Oleh: Bayu Prastio
Jika kita bertanya pada masyarakat Indonesia, “apakah anda tahu muhammadiyah?” maka kemungkinan besar mereka menjawab mengetahuinya. Bukan maksud berlebihan, bahkan mungkin tak pernah disangka oleh pendiri muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan bahwa organisasinya kini telah meluas seluruh Nusantara. Apalagi dalam bidang pendidikan, keseriusan Muhammadiyah tidak bisa diragukan. Walau demikian, kita juga perlu terus mengkaji apakah pendidikan Muhammadiyah saat ini masih mampu menjawab persoalan bangsa atau tidak.
Berdasarkan Database Persyarikatan yang dipublikasikan di laman Muhammadiyah.or.id, Muhammadiyah memiliki 4.623 TK/TPQ, 2.252 SD/MI, 1.111 SMP/MTs, 1.291 SMA/SMK/MA, 67 Pondok Pesantren, dan 171 perguruan tinggi Muhammadiyah. Mereka tersebar tidak hanya di lingkup mayoritas Muhammadiyah serta tidak hanya untuk kader Muhammadiyah, siapapun boleh belajar di sana. Mulai dari orang-orang yang memiliki perbedaan pandangan dengan Muhammadiyah sampai non-Islam pun tak jarang kita temukan mengenyam pendidikan di Muhammadiyah.
Contohnya terjadi di Universitas Muhammadiyah Kupang, yang ternyata mahasiswa non-Islam lebih mendominasi yaitu 80% dari total mahasiswa. Hal itu juga terjadi di SMK Muhammadiyah Serui, Kecamatan Yapen Selatan, Kabupaten Yapen Provinsi Papua yang juga didominasi oleh non-Islam. Fenomena ini juga yang telah menginspirasi terbitnya buku “Kristen Muhammadiyah (Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan)” karya Abdul Mu’ti dan Fajar Riza UI Haq.
***
Ini adalah sebuah tanda bahwa cita-cita yang tertuang dalam UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sudah berhasil dipegang oleh Muhammadiyah. Karena kata ‘Bangsa’ tentu tidak merujuk pada satu golongan saja, tapi banyak. Bangsa disini sudah memaknai sebuah keberagaman yang ada di Indonesia mulai dari keberagaman budaya hingga agama. Artinya, penggunaan kata bangsa sudah mewakili jati diri Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Maka menjadi sangat penting dibahas terkait keterbukaan Muhammadiyah dalam sektor pendidikan, agar bisa menjawab persoalan mulai surutnya prinsip kebhinekaan di kehidupan masyarakat Indonesia. Terbukti dari banyaknya kasus-kasus intoleransi dan rasisme.
Setara Institute mencatat ada 202 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang tahun 2018. Begitu pula terkait rasisme, pada tahun ini (2019) terjadi kasus rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya. Rasisme itupun berujung demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah di tanah Papua maupun di luar Papua yang belum pernah terjadi separah itu sepanjang catatan sejarah.
Kita perlu memperhatikan lagi keterbukaan terhadap perbedaan golongan, ras, suku dan agama, mulai dengan pertanyaan, “apakah kita memang masih memiliki prinsip tersebut?” Jika tidak, maka ada yang salah dari diri dan sistem sosial kita. Islam dengan prinsip rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta) seharusnya sudah tidak lagi memperselisihkan perbedaan. Toleransi dan memberikan manfaat bagi seluruh manusia merupakan entitas penting dalam perkembangan islam di dunia.
Saat ini, Muhammadiyah menjadi organisasi yang bisa mencontohkan karakter kebhinekaan. Salah satunya dengan membuka pendidikan lewat prinsip bisa dikenyam siapa saja. Dilakukannya penyebaran pendidikan di berbagai daerah dengan heterogenitas budaya yang terhitung besar, membuktikan bahwa muhammadiyah bersikukuh mengembangkan pendidikan tanpa memikirkan apakah di daerah tersebut mayoritas warga muhammadiyah atau bukan.
***
Walau di dalam lembaga pendidikannya memang terselip pembelajaran nilai-nilai kemuhammadiyahan sebagai salah satu program dakwah Muhammadiyah, tapi itu tidak membuat Muhammadiyah bisa dicap memaksa orang-orang non-Muhammadiyah masuk Muhammadiyah. Itu hanya sebuah penyebaran yang selanjutnya pilihan masuk atau tidaknya ke dalam Muhammadiyah merupakan pilihan masing-masing. Bahkan untuk masyarakat non-Islam yang belajar di Muhammadiyah telah disediakan guru-guru untuk mengajarkan mereka ilmu agama masing-masing.
Pada usia Muhammadiyah yang tidak bisa dikatakan masih muda, yaitu 107 tahun, Muhammadiyah telah membuktikan mampu berkontribusi besar membawa Indonesia dalam kemajuan. Dulu pada tahun-tahun awal Muhammadiyah, yang saat itu masih dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah ikut berpartisipasi aktif dalam melawan Kolonialisme Belanda.
Bahkan pahlawan besar Indonesia yang pasti kita tahu, Jenderal Soedirman adalah juga kader Muhammadiyah yang berjuang melawan penjajahan. Setelah kemerdekaan, pergerakan Muhammadiyah tidak berhenti, hingga sampai sekarang Muhammadiyah tetap berjalan sebagaimana mestinya untuk menjawab persoalan bangsa.
Indonesia sedang membutuhkan semangat rakyat untuk memajukan kembali nilai-nilai kebhinekaan. Tumbuhnya intoleransi dan rasisme saat ini harus dijawab dengan bentuk pendidikan yang memunculkan sikap nasionalisme dan menghargai keberagaman. Muhammadiyah dengan sikapnya yang bisa menerima siswa/mahasiswa dari berbagai latar belakang juga bisa disiratkan sebagai bentuk mencerdaskan kehidupan bangsa untuk menyadarkan bahwa nilai-nilai kebhinekaan perlu dijaga.
Bayangkan, jika ini dilakukan oleh semua pihak, bukan hanya Muhammadiyah, maka nilai-nilai kebhinekaan akan tumbuh bahkan lebih melekat dibanding sebelumnya. Dalam membangun kebhinekaan, perlu adanya integrasi antar masyarakat dari mulai tataran rumah tangga sampai organisasi masyarakat yang tentunya atas dukungan pemerintah. Sebab patut kita sadari, kebhinekaan lahir bukan hanya karena ide individu, tapi itu lahir dari jati diri bangsa yang memiliki arti mendalam tentang toleransi sesama untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Kita juga perlu menekankan bahwa nilai-nilai kebhinekaan harus masuk ke dalam konteks kesadaran individu, bukan lagi konteks teknis saja yang tentunya tidak akan bertahan lama. Karena parameter kesuksesan pendidikan adalah pencapaian ilmu sampai menimbulkan kesadaran pada diri masing-masing. Jika sudah masuk dalam konteks kesadaran maka kalimat “mencerdaskan kehidupan Bangsa” memang sudah bisa dianggap tercapai.