Feature

Nalar Akademik vs Nalar Umum

3 Mins read

Saya rasa-rasakan, keriuhan demi keriuhan di masyarakat di era informasi ini kok salah satunya disebabkan karena adanya gap antara nalar akademik dan nalar umum.

Gap seperti apa? Mudahnya, pada suatu topik yang sama, orang-orang akademik bilang A berdasar referensi, hasil penelitian, diskusi panjang dan lain sebagainya, sementara itu masyarakat umum bilang yang lain dengan dasar informasi yang paling kuat beredar di masyarakat, tanpa ukuran validitas informasi seketat masyarakat akademik.

Dulu ramai soal sekularisme, pluralisme, liberalisme di tengah masyarakat, terutama setelah MUI mengeluarkan fatwa tentang 3 hal itu sebagai paham yang sesat.

Tudingan untuk Nalar Akademik

Atas dasar itu, lalu masyarakat sampai menggunakan istilah-istilah itu untuk menudong apa-apa yang tidak sesuai dengan pahamnya dengan istilah itu. “Dasar sekuler!”, “Liberal!”, tanpa ada kesepakatan dulu makna kata-kata itu secara jelas.

Padahal secara akademik, istilah-istilah itu punya makna yang “netral”, bukan untuk menunjuk atau mengidentifikasi pihak-pihak tertentu secara peyoratif.

Sebagai contoh, akademisi, misalnya Kurzman, memasukkan Kyai Ahmad Dahlan sebagai tokoh Liberalisme Islam awal di Indonesia, untuk mengidentifikasinya sebagai tokoh pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan dan keadilan gender dsb. Beda dengan definisi yang beredar di masyarakat sekarang kan?

Di sisi seberangnya juga mengalami itu: Radikalisme. Di masyarakat, radikalisme terlanjur diidentikan dengan kekerasan keagamaan, terlebih setelah tragedi 9/11.

Ya, narasi mengenai radikalisme di/ter-bangun sedemikian rupa sehingga ketika mendengar istilah radikalisme, masyarakat akan membayangkan tindakan kekerasan dengan alasan agama. Padahal, secara akademik, radikalisme itu tidak hanya dalam bidang keagamaan. Bisa politik, ekonomi, budaya dan lainnya. Jadi ada semacam penyusutan makna secara besar-besaran.

Itu dua contoh pemahaman terhadap suatu definisi. Sementara itu juga pada hal-hal yang lebih kompleks, misalnya geopolitik internasional.

Baca Juga  Iman dan Darah

Kasus Internasional

Di masyarakat umum Indonesia, banyak yang memahami bahwa konflik Suriah secara sederhana: perang antara Sunni dan Syiah. Kesimpulannya juga sederhana, dukung Sunni, lawan Syiah. Tidak perlu ribet-ribet menganalisis, cek dan recek data dan lain sebagainya.

Sementara itu, masyarakat akademik khususnya bidang geopolitik dan hubungan internasional menggambarkan konflik Suriah sebagai kejadian multifaktorial, seperti manifestasi ketegangan antar suku/bangsa, perebutan jalur pipa gas, perebutan kuasa atas kawasan dan lain sebagainya.

Hal yang sama juga terjadi pada kasus Uighur. Di benak masyarakat umum, soal ini hanya soal pemerintah komunis China vs suku Uighur yang muslim. Simpel. Makanya kesimpulannya pun sederhana: dukung muslim Uighur, lawan komunis China.

Lain dari itu, para akademisi memiliki analisis yang menjalaskan kompleksitas yang terjadi seperti ketegangan etnis, separatisme, potensi radikalisme agama terkait ISIS, perang dagang antara kelompok China dengan kelompok Amerika, hubungan perinvestasian China dengan negara-negara Arab, dan lain sebagainya.

Bukan, ini bukan mau membenarkan tindakan pemerintah China pada etnis Uighur bila memang ada penindasan. Kita tidak bahas itu di sini.

Saya hanya ingin menggambarkan bahwa cukup sering terjadi jurang perbedaan antara nalar akademik dan nalar umum pada isu-isu yang berkembanh di masyarakat. Secara teknis, nalar akademik bisa dikatakan lebih kompleks dalam berpikir dan tidak musti mudah mengambil kesimpulan, sementara nalar umum itu sederhana.

Persoalannya, dengan kesedeharnaannya itu amat mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak penguasa media, amat mudah menjadi obyek propaganda, dari manapun yang mempropaganda. Apalagi, secara khusus, propaganda makin laku kalau itu menyangkut isu agama.

Saya punya pengalaman praksis mengenai ini. Misalnya, dalam mengumpulkan dana bantuan krisis/bencana pengungsi Rohingya lebih cepat dan lebih mudah dibanding kasus gempa Palu neski sama-sama ada korban manusia dalam jumlah besar.

Baca Juga  Asisten Pengajar Prof. Yunahar Ilyas: "Beliau Ulama yang Dekat dengan Umat"

Kasus Rohingya dibalut isu penindasan pada agama tertentu yang harus dibela, sementara gempa Palu dibalut isu bahwa kejadian itu merupakan azab karena di sana banyak tempat maksiat. Oleh karena itu pengumpulan dana bantuan untuk Rohingya terkumpul lebih cepat dan lebih mudah daripada untuk Palu. Jadi memang sesimpel itu cara berpikir nalar umum.

Memanfaatkan Nalar Masyarakat

Nah, cara berpikir ini selain dimanfaatkan oleh para propagandis juga oleh pihak-pihak tertentu untuk mengumpulkan dana (crowd-funding). Coba saja cek, kasus Uighur mulai menarik para crowd-funder yang meggunakan isu penindasan atau semacamnya, kan? Sama persis seperti kasus Suriah.

Sekali lagi, saya tidak bilang bahwa tidak ada penindasan di Uyghur. Saya tidak dalam posisi yang punya otoritas untuk itu. Ini sekadar penggambaran cara berpikir masyarakat yang seringnya terlalu sederhana pada kasus-kasus kompleks.

Kalau dipanjangkan, bisa kita lihat betapa banyaknya yang tertipu investasi bodong berbalut syariah. Ya karena pemikirannya terlalu simpel, bahwa investasi syariah lebih barokah. Itu yang dikatakan salah satu korban dalam sebuah wawancara di radio, pagi tadi. Masih banyak kasus lainnya, silakan dieksplore.

Masalahnya lagi, ada saja akademisi yang tidak menggunakan nalar akademisinya, tapi tetap menggunakan titel akademisinya, sehingga mempengaruhi masyarakat, padahal cara berpikirnya dalam kasus tertentu sama sekali tidak akademis.

PR untuk para akademisi, media, dan menteri pendidikan.

17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds