Oleh: Muhamad Rofiq
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari dua tulisan saya sebelumnya yaitu: https://ibtimes.id/antropologi-islam-pendekatan-talal-asad/ dan https://ibtimes.id/islam-sebagai-tradisi-diskursif-tawaran-konsep-talal-asad/. Kali ini saya akan bicara aspek lain yang perlu dipahami oleh pengkaji Islam adalah fakta bahwa tradisi Islam tidak homogen melainkan heterogen. Adalah suatu kekeliruan mengasumsikan adanya hemogenitas tradisi Islam sebagaimana dilakukan sebagian pengkaji dari luar. Dalam hal ini, Asad membenarkan tesis koleganya sesama antropolog, Abdul Hamid Zen, tentang adanya multiple Islams.
Perbedaan diantara keduanya adalah menurut Asad manifestasi Islam yang beragam tersebut selalu terlibat kontestasi satu dengan yang lain. Dengan kata lain, Asad menyatakan bahwa tradisi selalu bersifat contested (diperdebatkan). Kontestasi ini, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, melahirkan ortodoksi (keyakinan yang dianggap benar oleh mayoritas) dan heterodoksi (keyakinan yang dianggap sebagai menyimpang oleh mayoritas).
Pandangan Asad yang demikian berbeda secara kontras dengan pandangan Clifford Geertz yang melihat tradisi lahir sebagai konsekwensi langsung dari simbol agama. Dengan kata lain, menurut Geertz, tradisi adalah produk dari simbol.
Menurut Asad, simbol tidak bisa berfungsi dengan sendirinya. Ia baru memiliki kekuatan (efikasi), karena ada aktor yang memainkannya. Oleh karena itu, tugas para antropolog adalah melihat bagaimana para aktor tersebut memainkan agency mereka dalam melahirkan tradisi. Antropologi agama secara umum dan antropologi Islam secara khusus, menurut Asad, bukan hanya melihat bagaimana sebuah simbol keagamaan melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan, tapi juga melihat bagaimana para aktor menggunakan power (kekuasaan) nya untuk membuat simbol tersebut berfungsi.
Para antropolog dengan demikian harus melihat bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan (how powers are exercised) atau membuat pertanyaan tentang kekuasaan (the question of power). Dengan demikian, secara tidak langsung, Asad telah mengatakan bahwa tidak ada suatu simbol yang murni bersifat efektif dan bahkan relijius. Ekfektifitas dan relijiusitas itu selalu dikonstruksi oleh aktor yang memiliki power.
Selain melihat bagaimana kekuasaan dimainkan oleh para aktor untuk membentuk suatu wacana dan praktek yang bersifat Islami, lanjut Asad, antropolog juga harus melihat kontestasi antara pemilik power tersebut. Proses kontestasi inilah yang menurut Asad pada gilirannya akan melahirkan ortodoksi dan heterodoksi. Asad menulis:
“Wherever Muslims have the power to regulate, uphold, require, or adjust correct practices, and to condemn, exclude, undermine, or replace incorrect ones, there is the domain of orthodoxy. The way these powers are exercised, the conditions that make them possible (social, political, economic, etc.), and the resistances they encounter (from Muslims and non- Muslims) are equally the concern of an anthropology of Islam, regardless of whether its direct object of research is in the city or in the countryside, in the present or in the past”.
“Kapan saja umat Islam memiliki kekuatan untuk mengatur, menegakkan, membuat persyaratan, atau menyesuaikan praktik [beragama] yang benar, [atau memiliki kekuatan] untuk mengutuk, mengeluarkan, melemahkan, atau mengganti [praktek beragama] yang salah, itulah wilayah ortodoksi. Bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut digunakan, kondisi sosial, ekonomi, politik yang memungkinkan untuk menggunakan kekuatan itu, dan perlawanan yang ditemui dari baik muslim ataupun non-muslim [saat kekuatan itu digunakan] juga menjadi obyek perhatian antropologi Islam. [Penggunaan kekuataan itu adalah obyek penelitian antropologi] terlepas apakah obyek riset yang diteliti adalah [kehidupan] perkotaan atau pedesaan, masa kini atau masa lalu”.
Dari kutipan di atas menjadi jelas bahwa para pengkaji Islam, khususnya antropolog, tidak hanya perlu melihat praktek lokal yang menjadi manifestasi berislam dan kemudian mempertanyakan apa makna praketk tersebut bagi praktsisi (pelaku) nya. Antropologi Islam juga tidak sekedar melihat tradisi diskursif di mana umat Islam terus berupaya mencari legitimasi dari masa lalu untuk praktek berislam hari ini dan di masa depan.
Antropolog yang mengkaji Islam, menurut Asad, juga harus melihat bagaimana peran kekuasaan dalam membentuk tradisi Islam dan bagaimana dalam proses penggunaan kekuasaan tersebut terjadi perlawanan. Antropologi Islam harus melihat proses terbentuknya ortodoksi dan heteredoksi.
Dalam hal perlunya melihat power (kekuasaan) dalam tradisi Islam, jelas Asad sangat dipengaruhi oleh pemikiran Michel Foucault tentang pengaruh power pada discourse (wacana). Menurut Foucault, sebuah discourse selalu dibentuk oleh pemilik kekuasaan. Mengikuti alur fikir Foucault, bagi Asad, sebuah tradisi Islam selalu dibentuk oleh pemilik otoritas atau kekuatan. Kekuasaan tersebut tidak terkonsentrasi pada satu pihak tertentu, tetapi dispersed (terpencar) atau bisa ada di mana saja.
Dengan kata lain, kekuasaan tidak hanya ada pada pemimpin politik atau militer, namun juga terletak pada institusi yang lebih mikro seperti tokoh agama (syaikh, kiai, ustaz), institusi (sekolah, lembaga birokasi, rumah sakit, majelis ulama), bahkan juga ada pada keluarga (ayah, suami, ibu, istri dan lain-lain). Aktor-aktor itulah yang perlu juga dilihat oleh para pengkaji, khususnya antropologi, saat melihat tradisi Islam.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa antropologi jangan sampai kehilangan keseimbangan analisis. Penelitian antropologi jangan hanya melihat faktor power saja, atau sebaliknya hanya melihat aspek Islamic reasoning (penalaran) saja. Riset antropologi Islam juga harus melihat bagaimana power itu digunakan dengan penalaran. Inilah yang dimaksudkan oleh Talal Asad dalam pernyataannya: “orthodoxy is not a mere body of opinion but a distinctive relationship — a relationship of power (ortodoksi bukan sekedar soal ide-ide saja, tetapi juga hubungan yang bersifat unik, yaitu hubungan kekuasaan)”.
Mengkaji Islam dengan hanya memperhatikan faktor power saja akan mereduksi tradisi menjadi hanya sebagai produk sosio-ekonomi politik. Sebaliknya, melihat Islam hanya sebagai penalaran akan gagal memahami bahwa wacana Islam tidak lahir dari ruang vakum.
* Penulis adalah alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM Amerika Serikat