Perspektif

Nestapa Kaum Miskin Kota di Tengah Pageblug Corona

3 Mins read

Dalam situasi pelik semacam ini, orang miskin betul-betul merasakan mimpi buruk di siang bolong yang tak pernah dibayangkan. Nasib sial bukan kepalang, ibarat luka menganga ditaburi garam. Kehadiran virus Corona betul-betul menyiksa semua orang, terlebih kaum miskin perkotaan.

Dampak dari adanya virus ini diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) agar laju virus bisa terkendali. Tapi, dampak lain dirasakan sangat berat oleh mereka yang kesehariannya menggantungkan nafas kehidupan dengan bekerja. Pemberlakuan PSBB berarti ia berhenti bernafas. Pun demikian dengan mengambil kerja ia juga mempertaruhkan nafas agar periuk tak goyang.

Adalah contoh riil, bayang-bayang kelaparan mendera, misalnya beberapa hari lalu (21/04/20) seorang ibu rumah tangga di Serang Banten meninggal dunia. Ia diduga kelaparan, karena selama dua hari tidak makan nasi, hanya menengguk air (detik.com). Jika benar demikian, tentu ini miris sekali. Pedih rasanya mendengar berita semacam ini.

Di atas sana, para elit masih sibuk berdebat, “diberi apakah orang kelaparan ini, dikasih kartu atau dikasih makan?” Kira-kira begitulah perdebatannya. Cobalah bertanya kepada orang yang sedang haus saat bekerja di ladang, ia dikasih minum atau cara minum. Demikian halnya orang lapar, ketika diberi pelatihan tidak akan nyambung.

Masalahnya bukan itu saja, si miskin harus beli kuota internet untuk pelatihan–yang itu bisa saja untuk beli makan. Barangkali kesulitan hidup yang dialami oleh ibu yang meninggal tersebut hanya fenomena gunung es, di dalamnya masih banyak lagi yang menderita.

Kaum Miskin Kota

Sebetulnya, orang miskin di desa dan kota tidak terlalu jauh berbeda. Tetapi dalam situasi semacam ini memang cukup mencolok perbedaannya. Orang miskin di desa anggaplah masih punya pekarangan atau sedikit ladang yang bisa ditanami apa saja untuk bertahan hidup. Sedangkan orang miskin kota, ketika situasinya seperti ini tidak ada yang bisa diharapkan selain bantuan.

Baca Juga  Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

Jangankan pekarangan, jalan masuk ibarat lubang tikus. Sementara pekerjaan harian tak ada lagi, karena diliburkan. Mereka yang menggantungkan kehidupan pada kerja harian antara lain para tukang ojek pengkolan maupun online, kuli bangunan, buruh harian, buruh tani, kuli panggul, atau pun para pekerja yang mengandalkan penghasilan harian bernasib kurang lebih sama. 

Dalam hal ini, jika dikategorikan miskin berarti penghasilannya di bawah Rp 440.538/bulan. Itu pun kalangan yang mendapat penghasilan di bawah nominal tersebut jumlahnya juga banyak.

Menurut Parsudi Suparlan, secara singkat kemiskinan bisa dimaknai sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah. Yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung positif pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

Bisa jadi, kemiskinan yang diderita oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan, sering diartikan sebagai akibat dari kebodohan, tidak terampil, etos kerja yang rendah, kesempatan kerja yang rendah serta ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun, ada pula sebab kemiskinan bukan semata–mata akibat dari ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan, melainkan masalah struktur–sosial dan cenderung sudah menjadi paradigma dan “budaya” pada masyarakat itu sendiri.

Sebetulnya, dalam Undang-undang juga dijelaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34, yang mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara” (ayat 1), dan “negara berkewajiban menangani fakir miskin melalui pemberdayaan dan bantuan jaminan sosial” (ayat 3).

Selanjutnya, komitmen nasional dalam pemberdayaan fakir miskin dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 124 tahun 2001 jo. Nomor 8 tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan dengan tujuan meningkatkan kerjasama, dukungan, dan sinergi semua pihak baik sektor, pemerintahan daerah, masyarakat maupun dunia usaha dalam menanggulangi masalah kemiskinan.

Baca Juga  Standar Kecantikan adalah Alat Diskriminasi Kapital

Masalah yang timbul kemudian, tidak semua orang tercover program dari pemerintah. Jika situasi semacam ini tidak segera ditangani akan menjadi ladang pembantaian akibat kelaparan. Maka yang mendesak ialah kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Rasa rasanya, tidak akan bisa bertahan hidup dengan Kartu Pra Kerja. Karena setelah dilatih untuk terampil, mereka juga masih butuh pekerjaan. Lantas mau bekerja di mana mereka. Kartu Pra Kerja ini memang secara momen juga kurang pas, apalagi untuk orang miskin kota yang kebutuhan pokoknya belum terpenuhi seperti sekarang ini. Bayang-bayang menghantui orang miskin selain virus Corona ialah lapar itu sendiri.

Peran Tetangga dan Lembaga Filantropi

Tetangga memiliki peran yang sangat penting dalam hal apa pun, lebih-lebih situasi yang betul-betul mencekik orang miskin. Dengan dilandasi saling membantu sesama paling tidak bisa meringankan beban orang miskin. Pada masing-masing tempat tentu memiliki ciri khas tersendiri dalam hal membantu tetangga, ada yang berupa sembako atau pun menyediakan dapur umum. Semua orang menyadari bahwa situasi sulit semacam ini memang harus bahu membahu supaya kuat menjalani semuanya.

Selain itu, membantu tetangga merupakan adab yang baik. Bersedekah kepada tetangga jika membutuhkan sangat ditekankan oleh Rasulullah. Rasulullah juga mengancam jika tidak memperhatikan tetangga yang sedang kelaparan. Sabda Rasulullah tersebut setidaknya menjadi pengingat bagi kita agar senantiasa memperhatikan tetangga di sekeliling kita agar jangan sampai kelaparan.

Di sisi lain peran lembaga filantropi tak kalah penting, tatkala negara belum hadir di tengah situasi semacam ini. Lembaga filantropi harus hadir terlebih dahulu. Lembaga filantropi juga merupakan penghubung antara si kaya dan si miskin. Dengan data yang akurat tentu bantuan akan tepat sasaran. Pun demikian dengan masjid-mushalla yang sudah seharusnya menjadi tempat pertahanan, jangan sampai infaq masjid menumpuk–tapi  orang miskin yang ada di sekitar masjid/mushalla tidak diperhatikan.

Baca Juga  Pembajakan dan Bagaimana Kita Melegitimasinya

Pada situasi semacam ini penyediaan lumbung pangan menjadi hal yang harus diutamakan, karena virus ini belum diketahui kapan berakhirnya. Di samping itu, gerakan ber-ta’awun harus terus didengungkan supaya tidak ada lagi orang yang kelaparan. Namun demikian, pemerintah juga harus hadir karena ini merupakan kewajiban dari pemerintah. Kita pun harus sama-sama saling membantu, bahu-membahu, saling menguatkan agar tangguh menghadapi kenyataan ini. Tentu kalau itu semua dilakukan dilandasi dengan ikhtiar tinggi niscaya kita akan mampu bertahan.

Editor: Arif

Avatar
1 posts

About author
Agus Supatma Menyukai tantangan dan tertarik pada isu sosial keagamaan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds