Tajdida

Muhammadiyah itu “Salafi Reformis”

3 Mins read

Muhammadiyah dapat dikategorikan sebagai gerakan ”Salafi”. Mengapa? Jika dilihat dari ciri-cirinya, secara umum gerakan Salafi memiliki tiga ciri. Pertama, purifikasi ajaran Islam dari anasir yang merusak seperti takhayul, bid’ah, dan khurafat. Kedua, mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam. Ketiga, berpandangan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Saya kira Muhammadiyah ada dalam tiga ciri ini. Itu satu hal. Namun penyebutannya lebih tepat bahwa Muhammadiyah itu “salafi reformis”.

Muhammadiyah dan Salafi Reformis

Kalau membaca konteks kelahirannya, Muhammadiyah dipengaruhi oleh beberapa ulama, yaitu: Muhammad Abdul Wahab yang membawa gerakan pemurnian akidah. Muhammadiyah juga dipengaruhi oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang mengusung reformisme atau pembaruan Islam.

Salafi ala Muhammadiyah berbeda dengan gerakan Salafi yang lainnya. Tariq Ramadhan dalam bukunya Western Muslim and The Future of Islam (2004: 24-26)membagi gerakan Salafi menjadi tiga kelompok, yaitu:

Pertama, Salafi Literalism (Salafi Literal). Memahami sumber ajaran Islam secara literal dan menolak interpretasi rasional terhadap al-Qur’an dan Hadits. Hanya ada satu kebenaran tunggal yaitu Islam sebagaimana pemahaman mereka. Semua hal yang berasal dari luar Islam adalah salah dan karena itu wajib ditolak.

Kedua, Political Literalist Salafism (Salafi Politik). Perbedaan gerakan Salafi ini dengan yang pertama adalah pada gerakannya yang sangat intens pada bidang politik. Karena pengalaman dan kelahirannya sebagai kelompok yang tertindas.

Ketiga, Salafi Reformism (Salafi Pembaru). Ada tiga perbedaan mendasar gerakan Salafi Reformis dengan Literalis dan Politis, yaitu: (1) Salafi Reformis berusaha menafsirkan Alquran dan Sunah secara rasional: mempertimbangkan konteks (illat) dan tujuan (maqasid) hukum; (2) mendorong ijtihad aktif untuk menerapkan Islam secara substantif sesuai dengan ruang dan waktu; dan (3) menjadi warga negara yang aktif dan loyal sesuai dengan sistem negara di mana mereka berada.

Baca Juga  Anhar Gonggong: Pancasila, Sumbangan Muhammadiyah untuk Bangsa

Bagaimana Muhammadiyah Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah?

Muhammadiyah merupakan gerakan Islam. Identitas ini mengandung tiga pengertian: merujuk kepada al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari dan mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.

Mengingat penting dan sentralnya peran dan fungsi al-Qur’an dan Nabi dalam kehidupan beragama umat Islam maka keduanya dijadikan sumber patokan, pedoman dan isnpirasi bagi kehidupan seluruh umat Islam dimanapun berada.

Dalam hal yang terkait dengan persoalan keimanan, ibadah, dan akhlaq atau kehidupan moral, Muhammadiyah selalu merujuk atau kembali kepada tuntunan al-Qur’an dan Nabi (al-sunnah). Bagi Muhammadiyah, kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan langkah ”liberasi”. Pembebasan dari kungkungan primordialisme mazhab dan taklid yang membelenggu kreativitas berijtihad.

Kembali kepada al-Qur’an meliputi tiga proses: resitasi (membaca berulang-ulang sebagai bagian dari ibadah ritual), reinterpretasi (memperdalam makna dan mengkaji ulang pemahaman) dan refleksi (melihat ke dalam diri, bercermin dengan al-Qur’an).

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, al-Qur’an harus dibaca dengan tartil dan tadabbur melalui lima langkah: (1) Bagaimana artinya? (2) Bagaimana tafsir keterangannya? (3) Bagaimanakah maksudnya? (4) Apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? (5) apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankan? (Lihat KRH. Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur’an, 2008: 65).

Pemaknaan konsep kembali kepada al-Qur’an dan metode memahami al-Qur’an ala K.H. Ahmad Dahlan sungguh reformis. Muslim tidak perlu terikat dengan penafsiran ulama tertentu karena al-Qur’an tetap terbuka untuk dikaji kembali. Di sinilah perbedaan mendasar Muhammadiyah dengan kelompok revivalis yang memaknai al-Qur’an secara tekstual dan kelompok tradisionalis yang membaca al-Qur’an secara tekstual dan sebagai bagian ritual keagamaan semata.

Baca Juga  KH. AR. Fachruddin, Sahaja dan Gembira dalam Dakwah

Dakwah Wasathiyah

Muhammadiyah dapat dikelompokkan sebagai Salafi Reformis yang moderat. Muhammadiyah senantiasa membuka diri terhadap hal-hal positif meskipun berasal dari luar Islam. Seperti meniru sistem pendidikan Belanda, menekankan gerakan sosial-kultural, terutama pendidikan dan kesehatan, dan menaati hukum yang berlaku.

Selain itu, Muhammadiyah menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia dengan berperan aktif di dalamnya. Ketika pemerintah memberlakukan UU No. 8/1985 tentang Asas Tunggal, Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas organisasi dan menyesuaikan seluruh kegiatan amal usahanya, termasuk pendidikan sesuai undang-undang.

Hal inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan lain seperti Sarikat Islam yang cenderung radikal. Karena orientasi gerakannya yang menekankan pada pemurnian akidah dan ibadah serta haluan politiknya yang radikal dan ”Islam oriented”.

Meskipun dalam aspek akidah dan ibadah, Muhammadiyah juga sangat ”Syariah oriented”. Muhammadiyah menempatkan supremasi wahyu di atas ra’yu. Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPTM), Agama adalah ”apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya berupa perintah dan larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.”

Salafi Reformis itu pandangan keislamannya adalah: Islam Berkemajuan. Menurut Abdul Mu’ti, setidaknya ada lima karakteristiknya, yaitu: (1) pemurnian Tauhid; (2) merujuk Al-Qur’an dan Sunnah; (3) memiliki amal saleh yang fungsional dan solutif; (4)  berorientasi kekinian dan masa depan; serta (5) toleran, moderat, terbuka dan suka bekerjasama.

Jadi, menjadi tidak tepat membentur-benturkan Muhammadiyah dengan Salafi. Karena sejatinya Muhammadiyah merupakan gerakan salafi yang memperjuangkan pemurnian akidah dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang pada saat yang sama membuka pintu ijtihad dari kebekuan pemikiran Islam.

Kendati demikian Muhammadiyah berbeda dengan Salafi Tekstual yang beragama serba simbolik, juga berbeda dengan Salafi Politik atau Salafi Ideologis yang memperjuangkan Islamisme dengan cita-cita Negara Islam. Muhammadiyah lebih tepat disebut sebagai Salafi Reformis yang memiliki dua identitas: gerakan pemurnian Islam sekaligus pembaruan Islam.

Baca Juga  Amin Abdullah: Enam Jalan Moderasi Beragama

*) Artikel ini telah diterbitkan pada 12 Oktober 2019, lalu diterbitkan ulang setelah melalui penyuntingan.

Editor: Nabhan

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds