Tajdida

Muhammadiyah dan Salafisme (2): Salafiyah Bukanlah Madzhab

4 Mins read

Oleh: Pradana Boy ZTF

Jika salafisme hari ini pada umumnya dirujuk sebagai nama sebuah kelompok keagamaan dengan orientasi khusus, sebuah cara pandang menarik yang berbeda dengan pandangan umum itu, ditawarkan oleh Muhammad Saīd Ramadhān al-Būthi. Menurutnya, tidak seharusnya melihat salafisme sebagai aliran atau madzhab keagamaan, karena pada dasarnya salafiyyah adalah marhalah zamaniyyah mubārakah. Maka, dalam al-Salafiyah: Marhalah Zamaniyyah Mubārakah La Madzhabun Islāmiyyun, al-Būthi menghubungkan istilah salafiyah dengan fase dalam sejarah umat Islam.

Apa itu Salaf?

Untuk memahami pandangan al-Būthi ini, pemahaman tentang makna istilah salaf secara kebahasaan menjadi sangat penting. Secara kebahasaan, al-salaf bermakna hal “yang telah lalu.” Karena menyangkut waktu, maka makna “yang telah lalu” itu bisa bermakna relatif, demikian menurut al-Būthi. “Masa lalu” sangat erat kaitannya dengan masa “sebelum” dan “sesudah.” Maka, apa yang disebut “masa lalu” pada hari ini adalah zaman sebelum hari ini. Namun, hari ini adalah potensi “masa lalu” pada masa yang akan datang.

Senada dengan al-Būthi, dalam MāHiya al-Salafiyyah? Abd-u-LLah bin Abd al-Rahīm al-Bukhāri (2012) menulis bahwa kata (kalimah) yang tersusun dari hurufsin, lam dan fa’pada umumnya mengandung makna hal-hal yang terdahulu. Maka, dengan pendekatan kebahasaan, penulis ini memaknai al-salafiyyah sebagai: “man taqaddamaka wa sabaqaka fi al-sinni wa al-fadhli…”yakni mereka yang mendahuluimu dalam hal umur dan keutamaan (h. 14).

Namun, kedua penulis ini juga menyadari bahwa di luar makna kebahasaan, istilah salafiyah juga memiliki konotasi khusus dalam sejarah Islam. Berkaitan dengan hal inilah, baik Ramadhān al-Būthi maupun Abd al-Rahīm al-Bukhāri beranjak dari sebuah hadits Rasulullah tentang zaman atau masa terbaik bagi umat Islam. Al-Buthi mengajukan definisi: “al-qurūn al-tsalātsah al-ūla min umri hādzihi al-ummah al-Islāmiyyah…” (h. 9), yakni tiga periode pertama dari umur umat Islam.

Baca Juga  Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri

Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Ibn Mas’ud: “Khairu al-nāsi qarnī, tsumma al-ladzīna yalūnahum tsumma al-ladzīna yalūnahum…”Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zaman Nabi Muhammad, kemudian orang-orang yang datang pada masa berikutnya, dan orang-orang yang datang pada zaman berikutnya lagi.

Selain hadits ini, dari Shahih Muslim berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah terdapat sebuah hadits yang berbunyi: “Seseorang bertanya kepada Rasulullah: “Siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah menjawab: “Al-Qurunu al-ladzi ana fihi tsumma al-tsāni, tsumma al-tsālits (Satu masa yang aku ada di dalamnya kemudian masa kedua, lalu masa ketiga).”

Identifikasi tentang generasi-generasi Muslim terbaik di masa awal inilah yang kemudian melahirkan istilah salaf al-shāli(orang-orang shalih yang hidup pada masa terdahulu).

Salafiyah sebagai Fase Sejarah

Secara umum, umat Islam menerima hadits ini sebagai keterangan tentang tiga masa terbaik dalam sejarah umat Islam. Namun, hal yang menarik adalah baik al-Būthi maupun al-Bukhāri mengajukan sebuah pertanyaan menarik: apakah tiga zaman terbaik dalam kehidupan umat Islam itu hanya terbatas pada tiga zaman awal Islam tersebut. Atau dengan kata lain apakah semua orang yang berada dalam zaman tersebut dengan sendirinya adalah orang yang utama?

Tegasnya lagi, apakah mereka yang hidup pada zaman itu dengan sendirinya bisa disebut sebagai salaf al-shālih. Lebih mendalam lagi, al-Būthi mengajukan pertanyaan apakah tiga masa yang disebutkan itu bersifat berurutan (‘alātartīb), ataukah ia mengandung makna majmū’ al-muslimīna alladzīna ‘āsyū fī tilka al-qurūn? Yakniseluruh umat Islam yang hidup pada zaman yang tiga itu. Atau yang dimaksud adalah seluruh individu-individu Muslim tanpa terkecuali?

Baca Juga  Islam, Modernisme, dan Akal (1): Sebuah Pengantar

Al-Būthi mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pandangan dalam memahami persoalan ini. Tetapi jumhur ulama’ berpandangan bahwa yang mendapatkan kebaikan dari tiga zaman pertama ini adalah seluruh individu Muslim yang hidup pada zaman yang tiga tersebut. Perbedaan, kata Būthi, hanya terjadi pada derajat di antara masing-masing individu yang disesuaikan dengan ketaqwaan dan konsistensi (istiqāmah).

Abd al-Rahīm al-Bukhāri memberikan jawaban tegas atas pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa tidak berarti semua orang yang hidup pada tiga zaman itu dengan sendirinya bisa disebut dengan salafi. “Hidup di zaman yang terdahulu saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai al-salaf al-shālih,” kata al-Bukhāri. Maka, menurutnya, istilah ini merujuk hanya kepada sahabat yang tidak hanya bertemu dengan Nabi Muhammad, tetapi memiliki kualifikasi yang oleh Abd al-Rahīm al-Bukhāri disebut dengan muwāfaqatun li al-kitābi wa al-sunnah wa fahmi al-shahābah(memiliki sikap dan pemahaman yang sejalan dengan kitab dan sunnah serta pemahaman para sahabat) (h. 15).

Sejalan dengan pandangan ini, al-Allamah Syaikh Muhammad Amman dalamal-Sifāt al-Ilāhiyyah fī Dhaw’i al-Kitābi wa Sunnati, mengajukan sebuah definisi tentang salafiyah. Menurutnya, salafiyah adalah ashhāba rasūlillah alladzīna hadlarū ‘ashrahu, fa-akhadlū minhu hādla al-dīna mubāsyaratan ghadhan thariyyan fi ushūlihi wa furū’ihi… (h. 57). (Bahwa salafi adalah sahabat-sahabat Rasulullah yang bertemu dengan masa Rasulullah, belajar agama secara langsung darinya baik dalam hal-hal yang bersifat pokok maupun cabang).

Namun, dalam pandangan Būthi, tidak jarang pemahaman tentang istilah salafiyyah tidak mempertimbangkan aspek-aspek mendasar ini. Lalu dengan tegas, al-Būthi mengemukakan sebuah pandangan bahwa di antara kesalahan dalam memaknai kalimat al-salafadalah ketika istilah ini dimaknai secara berbeda dengan konteks sejarah pembentukan syariat dan pemikiran Islam. Tegasnya, pandangan yang menganggap salafiyah sebagai corak baru yang mewakili segolongan tertentu dari umat Islam yang memiliki pemahaman tertentu yang justru tidak dilakukan oleh mereka yang disebut sebagai salafi itu, sehingga nampak sebagai sebuah kelompok baru.

Baca Juga  Menyoal Sikap Eksklusif dalam Beragama

Salafiyah Bukan Madzhab atau Kelompok 

Dengan berbagai argumentasi yang detail dan mendalam, Saīd Ramadhān al-Būthi pada akhirnya menyimpulkan bahwa salafiyah bukanlah nama sebuah madzhab atau kelompok dalam Islam. Tidak lain, salafiyah atau salafisme adalah salah satu masa sejarah yang penuh berkah atau yang dalam bahasa al-Būthi disebut sebagai marhalah tārikhiyyah mubārakah.Dengan tegas, al-Buthi menolak identifikasi salafiyah dengan kelompok tertentu. Ia menulis: fain qashadta bihājamā’atun Islamiyyatun dzāta manhajin mu’ayyanin khāsun biha yatamassaku bihi man syā’a liyashbaha bidzālika muntasiban ilaiha mandzhuwiyyan tahta liwāiha, fatilka idzan ihda al-bidā’i al-mustahditsāh ba’da rasūlillah sallallahu ‘alaihi wassalam (h. 23). 

(Jika yang Anda maksud dengan salafiyah adalah golongan dalam Islam yang memiliki metode tersendiri yang dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari golongan itu, maka itu tidak lain adalah salah satu bentuk bid’ah yang lahir setelah zaman Rasulullah SAW).

Dengan demikian, apa yang bisa disimpulkan adalah memahami makna salafiyyah sebagai satu fase dalam sejarah sangatlah penting. Di luar persoalan, apakah seseorang setuju atau tidak dengan pandangan para pemikir yang berpegang pada pandangan ini, menghadirkan pemahaman salafiyyah sebagai fase sejarah ini akan memberikan pandangan tentang bagaimana sesungguhnya kesinambungan syari’at dan perkembangan pemikiran di kalangan umat Islam terjadi.

Dengan demikian pula, dalam menghadirkan pemahaman atas aspek-aspek keagamaan yang lebih luas, umat tidak terjebak pada romantisisme yang ahistoris. Sikap seperti inilah yang kadang-kadang menjadi penghalang untuk memahami sejarah sebagai inspirasi dan model untuk membangun kesinambungan di masa-masa yang akan datang. (Bersambung)

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds