Feature

Nasrudin Joha dan Upaya Penyesatan Isi Pidato Guru Besar Haedar Nashir

4 Mins read

Pasca pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Haedar Nashir (12/12/2019) muncul tulisan bernada tendensius. Tulisan itu berusaha menyesatkan isi dan substansi Pidato Pak Haedar yang sebenarnya. Tulisan itu berjudul dengan nada provokatif “HAEDAR NASHIR TELAH MENGOKOHKAN GELAR DENGAN ‘MEMAKAN DAGING’ SAUDARA MUSLIM” yang ditulis oleh Nasrudin Joha.

Jujur, sebenarnya saya malas menanggapi tulisan tersebut. Dan saya sudah membaca kemarin, namun ternyata tulisan ini masih semakin viral. Sebagai orang yang menghadiri, mendengar dan membaca dengan seksama Pidato Pak Haedar, saya merasa berkewajiban untuk meluruskannya. Supaya tidak ada “penyesatan opini”. Akan berbaya, lebih-lebih di era digital, orang tidak terbiasa membaca tulisan secara utuh. Dan juga tidak membaca langsung pidato Pak Haedar yang lumayan tebal, sebanyak 84 halaman ini (bukan 54 halaman sebagaimana disebut Joha).

Tulisan tersebut menunjukkan bahwa penulis benar-benar tidak memahami (betul) isi pidato Pak Haedar. Hanya saja seolah-oleh penulis telah membaca dengan mengutip pidato Pak Haedar. Namun hanya untuk menjustifikasi opini dan upaya pembelokan makna pidato Pak Haedar saja. Dalam tulisan Joha tersebut, ada beberapa hal fatal yang dituduhkan kepada Pak Haedar, yaitu:

***

Pertama, menuduh Pak Haedar termakan Narasi Barat. Joha menuduh Pak Haedar bertendensi dan termakan narasi Barat, nampak dengan mengutip paragraf pertama pidato:

“Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme” dengan perhatian khusus pada radikalisme dan deradikalsme Islam melalui diksi waspada kaum “jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan menimbulkan kontroversi nasional.” (h. 1).

Joha menyatakan:

“Narasi pembuka pidato Nashir telah memberi legitimasi pada narasi yang digaungkan rezim Jokowi, yang juga bagian dari antek kapitalisme global dengan narasi ‘War on Radicalism’ yang substansinya adalah ‘War On Islam’. Bukannya memberi koreksi atau kritik terhadap narasi radikalisme yang telah terbukti memecah-belah umat Islam, menjadikan umat Islam saling curiga dan saling menuduh, Nashir justru terlibat mengokohkannya.”

***

Koreksi saya, justru narasi pembuka pidato Pak Haedar itu bukan untuk mengokohkan narasi radikalisme selama ini, melainkan menjadi narasi radikalisme pembuka yang akan dikritisi oleh Pak Haedar lebih lanjut karena selama ini sudah salah kaprah dan menstigma umat Islam sebagai radikal. Jadi salah besar jika mengatakan Pak Haedar mengokohkan wacana rezim, justru sebaliknya. Hal ini bisa dilihat di beberapa kutipan pidatonya:

“Pelekatan radikal dan radikalisme pada konotasi Islam dan umat Islam merupakan bias dari cara pandang dan kebijakan negara-negara Barat yang beraura Islamofobia dan diawali oleh trauma politik pasca tragedi 11 September 2001 yang menghentak dunia itu”

“Hingga di sini penting untuk dikaji dan dirumuskan ulang tentang paham dan gerakan radikal di Indonesia dari satu sudut pandang dan hanya ditujukan pada radikalisme agama ke pandangan yang luas dan untuk semua jenis radikalisme. Hal itu diperlukan agar tidak terjebak pada “radikalisme melawan radikalisme” dan “proyek deradikalisme yang radikal melawan radikalisme”, yang kemudian melahirkan kebijakan dan tindakan radikal atasnama melawan radikalisme.”

“Reorientasi atau revisi konsep dan kebijakan “deradikalisme” sangat penting dan relevan agar tidak salah pandang dan salah sasaran dalam melawan radikalisme, yang berujung pada salah kebijakan dan salah tindakan dalam melawan radikalisme di Indonesia.”

***

Kedua, mempermasalahkan Hisbut Tahrir sebagai kelompok Radikal. Coba dibaca ulang naskah dan rekaman Pidato Pak Haedar, beliau sama-sekali tidak menyebut HTI, tetapi HT (Hisbut Tahrir) di dunia Islam yang memang terlibat dalam gerakan kekerasan, sehingga dilarang di Saudi, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, Turki, dll. Negara-negara Islam saja melarang karena mereka terlibat. Jadi tidak perlu meminta Pak Haedar meriset ulang, sudah banyak hasil-hasil riset, kalau malas buka jurnal cukup saja cek di google banyak media yang menyatakan HT itu melakukan kekerasan. Klik saja di sini misalnya https://www.liputan6.com/news/read/2960279/hizbut-tahrir-dan-praktik-kekerasan atau https://kumparan.com/kumparannews/deretan-upaya-kudeta-oleh-hizbut-tahrir

Baca Juga  Imam Khomeini, Pemimpin Tertinggi Iran yang Tinggal di Desa dan Rumah Kontrakan

Supaya jelas dan tidak ada dusta lihat kutipan Pidato Pak Haedar, bukan halaman 13, tetapi halaman 25:

“Kenyataan memang terdapat kelompok radikal, ekstrimis, dan teroris yang mengatasnamakan Islam dan bertautan dengan ideologi Islam garis keras atau militan seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Taliban, ISIS, Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharu Daulah, dan lain-lain yang bagi umat Islam atau Dunia Muslim tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut sekaligus memerlukan kritik ke dalam lebih dari sekadar bertumpu pada pandangan tentang politik konspirasi dari luar. Namun kenyataan tersebut tidak dapat dijadikan generalisasi yang kemudian membangan cara pandang dan kebijakan bahwa yang dilekatkan dari radikalisme itu ialah radikalisme agama, khususnya radikalisme Islam sehingga sasaran deradikalisasinya pun adalah institusi-institusi sosial seperti masjid, majelis taklim, dan bagian-bagian dari kelembagaan umat Islam.”

***

Hanya dengan kutipan ini Joha lalu menuduh Pak Haedar menggunjing dan memakan bangkai saudaranya. Itu bukan kesimpulan Pak Haedar, tetapi hanya sekedar menjelaskan fenomena umat Islam global. Akan tetapi, pesan penting Pak Haedar bukan di situ, tetapi supaya kita tidak melakukan “generalisasi radikalisme dan ekstremisme” yang selalu dikaitkan agama, lebih-lebih umat Islam.

Kalau kita baca secara menyeluruh substansi pidato Pak Haedar beliau justru melawan narasi radikalisme yang selama ini menyudutkan umat Islam. Justru Pak Haedar melakukan pembelaan terhadap umat Islam mayoritas di Indonesia. Dan melawan narasi yang serba radikal kemudian menawarkan narasi yang positif dan optimis, bahwa umat Islam di Indonesia secara umum adalah moderat. Jangan dibawa ke narasi yang serba darurat radikal, padahal Indonesia memiliki modal besar sebagai moderat.

Jadi pidato Pak Haedar jauh dari menggunjing. Itu pidato ilmiah, kritis, obyektif yang dilakukan di kampus. Semua orang yang hadir pasti mengakui keobyektivan dan keadilan isi pidato Pak Haedar. Apalagi dikaitkan dengan rezim. Jelas jauh lah, alias nggak nyanbung.

***

Satu lagi. Pidato Pak Haedar dari judulnya saja sudah bisa ditangkap, bagi kaum yang berpikir. Pak Haedar menggunakan diksi “Moderasi Indonesia”, bukan “Moderasi Islam” atau “Moderasi Agama”. Ini apa artinya? Pak Haedar ingin menawarkan “Moderasi” sebagai solusi atas “Radikalisme/Ekstremisme” sebagai alternatif “Deradikalisasi”. Justru Pak Haedar menegaskan konsep Jihad dan Khilafah itu tidak boleh dihapuskan dengan cara “radikal” yakni: menghapus dari Buku Mata Pelajaran. Melainkan maknanya yang disesuaikan dengan konteks Indonesia.

Baca Juga  Tiga Ciri Islam Berkemajuan Menurut Millenial

Dari Istilah “Moderasi Indonesia”, Pak Haedar ingin menegaskan bahwa “radikalisme” bukan hanya terjadi karena agama, lebih-lebih “radikalisme Islam”. Akan tetapi, di bidang apapun bisa menjadikan orang bisa bersikap ekstrem dan radikal. Dengan disiplin ilmu sosial, Pak Haedar mampu menjelaskan secara jernih, obyektif, dan adil tentang radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Sebagai sosiolog yang memahami Islam, Pak Haedar beliau menegaskan paradigma “moderasi” (bukan deradikalisasi) untuk menangani radikalisme dan ekstremisme. Secara lugas Pak Haedar ingin menjadikan pendekatan “Moderasi Indonesia” sebagai solusi untuk mengatasi “radikalisme”. Beliau tidak menyebut “moderasi Islam” atau “moderasi beragama”, tetapi dengan “Moderasi Indonesia”. Karena sejatinya “radikalisme” tidak hanya terjadi atas sebab “agama” saja, lebih-lebih “Islam”, tetapi radikalisme bisa terjadi karena banyak factor, maka dalam melihatnya dan menanganinya diperlukan pendekatan multidisiplin keilmuan dan multiaspek secara holistic.

***

Terahir, pidato Pengukuhan Guru Besar Pak Haedar Nashir, menunjukkan kematangan intelektual dan pengalaman di bidang yang memang digelutinya. Artinya tema itu baik secara disiplin akademik, maupun intuisi sudah menjadi keahlian Pak Haedar. Tema yang diangkat sangat aktual, penting dan sangat relevan dengan kondisi sosial Indonesia saat ini. Konsep Moderasi Indonesia Pak Haedar bisa dielaborasi lebih lanjut dan dijadikan rujukan oleh Pemerintah dalam program menangani radikalisme, dan mengganti program deradikalisasi dengan program moderasi. Pidato Pak Haedar mencerahkan masyarakat dan semua pihak yang saat ini bingung dengan istilah radikalisme yang maknanya serba bias politik.

Selengkapnya download  Pidato Guru Besar Haedar Nashir – UMY 12 Desember 2019

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds