IBTimes.ID – Moral diaktivasi oleh dua modul, yaitu modul asli dan modul kini. Modul asli bersifat biologis. Terkait dengan evolusi genetik. Sedangkan modul kini adalah modul moral yang sudah dimanipulasi seperti agama.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Mirra Noor Milla, pakar psikologi dari Universitas Indonesia dalam Bedah Buku The Righteous Mind: Why Good People Divided by Politics and Religion karya Jonathan Haidht. Bedah buku tersebut digelar oleh Caknurian pada Jumat (23/4) secara daring.
Dasar modul kini bukan ikatan biologis, melainkan ikatan yang diciptakan oleh manusia. Maka, orang-orang di suatu wilayah bisa menganggap sesuatu itu baik, sedangkan di tempat lain dianggap buruk.
Mirra mencontohkan bahwa di Tomohon, Sulawesi Utara semua binatang termasuk binatang buas boleh dimakan. Hal tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Jawa dan di Padang. Di Jawa, binatang buas tidak lazim untuk dimakan oleh manusia.
“Di antara kita itu ada variasi moral. Apalagi antara budaya Barat dan Timur. Masing-masing budaya punya value,” ujar Mirra.
Di sisi lain, Mirra menyebut beberapa riset yang menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir dan belum belajar tentang moral sudah bisa menilai sesuatu itu baik atau buruk. Sehingga ada asumsi bahwa salah satu matriks moral bersifat genetik.
Lima Landasan Moral
Mirra, mengutip Jonathan Haidht menyebut ada lima landasan moral. Pertama, care/harm. Care/harm berarti sebuah kelompok membuat kepedulian mereka menjadi pemicu moral. Moral ini cenderung kepada kepedulian, kasih sayang, dan pengayoman.
“Ini dipakai oleh politisi untuk menarik dukungan. Bahwa mereka peduli terhadap orang lain, terhadap kelompok lain, mengayomi, dan lain-lain. Sehingga dengan hal tersebut masyarakat akan memilih politisi yang dianggap memiliki sifat care tersebut,” imbuhnya.
Kedua, imbuh Mirra, fairness/cheating. Fairness/cheating berarti permainan balas budi untuk membujuk kerja sama. Fairness terkait dengan upaya membujuk orang untuk bekerja sama dan saling memberikan keuntungan. Seseorang akan cenderung membantu orang lain yang sebelumnya pernah membantu dirinya.
Politisi menggunakan permainan balas budi untuk mendulang suara. Misalnya dalam hal money politic, politisi memberikan uang tunai kepada pemilih, dengan imbalan pemilih akan memberikan suara kepada politisi tersebut.
Ketiga, loyalty/betrayal. Menurut Mirra, landasan moral ini khas kelompok konservatif. “Rasa cinta kita kepada in-group kita itu akan membangkitkan rasa setia kepada kelompok kita. Dan kita cenderung membenci orang-orang pengkhianat dari kelompok. Dalam politik, hal ini juga dimainkan. Misalnya dalam aksi 212. Jika ada orang Islam yang tidak ikut, akan dipertanyakan keislamannya,” tegas Mirra.
Keempat, authority/sebversion. Kewenangan mengembang tanggung jawab, mempertahankan ketertiban dan keadilan. Landasan moral authority diperlukan untuk mengelola masyarakat. Masing-masing anggota di dalam masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menertibkan masyarakat yang lain.
Mirra menyebut bahwa hal ini berbeda dengan kelompok liberal yang cenderung bebas. Kelompok liberal meyakini bahwa sesuatu dari luar yang mengatur gerak individu sebagai gangguan.
Kelima, sanctity/degradation. Sanctity berarti menjaga value kesakralan. Sakral adalah sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Maka, penistaan terhadap kesakralan bisa memancing emosi masyarakat luas.
Mengutip buku The Righteous Mind, Mirra menyebut bahwa selain enam landasan moral di atas, agama juga menjadi salah satu landasan moral yang cukup penting, terutama di peradaban Timur.
Konsekuensinya, terbentuk komunitas moral yang sangat besar yang melintasi batas-batas negara. Agama juga bisa mengutuk perilaku egois, mendorong kerja sama dan rasa percaya dalam kelompok, sekaligus menjadi kontrol sosial.
Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama?
“Maka, dari orang-orang baik yang sudah punya lima landasan moral tadi, ketika dia berhadapan dengan orang yang landasan moralnya berbeda, ia akan cenderung mempertahankan kebenaran. Ketika ia meyakini A sebagai kebenaran, sedangkan orang lain melihat B sebagai kebenaran, ia tidak bersedia untuk mengakui bahwa B benar. Karna nalarnya akan menguatkan bahwa yang benar adalah A,” imbuh Mirra mengutip Haidht.
Misalnya, orang yang mendukung open border (perbatasan terbuka) dengan orang yang menolak open border. Orang konservatif akan berkata bahwa open border akan mengancam orang-orang kulit putih di negaranya. Sedangkan orang-orang liberal akan berkata bahwa orang-orang imigran perlu dikasihi dan diberikan bantuan.
“Gimana ini bisa disatukan? Yang satu pakai landasan care, yang satu pakai landasan loyalty dan sanctity. Orang-orang di masing-masing kelompok akan terus-menerus memproduksi argumen yang menguatkan pendapat masing-masing. Nalar itu sifatnya hanya menjustifikasi pendapat yang telah ia yakini kebenarannya,” imbuhnya.
Sehingga, dalam diskusi, yang terjadi adalah semakin lebarnya polarisasi. Rasionalitas dan critical thinking dalam hal ini tidak terlalu membantu, karena yang dikritisi hanya kelompok lain. Sedangkan rasionalitas hanya bertujuan untuk membangun justifikasi dari pendapat masing-masing. Rasionalitas hanya bertujuan untuk melayani intuitif.
Menurut penulis buku Mengapa Memilih Jalan Teror tersebut, solusinya adalah adanya interaksi positif di tengah-tengah masyarakat. Pengalaman interaksi positif akan mengurangi konflik-konflik yang terjadi karena perbedaan pendapat.
Selain itu, Mirra mengutip Haidht juga menawarkan perspective taking. Perspective taking ini adalah melihat apa yang dilihat oleh orang lain.
“Jadi dialectical, bukan sekedar critical. Bagaimana kita bisa mengakomodasi apa yang di kelompok yang berbeda dengan menggunakan payung perspektif yang lebih tinggi daripada yang digunakan oleh kedua kelompok,” tutup Mirra.
Reporter: Yusuf