Perspektif

Pancasila: Hadiah Umat Islam untuk Indonesia

3 Mins read

Oleh: Nirwansyah

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang hingga saat ini masih eksis. Perumusan dasar negara telah aral melintang dalam perjalanan sejarahnya. Di dalam konstitusi, Pancasila termaktub dalam preambule UUD 1945 yang berada pada alinea keempat. Pancasila diharapkan mampu mengakomodasi masyarakat yang heterogen dan menyatukan perbedaan yang ada dalam kehidupan berbangsa.

Banyak yang mengira umat Islam mengalami kekalahan secara politis dalam memperjuangkan dasar negara berdasarkan Islam di era revolusi. Menurut Nieuwenhuijze, Islam adalah faktor yang dominan dalam revolusi nasional.

Tidak hanya itu, sebenarnya umat Islam juga memberikan hadiah yang sangat berharga bagi bangsa yang hingga saat ini masih kita rasakan. Oleh karena itu, mari kita lihat proses pembungkusan kado mewah tersebut yang telah menguras banyak energi dan biaya mahal demi keutuhan negara dan bangsa.

BPUPKI dan Munculnya Dua Paham

Sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pergumulan tentang dasar negara mengalami problema yang dilematis. Yaitu dibentuknya Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) pada tanggal 9 Aprli 1945, dengan maksud sebagai realisasi Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, sebagaimana telah diumumkan Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944 (Mangkusasmito, 1970).

Pembicaraan dalam BPUPKI berkisar pada persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan lain-lain yang berkaitan dengan konstitusi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan yang paling sensitif ialah ketika membicarakan tentang dasar filsafat negara. Dalam pergumulan tersebut, ada dua paham politik yang mencuat ke permukaan: Islam dan aliran pemisahan agama dan negara atau pendeknya kaum Nasionalis.

Profesor Soepomo mengatakan, paham pertama ialah golongan ahli-ahli agama yang menginginkan Islam sebagai dasar negara di Indonesia. Sedangkan, golongan kedua, yakni kelompok yang menolak suatu negara Islam. Soepomo mengemukakan pendapat tersebut pada 31 Mei 1945, sehari sebelum Soekarno menyampaikan usulan Pancasila sebagai dasar negara (Maarif, 2017).

Baca Juga  Bagaimana Cara Menjadi Kritis Sekaligus Humanis?

Perang Intelektual Dua Paham

Ketika Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang, isu tentang negara berdasarkan Islam sebenarnya sudah muncul. Tetapi, dalam perjalanan sejarah modern Indonesia, gagasan tersebut muncul secara resmi untuk pertama kali dalam sidang-sidang BPUPKI. Munculnya dua paham yang saling berseberangan, yakni antara kelompok Islamis dan kelompok nasionalis membuat suasana dalam sidang-sidang BPUPKI menjadi tegang, panas dan berlangsung alot.

Dr. Radjiman, Soekarno, Muhammad Hatta, Profesor Soepomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmodjo merupakan tokoh-tokoh terkemuka yang berhaluan nasionalis. Sedangkan, dipihak kaum Islamis tokoh-tokoh terkemukanya adalah K. H Ahmad Sanusi, KI Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkir dan K. H A.Wahid Hasyim.

Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan juru bicara dari wakil-wakil Islam, dengan semangat memberikan dalil, kenapa negara harus berdasarkan Islam. Dalam buku klasiknya yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, di antara dalil yang disampaikan oleh Ki Bagus adalah: “…Al-Qur’an jang berisi lebih dari 6000 ajat itu hanja ada kira2 600 ajat sadja jang mengenai hal ibadat dan achirat, sedang selebihnja mengenai tatanegara dan urusan keduniaan”.

Namun, usulan-usulan tersebut ditolak meskipun ajaran-ajaran  Islam sangat komprehensif dalam sistem kehidupan manusia. Dalil penolakan tersebut disampaikan oleh Soepomo. Indonesia katanya tidaklah sama dengan Irak, Iran, Mesir, atau Suriah yang jelas-jelas bercorak Islam atau Corpus Islamicum (Yamin, 1959). Alasan lainnya ialah, Indonesia merupakan negara yang khas dan memilki keistimewaan serta banyak corak golongannya. Dus, konsep negara Islam harus ditolak.

Piagam Jakarta sebagai Rumusan Konstitusi

Di saat masa yang masih rentan, hal yang paling fundamental, yakni dasar negara masih belum terumuskan. Oleh sebab itu, dibentuk sebuah panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai oleh Sukarno dan ditandatangani oleh 9 anggota terkemuka yang mewakili masing-masing golongan. Panitia tersebut berhasil mencapai suatu resolusi pada 22 Juni 1945, yang kita kenal dengan sebutan Piagam Jakarta.

Baca Juga  Pemuda Tersesat: Dakwah Ringan ala Milenial

Piagam tersebut merupakan preambule bagi konstitusi yang diajukan pada sidang BPUPKI. Dan akhirnya Pancasila diterima sebagai dasar negara, dengan klausul sila pertama Ketuhanan diikuti: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Bagi umat Kristen kompromi tersebut diterima dengan berat hati, sekalipun hal itu juga berarti pengorbanan yang besar bagi mereka, yaitu pengorbanan yang tidak boleh tidak demi kemerdekaan Indonesia.

Hadiah Umat Islam untuk Indonesia

Suatu sikap yang ahistoris apabila masih banyak yang mengatakan bahwa umat Islam anti-Pancasila dan anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika kita meneropong ke belakang, umat Islam banyak berkontribusi dalam perjalanan bangsa ini. Apalagi penduduk Indonesia yang notabene mayoritas Muslim.

Untuk membuktikan bahwa umat Islam tidak anti-pancasila, mari kita cermati peristiwa 18 Agustus 1945. Sehari setelah Indonesia merdeka, terjadi pertemuan mendadak antara beberapa pemimpin negara.

Pertemuan tersebut tak lain dan tak bukan membahas tentang anak kalimat: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…”. Sebagian anggota BPUPKI, merasa anak kalimat tersebut bagai duri dalam daging, terutama yang beragama minoritas.

Setelah melewati saat-saat krusial, para wakil Islam akhirnya menyetujui penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan UUD 1945. Dan sila Ketuhanan mendapat modifikasi kunci yang sangat amat berarti sehingga berubah menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Banyak yang menganggap hal tersebut merupakan kekalahan politik para wakil Islam.

Mengutip Alamsyah Ratu Prawiranegara, beliau menafsirkan peristiwa ini sebagai “hadiah dari umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan Indonesia”.

Dengan demikian, tuduhan umat Islam anti-Pancasila adalah lagu usang yang tidak perlu diputar lagi (Maarif, 2017). Jadi, umat Islam tidak anti terhadap Pancasila dan juga tidak anti terhadap NKRI. Jika saat ini masih ada yang mengatakan demikian, maka perkataan tersebut merupakan suatu falsifikasi.

Baca Juga  Najib Burhani: Alquran Adalah Kitab Etika dan Moralitas
Editor: Yahya FR
14 posts

About author
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat. Tanjung Ampalu, Sijunjung, Sumatera Barat.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds