Haji Paryadi atau Abah Paryadi adalah pengusaha sukses dan tokoh muslim berpengaruh di Boyolali, Jawa Tengah. Haji Paryadi lahir pada tanggal 7 Agustus 1967 dan wafat pada 4 Juli 2021 di Boyolali. Haji Paryadi memperjuangkan kemandirian ekonomi umat dan peningkatan mutu literasi kaum muslim. Ustadz Yusuf Mansur dan Ustadz Subki al-Bughury menganggap Haji Paryadi sebagai sahabat sekaligus guru.
Haji Paryadi: Kehidupan dan Perjuangan
Sebelum dikenal luas sebagai seorang pengusaha sukses sekaligus figur keagamaan di Boyolali, Haji Paryadi mengawali karirnya sebagai seorang pekerja di berbagai bidang, terutama perdagangan. Sejak kecil ia sudah ikut bekerja di Pabrik Brem milik orang Tionghoa, yang kelak justru ia beli. Dan sejak duduk di bangku SMP dan SMA ia sudah menjajal banyak pekerjaan untuk menambah uang demi kebutuhan hidup sehari-hari.
Apa saja ia kerjakan supaya bisa bertahan hidup. Mulai dari mengangkat bata untuk truk, cari rumput untuk makan ternak hingga berjualan tempe. Pada usia 19 tahun, ia memutuskan untuk menikah bersama Rita Emy Setyawati, putri seorang aktivis Muhammadiyah di Klego, Boyolali. Bersama Rita, Paryadi terus mencari peluang untuk mencukupi nafkah keluarga mereka. Apalagi tidak lama setelah menikah mereka dikaruniai dua orang putri. Sedangkan putra bungsu mereka baru lahir pada tahun 2002.
Ada jeda waktu yang cukup panjang bagi Paryadi untuk masuk perguruan tinggi selepas lulus SMA. Tapi ada cerita menarik. Sebagai seorang yang senantiasa merasa haus terhadap ilmu agama, Paryadi banyak mencari ulama atau figur agama untuk berguru. Maka, sekitar tahun 1988 hingga 1990, Paryadi pernah ikut tarekat Naqsabandiyah. Paryadi tekun belajar di tarekat ini hingga satu waktu ia memutuskan untuk berhenti.
Paryadi merasa cukup dengan ilmu hikmah yang diperolehnya dari guru-guru tarekat. Ilmu itu antara lain adalah ajaran untuk hidup sederhana, menjaga tali persaudaraan atau silaturahim, dan tidak mengambil harta dari aktivitas haram. Tiga prinsip moral ini terus dipegang hingga kemudian ia menjadi PNS. Mulai dari bekerja di Rumah Sakit hingga jadi Sekretaris Kecamatan di Ampel dan Cepogo.
Sekitar tahun 1994 atau 1995, Paryadi melanjutkan kuliah S1 di Universitas Slamet Riyadi. Ia lulus pada bulan September 1998. Selama perkuliahan, Paryadi harus berbagi waktu dengan aktivitas tambahan lainnya. Yang jelas ia tidak sekedar belajar apa yang ada di bangku perkuliahan. Tapi juga menimba ilmu dan berguru dari orang-orang yang dianggapnya mumpuni terutama di bidang bisnis dan keagamaan.
Bisnis adalah Dakwah Sosial
Ketika Paryadi lulus kuliah S1, Ia sudah mulai punya bisnis skala menengah dan bekerja di sektor jasa. Paryadi sempat bekerja sebagai sopir taksi dan melanjutkan berjualan berbagai jenis barang dagangan. Pada masa itu krisis moneter menimpa Indonesia. Tapi bisnis Paryadi justru mulai membaik. Dia bahkan sempat mendirikan apotek besar yang pertama di kota Boyolali.
Kemudian ia putuskan menutup apotek tersebut karena ada masalah etis dan moral dalam perdagangan obat. Semula ia belum tahu bahwa ada beberapa jenis obat yang dijualnya hasil dari kerjasama dengan seorang dokter yang ternyata bermasalah. Untung saja, masalah ini cepat disadari oleh Paryadi. Jadi begitu tahu ada masalah tersebut, tanpa pikir lama, ia menutup apotek.
Sikap tak pandang toleran terhadap praktik-praktik amoral dalam berbisnis memang jadi prinsip dasar Paryadi. Apalagi ini masalah obat yang seharusnya bermanfaat untuk memberi kesembuhan. Ia yakin bahwa harta benda bisa dicari, tapi keberkahan harta tidak.
Paryadi menghabiskan keuntungan dari apotek itu untuk disumbangkan ke masjid dan disedekahkan untuk kepentingan dakwah sosial. Tidak sepeser pun ia gunakan untuk kepentingan pribadi. Keputusan Paryadi menutup apotek memang menimbulkan keheranan di kalangan keluarga besar. Tapi sikap Paryadi sudah bulat, apalagi karena istrinya turut mendukung.
***
Belajar dari pengalaman-pengalamannya, Paryadi selalu menasehatkan rekan-rekannya untuk berbisnis secara jujur, bersih dan berorientasi dakwah. Ia bahkan tak segan turut serta membantu transisi wiraswasta lain supaya berbisnis secara halal dan berkah.
Ia misalnya membantu seorang dukun rajah supaya punya usaha di bidang penyembelihan hewan ternak sesuai tuntunan Islam. Banyak pengakuan serupa dari rekan-rekannya setelah Haji Paryadi wafat. Bahwa Haji Paryadi bukan cuma menjadi guru agama tapi juga seorang mentor bisnis yang dermawan.
Tidak terhitung ada berapa orang pengusaha dan wiraswasta yang mengaku dimentori oleh Haji Paryadi. Bukan cuma mengajari ilmu bisnis tapi juga spiritual. Mereka mengatakan bahwa Haji Paryadi sangat terbuka berbagi ilmu dan bantuan-bantuan pemodalan. “Kalau bukan karena Abah [Haji Paryadi], saya tidak bisa sukses seperti ini” ungkap seorang sahabatnya.
Sejak tahun 2005, bisnis Haji Paryadi berkembang pesat. Ia merambah sektor produksi berupa material bahan bangunan, terutama pasir. Haji Paryadi kemudian mendirikan CV. Shoma Teknik untuk memproduksi sendiri alat dan mesin-mesin pengolah material bangunan. Semua ia pelajari secara otodidak.
Bersamaan dengan itu, Haji Paryadi juga ingin memperbaiki layanan pemberangkatan jamaah haji dan umroh. Maka ia mendirikan bisnis biro travel NRA. Maka pendirian biro ini tidak sepenuhnya berorientasi keuntungan laba. Salah satunya, karena berangkat dari kegusarannya sekitar masalah biro travel haji dan umroh yang meraup keuntungan berlebihan dari jamaah. Ia ingin menyediakan jasa pelayanan jamaah haji dan umroh yang berkualitas dengan harga yang masuk akal. Tidak sekedar mengambil untung tapi mengorbankan ketidaktahuan calon jamaah.
***
Nyaris semua bisnis Haji Paryadi punya tujuan dakwah sosial. Misalnya, di Pondok Pesantren Shofa Marwah Haji Paryadi mendirikan unit usaha produksi dan penjualan es batu kristal. Keuntungan dari aktivitas bisnis ini menopang biaya operasional pondok pesantren. Sehingga tidak perlu bergantung pada sumbangan atau hibah pemerintah. Selain itu, unit bisnis di pondok pesantren juga sebagai sarana latihan berbisnis para santri.
Bagi Haji Paryadi, bisnis harus punya dimensi dakwah. Jika tidak, seorang pebisnis hanya akan mengejar akumulasi keuntungan. Tentu saja, dalam pengejaran keuntungan tersebut, dengan berbagai cara, seorang pengusaha akan membolehkan segala macam cara. Bahkan jika harus mengorbankan pelanggan.
Jadi, dalam bisnis lain, Haji Paryadi justru tidak segan untuk nomboki (membiayai). Misalnya untuk bisnisnya di bidang transportasi bus. Ia tidak pernah menarik biaya sepeser pun untuk jamaah haji dan umroh di biro travel yang dikelola maupun di organisasi yang diketuainya. Ia tidak pernah menjadikan aktivitas sosialnya menjadi keuntungan bisnis. Justru sebaliknya, ia selalu siap urun bantuan. (Bersambung)
Editor: Nabhan