Perspektif

Muhammadiyah Mengharamkan Politik Kekuasaan: Analisa Dokumen PB Muhammadiyah 1937

3 Mins read

Abu Bakar bin Sa’id Basalamah, seorang tokoh Muslim asal Banjarnegara (Jawa Tengah) telah melakukan korespondensi dengan redaktur majalah al-Manar di Mesir. Sampai sejauh ini, belum diketahui secara pasti kapan dia menulis dan mengirim surat kepada redaktur pengelola majalah yang cukup populer dalam dunia Islam pada awal abad 20 tersebut. Surat yang ditulis oleh Abu Bakar bin Sa’id Basalamah tersebut ditujukan langsung kepada pemimpin redaksi al-Manar, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, murid tokoh pembaru dari Mesir, Syaikh Muhammad Abduh.

Korespondensi antara Abu Bakar bin Sa’id Basalamah dengan Rasyid Ridla dimuat di majalah al-Manar edisi Sabtu, 15 Dziulqa’dah 1354 H atau bertepatan dengan 8 Februari 1936 M. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Rasyid Ridla telah meninggal dunia pada 22 Agustus 1935, sehingga dapat diperkirakan beliau tidak sempat menjawab pertanyaan tersebut.

Abu Bakar bin Sa’id Basalamah telah mengajukan dua pertanyaan penting kepada Rasyid Ridla berkaitan dengan hukum riba pada masa peperangan (kolonialisme) dan kondisi umat Islam kontemporer. Sesungguhnya, pertanyaan kedua berkaitan langsung dengan kondisi umat Islam di Indonesia, khususnya tentang Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah.

***

Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur merespon penerbitan majalah al-Manar edisi 8 Februari 1936 dengan mengeluarkan pernyataan dan klarifikasi secara resmi Al-Bayan min al-Markaz al-‘Alam lil Jam’iyah al-Muhammadiyah bi Indaunisiya (Klarifikasi Kantor Pusat PB Muhammadiyah di Indonesia) dalam penerbitan majalah Soeara Moehammadijah edisi nomor 6/Th. XVIII/1937. Dokumen berbahasa Arab ini berisi klarifikasi dari PB Muhammadiyah yang bertujuan untuk meluruskan pendapat keliru Abu Bakar bin Sa’id Basalamah karena telah menganggap Muhammadiyah sebagai perkumpulan (jam’iyyah) anti-politik dan cenderung kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda.

Baca Juga  Muhammadiyah dalam Pusaran Isu Wahabi Global

Abu Bakar bin Sa’id Basalamah berpendapat: “Orang-orang Muhammadiyah mengatakan bahwa Islam bukan agama politik dan tidak melarang kita bersikap kooperatif (berserikat) dengan pemerintah dan negeri bersama sistem-sistem politiknya dan lain sebagainya. Hujjah mereka adalah firman Allah ta’ala: Allah tidak mencegah kamu (berikap kooperatif) kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu sekalian dalam agama, dan mereka tidak mengusir kamu dari rumah-rumah kamu sekalian…dan seterusnya ayat. Dan sekolah-sekolah Muhammadiyah terikat dengan departemen pengajaran.”

Politik Muhammadiyah

Rupanya, ketegangan Muhammadiyah dengan Sarekat Islam (SI) pasca penerapan kebijakan disiplin partai (1927) berbuntut panjang, tidak hanya memicu konflik di jajaran pengurus teras, tetapi juga merambah jajaran pengurus cabang di beberapa daerah. Sejak masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah memang telah membatasi diri tidak terjun dalam politik pergerakan. Meskipun K.H. Ahmad Dahlan sendiri menjabat sebagai “Penasehat” (Adviseur) Centraal Sarekat Islam (CSI), tetapi keterlibatannya hanya secara individu dalam politik pergerakan. Secara organisatoris, Muhammadiyah lebih memilih untuk berkhidmat pada pemberdayaan kaum Muslim pribumi lewat gerakan dakwah, pendidikan, dan kemasyarakatan. Karena sikapnya yang menjauhi politik, Muhammadiyah dituduh sebagai perkumpulan Islam yang anti-politik. Apalagi setelah terjadi perpecahan dalam tubuh SI dengan masuknya kelompok kiri revolusioner yang dimotori Semaoen (SI-Merah), Muhammadiyah semakin banyak mendapat musuh.

Selain tidak berpolitik praktis, Muhammadiyah juga bersifat kooperatif kepada pemerintah kolonial. Kebijakan semacam ini jelas berseberangan dengan SI yang sejak dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto cenderung non kooperatif. Faktanya, sekolah-sekolah Muhammadiyah menerima subsidi dari pemerintah kolonial Belanda. Dengan demikian, ketegangan antara Muhammadiyah dengan SI semakin tajam. Ketegangan ini mencapai titik klimaksnya ketika Kongres SI di Randublatung (Pekalongan) pada tahun 1926 mengeluarkan keputusan disiplin partai. Setiap pengurus SI tidak boleh dualisme organisasi. Warga Muhammadiyah yang masuk jajaran kepengurusan SI dipaksa untuk memilih: bertahan sebagai pengurus SI dan keluar dari kepengurusan Muhammadiyah atau keluar dari kepengurusan SI dan bertahan sebagai pengurus Muhammadiyah. Kebijakan disiplin partai telah banyak merugikan kedua organisasi ini.

Baca Juga  Muhammadiyah Berdiri Kokoh di Tengah

Menanggapi surat Abu Bakar bin Sa’id Basalamah, PB Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan dan klarifikasi bahwa apa yang disampaikan oleh tokoh Islam asal Banjarnegara tersebut tidak sepenuhnya benar. Muhammadiyah tidak pernah berpendapat bahwa Islam bukan agama yang anti-politik. Muhammadiyah juga tidak kooperatif atau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda dalam proses penyelenggaraan sekolah-sekolah. Secara tegas dinyatakan, Muhammadiyah mengharamkan partai politik dengan motif kekuasaannya. Berdasarkan data PB Muhammadiyah, pada tahun 1932, jumlah sekolah Muhammadiyah 688 sekolah. Dari seluruh sekolah Muhammadiyah pada waktu itu yang mendapat subsidi dari pemerintah kolonial Belanda hanya 65 sekolah. Selebihnya, yakni sebanyak 623 sekolah, dikelola secara mandiri.

***

Pemuatan korespondensi Abu Bakar bin Sa’id Basalamah dalam majalah al-Manar 8 Februari 1936 memang cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Namun sayang, surat yang seharusnya ditujukan kepada Rasyid Ridla tersebut terlambat karena sang tokoh yang dikehendaki supaya menjawab pertanyaan tersebut sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Barangkali karena redaktur al-Manar pasca wafat Rasyid Ridla tidak banyak informasi tentang Muhammadiyah sehingga banyak menimbulkan kesalahpahaman.

Ceritanya tentu akan lain seandainya Rasyid Ridla masih hidup sewaktu Abu Bakar bin Sa’id Basalamah melakukan korespondensi. Sebab, murid Muhammad Abduh ini memang pernah berdialog dengan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Menurut sumber Djarnawi Hadikusuma, dalam buku Aliran Pembaruan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai K.H.A. Dahlan (hal. 66), K.H. Ahmad Dahlan pernah bertemu dan berdialog dengan Rasyid Ridla lewat perantara K.H. Baqir. Pertemuan tersebut setelah K.H. Ahmad Dahlan selesai menunaikan ibadah haji kedua kalinya.

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds