Belakangan ini, pembahasan tentang hubungan antara Muhammadiyah dan salafisme meningkat cukup tajam. Pembahasan perlu diluruskan pada pendapat bahwa Muhammadiyah dan salafi bukan kembar siam.
Beberapa persoalan yang sering dibincangkan adalah tentang pengaruh salafisme ke dalam gerakan dan identitas organisasi Muhammadiyah; dominasi salafisme dalam model dan orientasi keberagamaan Muhammadiyah; pengaruh salafisme dalam turut menentukan warna gerak dan posisi politik Muhammadiyah; hingga kecenderungan anggota Muhammadiyah untuk menjadi lebih “salafi”, setidaknya dalam konteks simbolik. Diyakini, gejala-gejala itu semakin hari semakin nyata. Dan telah menghadirkan kekhawatiran di kalangan anggota Muhammadiyah.
Bukan Kembar Siam
Menyangkut Muhammadiyah dan salafisme, secara umum ada dua cara pandang yang berlawanan. Kalangan internal Muhammadiyah menganggap salafisme sebagai hal yang tidak identik dengan Muhammadiyah, meskipun ada elemen-elemen tertentu yang mempertemukan keduanya. Sementara kalangan luar melihat Muhammadiyah tidak lain adalah salafisme. Bahkan dalam banyak hal Muhammadiyah juga dikaitkan dengan radikalisme.
Kedua pandangan ini sama-sama tidak tepat. Menganggap Muhammadiyah sama sekali berbeda dengan salafisme, sama tidak cermatnya dengan menganggap Muhammadiyah sebagai seratus persen salafi. Saya ingin mengibaratkan hubungan dan pergulatan antara Muhammadiyah dan salafisme ini sebagai “Bukan Kembar Siam”. Maknanya, tidak benar-benar identik, tetapi juga juga tidak benar-benar terpisah.
Di kalangan internal Muhammadiyah sendiri, ketika sudah menyangkut perbincangan tentang salafisme, dan lebih khusus lagi salah satu varian dalam salafisme, yaitu Wahhabisme, seringkali terjadi kegamangan dalam memberikan respons. Misalnya, karena kepentingan tertentu, ada kelompok-kelompok yang selalu berusaha dengan keras melakukan identifikasi Muhammadiyah dengan Wahhabisme, bahkan radikalisme.
Pada umumnya, respons yang lahir dari sejumlah kalangan di Muhammadiyah bersifat umum saja. Bahwa tak elok dan tak tepat menyandingkan Muhammadiyah dengan Wahhabisme dan radikalisme. Namun sayangnya, jawaban “tak elok” atau “tak tepat” itu tidak dibarengi dengan identifikasi yang lebih khusus. Tentang wilayah di mana Muhammadiyah memang bersinggungan dengan Wahhabisme dan pada wilayah mana yang tidak. Atau jika memang tidak ada sama sekali, bagaimana menjelaskan anatomi keduanya, agar ketiadaan persinggungan itu juga terang.
Salafi Keresahan Banyak Pihak
Nah, dalam kaitan dengan penetrasi salafisme ke Muhammadiyah yang belakangan ramai ini, Biyanto, pengurus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, pernah mengungkap gejala ini ke dalam sebuah tulisan. Ini baik sekali, sehingga fenomena itu tidak hanya menjadi rasan-rasan, tetapi bisa didiskusikan secara ilmiah.
Dalam sebuah tulisan berjudul Menyikapi Tren Salafisme di Muhammadiyah (pwmu.co, 16/09/2019), Biyanto memberikan sejumlah contoh pengaruh salafisme di Muhammadiyah. Misalnya, tentang semakin maraknya pegawai-pegawai perempuan di lingkungan Muhammadiyah yang bercadar. Atau para pegawai laki-laki yang memakai celana cingkrang.
Tulisan Biyanto ini seperti mewakili keresahan banyak pihak dalam Muhammadiyah yang masih segan untuk mengungkapkan fenomena tersebut secara terbuka. Tentu banyak faktor yang menyebabkan keengganan tersebut. Bisa jadi karena hal itu akan memberikan pengaruh yang kurang baik kepada persatuan internal di Muhammadiyah. Atau sangat mungkin mereka yang dikelompokkan sebagai salafi dalam Muhammadiyah itu lalu merasa tidak nyaman berada dalam lingkaran Muhammadiyah.
Meskipun bersifat sangat elementer, tulisan Biyanto berhasil membuka kotak Pandora. Menyusul fenomena yang diungkapkan Biyanto itu, muncullah tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan salafisme di berbagai media Muhammadiyah.
Robby Karman menulis Membentengi Muhammadiyah dari Paham Salafi (ibtimes.id, 26 September 2019). Nurbani Yusuf menulis artikel Manhaj Salafi Anti-Tesis Manhaj Muhammadiyah (ibtimes.id, 07/10/2019) dan Salafi Hari ini adalah Utsaiminiyah (ibtimes.id, 08/10/2019). Sementara, Nurfarid menulis Islam Reformis: Dari Salafi Tekstual ke Salafi Rasional (ibtimes.id, 02/10/2019). Hasnan Bachtiar juga meramaikan diskusi dengan menulis artikel Lima Varian Salafisme di Indonesia. Tak hanya tulisan, diskusi-diskusi tentang Muhammadiyah dan salafisme pun lalu ramai digelar.
Tidak Cukup Hanya Berbagi Keresahan
Namun, dari tulisan-tulisan lepas yang disebutkan di atas, ada hal yang tertinggal. Sejauh ini, hanya tulisan Hasnan Bachtiar dan Nurfarid yang sedikit menyentuh gambaran relatif gamblang tentang anatomi, variasi, dan hakikat salafisme. Juga bagaimana ia bisa menghadirkan ancaman bagi Muhammadiyah.
Selain kedua artikel itu, kecenderungan umumnya adalah menganggap salafisme sebagai suatu entitas tunggal yang menjadi ancaman bagi Muhammadiyah. Akibatnya, penghadapan Muhammadiyah dan salafisme menjadi ciri umum yang sering tidak bisa dihindari.
Tulisan Nurbani Yusuf, misalnya, menganggap Salafisme sebagai antitesis manhaj Muhammadiyah. Kesimpulan seperti ini kurang tepat, bukan hanya karena ada elemen-elemen pemikiran salafi di Muhammadiyah, tetapi juga karena kesimpulan serupa muncul tanpa ada parameter metodologis yang pas untuk mengukur keduanya.
Demikian juga ketika Nurbani menyebut salafisme adalah identik Utsaiminiyah, ia melupakan varian-varian dalam salafisme yang ternyata sangat banyak. Karena, baik sebagai konsep pemikiran maupun gerakan, salafisme telah mengalami perkembangan yang cukup lama, sehingga memiliki konteks dan konotasi yang tidak tunggal. Tulisan Nurfarid sedikit mengungkap soal ragam orientasi salafi ini, meskipun masih sangat terbatas.
Perdebatan yang telah menggelinding ini, jika tidak diarahkan kembali ke rel awalnya, bisa berbahaya, liar dan tak terarah. Karena ibaratnya, kita sedang membahas dan membandingkan dua hal, sementara gambaran, detail dan hakikat kedua hal tersebut masih samar.
Jikapun tak samar, baru satu yang diketahui secara pasti, yaitu Muhammadiyah. Sementara tentang salafisme, dari beberapa tulisan itu, saya menangkap belum ada pemahaman yang memadai. Panjang lebar sudah pembahasan tentang Muhammadiyah dan salafisme dilakukan, tetapi justru hal-hal yang mendasar terlupakan.
Salafi Mengandung Banyak Perdebatan dan Konotasi
Saya memiliki sebuah ilustrasi. Saat mempertahankan disertasi tentang fatwa di tiga lembaga (Majelis Ulama Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Lajnah Bahtsul Masail NU) pada tahun 2015, salah satu penguji, Prof. Syed Farid Alatas memberikan sebuah pertanyaan berkaitan dengan salafisme ini. “Mengapa Anda tidak mengatakan secara eksplisit bahwa unsur-unsur salafisme mempengaruhi pola pikir dan ideologi Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) saat ini? Dari kajian yang Anda lakukan, menurut saya, jelas sekali bahwa fatwa-fatwa MUI sangat dipengaruhi oleh salafisme.”
Pada saat itu saya menjawab bahwa saya tidak secara eksplisit menyebutkan pengaruh salafisme dalam fatwa-fatwa MUI. Karena istilah salafisme ini dalam konteks Indonesia maupun global merupakan sebuah istilah yang mengandung banyak sekali perdebatan dan memiliki banyak makna konotatif.
Tidak ada definisi dan konteks tunggal atas istilah salafi. Sehingga menyebut MUI dipengaruhi oleh salafisme akan menimbulkan banyak sekali pertanyaan tentang aspek, model, jenis, atau tipe salafi apa yang dimaksudkan. Tentu saja, yang saya fahami, Syed Farid Alatas memaksudkan salafi dalam konteks ini sebagai orientasi pemikiran.
Lebih jauh, lalu saya mengajukan satu pemikiran bahwa dalam konteks Indonesia, salafisme bisa dimaknai dalam sejumlah konteks, yaitu: a) Salafisme sebagai Periode Sejarah; b) Salafisme sebagai Orientasi Pemikiran; c) Salafisme sebagai Model Pendidikan; dan d) Salafisme sebagai Gerakan atau Kelompok Keagamaan. Prof. Farid Alatas menerima pandangan saya itu dan meminta saya memasukkannya dalam revisi disertasi.
***
Dalam beberapa seri, tulisan ini ingin menyentuh wilayah-wilayah dasar itu dengan menggunakan ragam cara pandang terhadap salafisme. Tepatnya lagi akan membahas salafisme secara singkat dalam keempat konteks dan cara pandang di atas.
(Bersambung)