Maraknya kenakalan remaja, seperti tawuran, pemalakan, bullying, pergaulan bebas, ketidakjujuran dalam evaluasi pendidikan, serta sikap acuh tak acuh terhadap kepentingan umum dan masa depan bangsa merupakan beberapa aspek yang sering dijadikan indikator dalam menilai pudarnya karakter generasi muda.
Di tengah kondisi seperti ini, sejumlah pandangan spekulatif pun mulai bermunculan. Para remaja masa kini pada umumnya dianggap sebagai pribadi yang kurang bertanggungjawab, tidak memiliki toleransi dan kebersamaan, nasionalismenya pudar, tidak peduli terhadap lingkungan, dan lain sejenisnya.
Sampai saat ini telah banyak teori dikemukakan untuk menjawab problem karakter generasi muda.Teori-teori itu dimunculkan berdasarkan nilai-nilai dasar yang dikembangkan dalam suatu masyarakat, seperti di Jawa.
Nilai-nilai dasar ini dikonstruksi kembali sehingga dianggap penting untuk diterapkan dalam proses pendidikan sehingga tumbuh kembali karakter generasi muda. Selain itu, banyak pula ditemukan teori-teori pendidikan karakter yang juga dihadirkan dari pemikir-pemikir Barat.
Pemikiran mereka banyak yang diadopsi dan dijadikan rujukan dalam pengembangan pendidikan karakter, tanpa banyak berpikir panjang tentang perbedaan latar belakang dan budaya. Padahal, perbedaan ini boleh jadi dapat memicu bias budaya yang kurang sesuai dengan karakter bangsa timur.
Sosok Harun Ar-Rasyid
Menelisik pandangan di atas, dirasa perlu untuk melakukan penelusuran terhadap pemikiran tokoh-tokoh muslim yang relevan dengan karakter bangsa ini. Telah banyak contoh yang dapat ditemukan dalam pemikiran tokoh-tokoh muslim yang konsen dengan pendidikan karakter.
Salah satunya adalah Harun ibn Muhammad Ibnu Abi Ja’far al-Manshur atau biasa dikenal dengan nama Harun ar-Rasyid. Pemikiran khalifah kelima dalam Dinasti Abbasiyah ini sangat futuristik dan mengandung banyak nilai yang dapat dijadikan model pengembangan pendidikan karakter di Indonesia.
Dalam sejarah, Harun ar-Rasyid dikenal sebagai tokoh yang memiliki perhatian serius terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian ini tidak saja diberikan bagi masyarakat yang dipimpinnya, tetapi juga anaknya. Hal ini dapat dilihat dari upayanya dalam menghadirkan guru terbaik untuk mendidik anaknya.
Sebagai seorang khalifah, Harun ar-Rasyid sadar betul bahwa ia harus mempersiapkan anaknya agar kelak bisa menjalankan tugas-tugas kepemimpinan sepeninggalnya. Bagi Harun ar-Rasyid, upaya melahirkan calon pemimpin tidak saja cukup hanya membekalinya dengan pendidikan intelektual, tetapi juga moral atau karakter.
Sadar akan pentingnya pendidikan karakter, Harun ar-Rasyid pernah berpesan kepada Ahmar, guru bagi putra mahkotanya, Abu Abdullah Muhammad al-Amin yang kelak menggantikan posisi khalifah sepeninggal Harun ar-Rasyid. Pesan yang disampaikan oleh Harun ar-Rasyid itu mengandung konsep-konsep pendidikan karakter.
Konsep Pendidikan Karakter Harun Ar-Rasyid
Pertama, pentingnya kesiapan dan keteladanan seorang guru. Dalam wasiat yang ditulisnya kepada Ahmar, Harun ar-Rasyid menegaskan pentingnya peran guru dalam proses pendidikan.
Dalam wasiat tersebut, ia meminta agar Ahmar sebagai guru harus siap menerima amanah yang dipercayakan kepadanya. Hal ini karena guru merupakan sumber ilmu yang diharapkan mampu mentransfer ilmu pengetahuan kepada anaknya (peserta didik).
Jika penguasaan bahan ajar tidak benar-benar dilakukan oleh guru, maka proses transfer ilmu pengetahuan pun tidak akan berjalan maksimal. Guru juga perlu menjaga amanah yang diberikan dengan menunjukkan kualifikasi memadai, seperti cerdas secara akademik, dan unggul dalam perilakunya, sehingga ia memiliki kecerdasan moral yang dapat dijadikan teladan bagi peserta didiknya.
Konsep kedua adalah mengajarkan retorika, yakni keterampilan berbahasa secara efektif. Keterampilan ini tentu harus dimiliki oleh semua orang agar dapat berkomunikasi dengan baik. Apalagi bagi seorang pemimpin, retorika merupakan keterampilan yang harus dikuasai, karena kepiawaian dalam berdiplomasi sangat menentukan keberlangsungan suatu pemerintahan.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pesan Harun ar-Rasyid ini mengandung makna bahwa kemampuan beretorika dapat mempermudah peserta didik berkomunikasi dan menyampaikan gagasan dengan baik. Semakin mahir berkomunikasi, tingkat percaya diri peserta didik akan semakin tinggi dan sangat yakin dengan ilmu yang dimilikinya. Karena itu, retorika yang baik mengandung nilai dan sikap dari konsep pendidikan karakter, sehingga peserta didik dapat mengimplementasikan sopan-santun dalam berbicara.
Konsep ketiga yang ditekankan Harun ar-Rasyid adalah tidak banyak tertawa. Banyak tertawa menyebabkan seseorang kehilangan kepekaan dalam menyikapi keadaan. Padahal kepekaan merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar bisa melihat berbagai permasalahan yang terjadi dari berbagai sudut pandang, sehingga keputusan yang dibuat untuk menyelesaikan masalah dapat diterima oleh semua pihak.
Ketika tertawa dilakukan sesuai kadarnya, maka akan menumbuhkan rasa peduli kepada sesama. Hal ini juga membantu peserta didik dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari agama untuk saling bertoleransi dan menjunjung tinggi multikulturalisme.
Konsep pemikiran keempat adalah mampu menempatkan diri. Sadar akan pentingnya kemampuan untuk menempatkan diri dalam berbagai kondisi. Seorang pemimpin yang dapat menempatkan diri di tengah masyarakat yang dipimpinnya tentu akan dengan mudah membangun komunikasi yang efektif.
Komunikasi yang terbangun merupakan kunci utama penyelesaian berbagai masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Relevansi konsep ini dengan pendidikan karakter di Indonesia adalah penerapan etika sesuai dengan norma masyarakat. Selain itu, juga mampu beradaptasi dengan keragaman sosial kultur dalam tingkatan masyarakat agar saling menghormati satu sama lain.
Konsep pemikiran kelima adalah menghargai waktu. Menghargai waktu tentu tidak lepas dari kemampuan untuk menentukan skala prioritas dari sekian banyak tugas yang diterima oleh seseorang. Sedemikian penting mengatur waktu ini sehingga seringkali dikaitkan dengan keberhasilan dan kegagalan seseorang.
Karena itu, tidak heran jika Harun ar-Rasyid meminta kepada Ahmar untuk mengajarkan pada al-Amin bagaimana menghargai waktu dan memanfaatkannya dengan baik agar kelak saat sang putra mahkota memimpin daulah Abbasiyyah dengan prestasi yang luar biasa. Pengutamaan kedisiplinan dalam setiap proses pendidikan akan berdampak pada kemandirian peserta didik.
Sekian banyak pokok pikiran yang dituliskan Harun ar-Rasyid rupanya selaras dengan konsep pendidikan karakter dan menjunjung tinggi pendidikan yang bermoral. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemikiran pendidikan karakter yang diusung oleh Harun ar-Rasyid mengandung nila-nilai universal yang tidak mengenal batasan ruang dan waktu.
Bahkan konsep pendidikan karakter yang diusungnya memunculkan sisi keunikan yang tidak ditemukan dalam konsep pendidikan modern saat ini, yakni mengajarkan untuk tidak banyak tertawa.
Jika tidak ditelisik dengan jeli, wasiat ini seakan-akan tidak mengandung pesan pendidikan karakter. Padahal sesungguhnya pesan yang sederhana ini justru mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam proses pendidikan karakter.
Semua ini tentu tidak terlepas dari sosok Harun ar-Rasyid yang dikenal sebagai pribadi dengan cara pandang futuristik tanpa melupakan ajaran agama dalam setiap pesan yang disampaikan. Di samping nilai agama, Harun ar-Rasyid juga mengutamakan pencapaian karakter yang sempurna.