Perspektif

Pembajakan dan Bagaimana Kita Melegitimasinya

3 Mins read

Definisi pembajakan di Indonesia selalu mendapatkan penjelasan abu-abu. Disebut demikian, penjelasan pembajakan seakan memiliki sejumlah syarat atas apa yang disebut layak dan tidak layak, boleh dan tidak boleh, pantas dan tidak pantas.

Misalnya, saat ada pembajakan buku-buku Penerbit dalam negeri. Tidak sedikit dari para pegiat buku yang terdiri dari penulis, penerbit, dan editor marah. Selain dianggap mematikan tumbuh kembangnya penerbitan, pembajakan buku tersebut dianggap mematikan gerakan literasi yang sedang tumbuh melalui buku-buku alternatif.

Pembajakan Buku dan Film

Sebaliknya, saat ada situs pembajakan library gen dan sci-hub, memuat ribuan buku-buku luar negeri dan jurnal internasional, orang memiliki semacam pemakluman dengan dalih resistensi negara berkembang melalui ungkapan, “bukunya sangat mahal, jadi enggak apa-apa dibajak; kita bagian dari negara miskin dengan infrastruktur perbukuan terbatas, jadi wajar jika mengakses situs tersebut; negara maju yang mengelola penerbitan internasional tersebut menjadi bagian dari rantai kapitalisme global dan penulisnya tidak mendapatkan apa-apa, pembajakan, dengan demikian, bagian dari perlawanan ideologi.”

Hal yang sama juga dengan kemunculan situs film semacam indoxx1. Sebagaimana dicatat oleh hasil survei yang dilakukan oleh YouGov. Ia menemukan bahwa 63 persen warganet Indonesia menonton film melalui situs web streaming atau situs torrent. Di mana situs IndoXXI (Lite) menjadi aplikasi paling populer yang digunakan oleh 35 persen penggunanya (cnnIndonesia.com, 20 Desember 2019).

Dengan besarnya jumlah penonton tersebut bukan perkara penyedia jasanya yang perlu dipersalahkan karena menciptakan pasar. Melainkan juga masyarakat mengkonsumsi sekaligus juga struktur regulasi yang memungkinkan pasar itu bisa tumbuh. Dalam aspek penonton, tidak sedikit dari kita yang memberikan semacam pemakluman mengapa mengakses situs itu bukan bagian dari dosa sosial.

Baca Juga  Bagaimana Masa Depan Peternakan Ayam di Indonesia?

Selain dianggap bukan bagian dari film Indonesia yang harus diperjuangkan dengan menontonnya di bioskop, banyak film-film asing tersebut sudah tidak diputar lagi di sejumlah bioskop Indonesia. Ironisnya, dengan dalih karena sudah menghabiskan kuota pulsa dengan menonton film-film tersebut, tidak sedikit yang memamerkan hasil tontonannya di media sosial sebagai bentuk pemakluman.

Tebang Pilih Pembajakan

Setidaknya, ada tiga alasan mengapa pembajakan ini seolah-olah memiliki syarat sosial dan pemakluman yang dilegitimasi. Pertama, logika tebang pilih. Di tengah belum tumbuhnya kesadaran anti pembajakan, meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, masyarakat Indonesia memiliki semacam ukuran tertentu atas apa yang disebut dengan tindakan pembajakan.

Logika tebang pilih memang terlihat arbitrer, tetapi memiliki semacam legitimasi mengapa sebuah tindakan dianggap sebagai pembajakan dan tidak. Di sini, rasa nasionalisme memainkan sedikit banyak mengapa sebuah barang boleh dibajak dan tidak.

Kedua, barang berbentuk imaterial. Munculnya situs indoxx1 yang bisa ditonton secara langsung tanpa perlu adanya barang secara fisik, membuat tindakan pembajakan semata-mata bukan tindakan kejahatan dengan memegang asumsi: “loh memang ada situsnya kok, dan saya sekadar nonton saja; salah sendiri kenapa ada indoxx1, saya hanya mengakses saja kok; saya enggak pegang barangnya, sekadar lihat saja”. Akibatnya, tindakan pembajakan dilakukan tanpa rasa bersalah.

Ketiga, struktur regulasi yang tidak berjalan. Meskipun ada undang-undang pembajakan atas kekayaan intelektual, hal itu tidak sepenuhnya dijalankan, baik oleh aparat maupun juga masyarakat. Akibatnya, barang bajakan menjadi sangat mudah ditemukan bahkan di Mall-Mall besar di Indonesia melalui kepingan DVD/CD. Kemudahan ini tanpa sadar membuat masyarakat melakukan pemakluman bahwasanya itu seolah-olah barang asli.

Baca Juga  HTI: Sejarah dan Ajarannya

Di sisi lain, dalam gaya hidup, hasrat untuk bergaya barang-barang yang memiliki brand internasional, tetapi tidak memiliki cukup uang juga difasilitasi oleh pasar yang menjual barang-barang bajakan, baik KW1, KW2, dan KW3. Hasrat konsumsi barang-barang branded dengan harga yang cocok di kantong untuk masyarakat Indonesia kebanyakan membuat pasar-pasar barang bajakan ini terus subur di Indonesia.

Right to Copy

Dari tiga faktor tersebut, bagaimana menyikapi tindakan pembajakan tersebut yang dianggap menjadi semacam perlawanan ideologi? Tidak mudah untuk menjawabnya. Namun intervensi negara untuk menyelesaikannya menjadi penting. Ini karena, negaralah yang memiliki otoritas tunggal bagaimana menyikapi pembajakan.

Salah satu jalannya adalah dengan memberikan insentif melalui ragam cara dengan melakukan kerjasama dari semua pihak, baik itu dari industri film dan struktur ikutannya juga dari orang perbukuan dan struktur sosial ikutannya. Insentif ini dilakukan untuk mengimbangi dari aturan hukum yang seolah-olah menjadi jalan keluar dari pelbagai persoalan, sementara praktik di lapangan negosiasi dan suap menyuap menjadi bagian dari praktik budaya koruptif yang masih terjadi.

Dengan cara semacam ini, pasar sebagai ruang interaksi masyarakat di ruang publik pun menjadi sehat dan adanya pengaturan secara adil dan transparan. Dengan demikian, ucapan candaan dalam bahasa Inggris terkait dengan kondisi Indonesia dan industri pembajakan dalam setiap momentum bisa sedikit diminimalisasi, yaitu, “there is no copy right but right to copy” (enggak ada copyright tetapi hak untuk mengkopi).

Avatar
83 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *