan kami pun selamat sampai tujuan, Jalan Menteng Raya 62.

Depok, Jawa Barat, Ahad, 24 April 2022, hari menjelang jam sembilan malam. Bagian dari perjalanan mudik adalah silaturrahmi dengan saudara atau teman di sepanjang jalur yang memungkinkan. Dengan keluarga kami, insyaAllah akan bertemu terutama di kampung halaman nanti.

Malam ini, kami makan malam dengan teman, khususnya  sesama alumni Shabran yang tinggal di Depok, selatan Jakarta. Kami berempat: aku, istriku, Kirana teman se kelas, dan suaminya kakak kelas kami Fahruddin.

Wahidah Kaltim teman sekelas lainnya terjebak macet sehingga batal bergabung pada reuni kecil ini.  Kekenyangan dan kehangatan berbagi cerita dengan dua sahabat ini menyempurnakan kebahagiaan kami pada hari kedua perjalanan mudik ini.

***

Makan malam ini juga menyempurnakan kebahagiaan kami bisa selamat sampai di Menteng tanpa tersesat pada siang harinya. Setelah keluar dari pintu tol Mampang Kuningan, sekitar jam 14.00 kami sudah memasuki Sofyan Hotel di jalan Cut Mutia.

Setelah check-in kami melanjutkan langkah menuju Depok naik Commuterline dari Gondngdia-Depok Baru. Dua jam kemudian kami sudah kembali ke Menteng. Dan terlelap kelelahan. Alhamdulillaah.

Bandara Sultan Thaha-Jambi, 23 Juni 2022

Mahli Zainuddin Tago

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds