Semasa kuliah di STAIN Kerinci, ada beberapa pemikiran Jalaludin Rakhmat yang saya baca dari beberapa bukunya. Seperti: Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus; Islam Aktual; Renungan-renungan Sufistik; Membuka Tirai Keghaiban; Rekayasa Sosial, yang diterbitkan Mizan, Bandung.
Sewaktu saya “berkelana” ke Jakarta dan Bandung untuk mencari penerbit naskah buku-buku saya. Saya sempatkan mengikuti acara peluncuran buku dan dialog pemikiran Filsafat Mulla Sadra di IAIN Sunan Gunung Jati (sekarang UIN Sunan Gunung Jati). Dikesempatan itulah saya mendengar penjelasan Dr. Jalaludin Rakhmat tentang pemikiran filsafat Mulla Sadra.
Sungguh luar biasa! Kelancaran argumentasi dan ketajaman analisis beliau berbanding lurus dengan kelincahan pena beliau dalam menulis buku-buku keislaman. Di antara buku-buku beliau seperti buku Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 1999) patut menjadi renungan bersama dalam memahami esensi agama dan kemanusiaan.
Pemikiran Jalaludin Rakhmat
Beliau menjelaskan, ada dua pandangan tentang peranan agama bagi manusia, yakni: aliran idealisme dan materialisme. Kedua aliran ini berkembang sesuai dengan sudut pandang pemeluk agama terhadap agama yang dianutnya.
Menurut Anselm von Feuerbach (ahli hukum), ia menyatakan, “Agama, dalam bentuk apa pun dia muncul, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia.” Makna yang tersirat dari pernyataan tersebut, bahwa peranan agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Jadi, manusia tanpa agama tidak dapat hidup sempurna.
Sedangkan anaknya (Anselm von Feuerbach) yakni Ludwig von Feuerbach, berpendapat, “Manusia adalah apa yang ia makan, makanan menentukan kehidupan manusia; termasuk kehidupan beragamanya.”
Menurut Jalaludin Rakhmat, “Agama bisa berperan dan tidak berperan, tergantung pada Anda; bergantung pada peranan yang Anda berikan bagi agama; bergantung pada bagaimana Anda memandang agama.” (Ibid, h.36).
Peranan Agama Bagi Manusia Era Modern
Dalam perspektif idealistik, gagasan menentukan perilaku manusia. Pandangan tersebut merupakan argumentasi dari beberapa pendapat:
Pertama, Lerner berpendapat, gagasan merasuki manusia, seperti ruh halus yang merasuki tukang-tukang sihir dan menggerakkan seluruh perilakunya;
Kedua, Hegel menyatakan, sejarah umat manusia adalah perkembangan ruh (spirit) dalam waktu. Agama adalah wilayah gagasan;
Ketiga, Max Weber ketika ia membicarakan etika protestan dan ruh kapitalisme, ia menyatakan tesisnya, agama adalah semacam ideologi. Agama adalah ideologi yang menimbulkan perubahan. Lebih lanjut Max Weber menjelaskan, Kapitalisme didasarkan kepada perilaku rasional yang dilahirkan oleh kesalehan (asceticism).
Menurut paham Protestan, iman adalah karunia Tuhan, dan manusia mampu membuktikan karunia Tuhan ini dengan amal yang nyata. Kerja memang tidak menjamin keselamatan, tetapi kerja mutlak perlu diperlukan untuk membuktikan bahwa kita memiliki keselamatan itu. Dengan pemikiran itu, orang Kristen menata hidupnya secara rasional. Penghamburan waktu dipandang sebagai dosa. Begitu pula kemewahan. Kerja adalah panggilan Tuhan. Bila pembatasan kosumsi dikombinasi dengan pengeluaran kegiatan yang menghasilkan, hasil yang tak terhindar sudah jelas: akumulasi modal lewat kesalehan untuk menabung;
Keempat, Pieris (1969) menunjukkan bagaimana Sikhisme, yang memerontak pada sistem kasta Hindu, telah melahirkan sikap positif terhadap kerja dan kehidupan yang sederhana. Kelompok Sikh akhirnya menjadi pengusaha-pengusaha yang hidupnya relatif lebih maju daripada kelompok Hindu;
Kelima, Geertz dari penelitiannya menunjukkan bahwa kelompok Muslim pembaru memiliki kesalehan yang mirip dengan etika Protestan. Kelompok pembaru hidup gemi, bekerja keras, makan dan berpakaian sederhana, menghindari upacara-upacara yang mewah, dan menekankan usaha individual. Dari kelompok inilah lahir pengusaha-pengusaha pribumi.
Dari pandangan di atas, Jalaludin Rakhmat berpendapat:
Agama akan bisa berperan bila agama itu melahirkan dimensi ideologikal yang mendorong perubahan sosial, dan bila dimensi sosial agama membersit cukup kuat dalam kehidupan sehari-hari. Protestanisme adalah reaksi kepada Katolikisme, seperti reformisme Islam juga merupakan reaksi kepada koservatisme. Keduanya tampaknya mengecilkan dimensi ritual dan mistikal, dan menonjolkan dimensi sosial serta ideologikal. (Ibid, h. 40).
Kita yang Memberi Peran pada Agama
Sedangkan dalam perspektif materialistik, agama sama sekali dianggap tidak penting. Pandangan tersebut merupakan argumentasi dari beberapa pendapat:
Pertama, Marx berpandangan, yang terpenting adalah perubahan modus produksi;
Kedua, Veblen dan Ogburn, yang terpenting adalah perubahan teknologi. Agama tidak menimbulkan perubahan. Agama malah berubah karena terjadinya perubahan pada aspek kehidupan material. Sering, agama bahkan menjadi anakronisme yang jauh “tertinggal” dalam persaingan dengan perkembangan kebudayaan material;
Ketiga, Smelser, yang terpenting adalah perubahan institusi sosial. Menurutnya, pembangunan terjadi lewat (a) modernitas teknologi yang mendorong penggunaan pengetahuan ilmiah, (b) komersialisasi agrikultul yang mendorong timbulnya spesialisasi dan sistem upah, (c) proses industrialisasi yang mengalihkan penggunaan tenaga manusia ke tenaga mesin, dan (d) urbanisasi yang menyebabkan perubahan dimensi ekologis.
Keempat, Rostow menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi melewati lima tahap: (a) masyarakat tradisional, (b) prakondisi lepas landas, (c) lepas landas, (d) dorongan ke arah kedewasaan, dan (e) masa kosumsi masa yang tinggi;
Kelima, Daniel Lerner berpendapat, tahapan pembangunan lewat: (a) urbanisasi, (b) pendidikan, (c) terpaan media, dan (d) partisipasi. Ubahlah dahulu penduduk menjadi masyarakat kota, nanti ia menjadi berpendidikan. Mereka akan membaca koran, dan akan terjadilah partisipasi politik.
Pemikiran Jalaludin Rakhmat terkait pandangan tersebut:
Sembari menyimpulkan dua perspektif di atas, sekali lagi kita tekankan bahwa peranan agama dalam masyarakat membangun amat tergantung pada bagaimana kita memandang agama; dari sini, kita memberikan peranan apa kepada agama. Agama tidak otomatis berperan. Kita yang memberikan peranan kepada agama. (Ibid, h. 41).
Frekuensi Iman Manusia
Pertama, Iman tabi’at (iman mathbu’); keimanan para Malaikat. Keimanan para Malaikat tetap stabil dan steril, karena mereka diciptakan untuk totalitas menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanpa terpengaruh dari godaan setan, iblis, jin dan sejenisnya yang mengganggu “kebaktian” mereka pada Tuhan.
Kedua, Iman terpelihara (iman ma’shum); keimanan para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul yang menjalankan risalah Ilahiyah, sebagai pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, dan penuntun umat manusia ke jalan kebenaran, serta “mengembala” umat manusia untuk istiqamah pada syariat-Nya.
Ketiga, Iman yang diterima (iman naqbul); keimanan orang Mukmin. Keimanan orang Mukmin yang senantiasa merapatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa; selalu ingin berjumpa dan bertemu (liqa’) kepada Tuhan; serta, istiqamah mencari dan menggapai ridha-Nya, tentu keimanan mereka senantiasa diterima Tuhan Yang Maha Esa.
Keempat, Iman yang diragukan (iman mauquf); keimanan ahli bid’ah. Keimanannya seperti berminyak air, karena ia mampu melakukan penyesuai-penyesuai dengan keadaan lingkungan. Keimanan yang diragukan disebabkan bercampurnya ekses-ekses yang lain yang mempengaruhi loyalitas kepada Tuhan Yang Maha Esa; komitmen kesejatian pada-Nya; dan kemurnian peng-esa-an-Nya.
Kelima, Iman yang tertolak (iman mardud); keimanan orang munafik. Keimanan yang tertolak menurut perspektif Tuhan tentu keimanan manusia yang tidak loyal dengan peng-esa-an Tuhan, menolak komitmen peng-esa-an pada-Nya, dan terjerababnya diri pada iman “situasional” supaya tetap disangka beriman tapi sebenarnya hatinya mendustai ucapan dan perilakunya.
Maka wajarlah Rasulullah Saw, sang pembawa risalah-Nya senantiasa mengingatkan umatnya. Seperti sabdanya:
Iman itu bertambah dan berkurang, maka perbaharuilah iman kalian dengan Laa ilaaha illallah (H.R. Ibnu Hibban).
(Bersambung)
Editor: Nabhan