Oleh: Musa Maliki*
Sejak zaman kolonial sampai sekarang, pendidikan kita didominasi alam Barat (Eropa dan Amerika). Ide tentang pergerakan nasional, kemerdekaan, nasionalisme, dan lainnya adalah berkat pendidikan Barat yang bercampur dengan spirit kebangsaan kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa penjajahan pun membawa sisi positif, yakni semangat pencerahan, kebebasan, dan penentuan diri sendiri.
Kita tahu semua bahwa menteri pendidikan baru kita, Mas Menteri Nadiem adalah didikan negeri Paman Sam, Amerika sejak kecil hingga pindah ke Indonesia. Memperoleh gelar Master dari Harvard adalah hal yang amat sangat luar biasa. Dalam pidato-pidatonya beserta penampilannya, Mas Nadiem sangat Amerika, jadi kita tidak perlu memaksa beliau juga untuk njawani, nyundani, mbataki, minangi, atau yang lain. Dia adalah seorang Amerika. Oleh sebab itu pidatonya isinya singkat, padat, dan jelas. Perlu ada pemahaman kebudayaan dan sosial; tidak perlu saklek.
Mas Nadiem memberi angin segar bagi pendidikan kita. Pendidikan kita yang bisa jadi sudah terkungkung lama atas dampak negatif Pendidikan Barat: mental kolonialisme, belenggu birokrasi, dan feodalisme akademis. Namun pergerakan Mas Nadiem tentunya menuai kontroversi. Hal ini biasa sebab akan ada pihak-pihak yang akan diusik dari zona nyamannya. Bersiap-siaplah menghadapi perubahan. Begitu kira-kira pikiran anak muda seperti Mas Nadiem.
Tulisan ini ingin mengomentari beberapa dialektika antara pernyataan Mas Nadiem yang begitu mengagetkan dengan kalangan yang mempunyai mental sebut saja “feodalis”. Mereka yang masih saja nyaman di zona hidupnya selama sistem pendidikan kita yang begini begini saja.
Gelar Tidak Menjamin Kompetensi
Pertama, Mas Nadiem berkata: “Kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi”. Bagi kalangan yang mengagungkan dan menyungging gelar adalah segala-galanya, maka pernyataan ini langsung membuatnya gelo, emosi, marah, kecewa, dan meyayangkan.
Mereka akan berkata, “mengapa pak Nadiem harus sekolah sampai master di kampus top seperti Harvard University? Katanya Mas Nadiem tidak mau gelar dan kompetensi”. Walaupun mungkin tidak melihat gelar adalah segala galanya (tampaknya berlebihan saya menulis) tapi bagi kalangan ini gelar itu penting sekali sebagai ukuran kompetensi.
Saya kira ketakutan, ketidaksukaan, dan perasaan gelisah atas perubahan yang akan terjadi membuat kalangan ini mulai bersuara kritis terhadap Mas Nadiem. Hal ini positif-positif saja sebagai ruang dialektika yang sehat. Respon terhadap Mas Nadiem adalah biasa di alam demokrasi.
Saya ingin meramaikan dialektika di atas. Tampaknya kalangan yang kurang suka pernyataan Mas Nadiem di atas itu terlalu menelan bulat-bulat apa yang dilontarkan Mas Nadiem. Mereka belum sampai pada level pencernaan yang mendalam sehingga emosi dan ketakutannya atas perubahan meresponnya terlebih dahulu dengan meninggalkan refleksinya.
Mungkin jaman sekarang, orang-orang yang walaupun gelarnya panjangan sampai professor, cara berpikirnya masih saja literal dan tekstual, lalu mereka tafsirkan teks tersebut sesuka-sukanya dengan melepaskan motif positif, konteks, dan makna dibalik suatu pertanyaan. Kegelisahan dan ketakutkannya akan perubahan bisa jadi membutakan refleksi mendalamnya.
Motivasi untuk Kompetensi
Pernyataan Mas Nadiem bagi saya perlu dipahami macam-macam misalnya sebagai berikut: kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi. Maksudnya, pernyataan ini sebenarnya berniat baik untuk membesarkan jiwa dan semangat seseorang yang tidak mempunyai gelar, tapi memiliki kompetensi bagus. Orang perlu memperkerjakan seseorang yang sekiranya mempunyai kompetensi bagus, walaupun tidak memiliki gelar.
Pernyataan ini juga bisa ditafsirkan tidak serta merta gelar tidak penting seperti pernyataan seseorang yang bilang untuk apa salat jika kelakukannya masih saja buruk dan kata-katanya penuh kebencian. Bisa jadi gelar tetap dimiliki hanya saja harus sesuai dengan kompetensi; Walaupun kelakukannya buruk, sholat tetap dikerjakan agar sholatnya suatu ketika bisa terus memperbaiki kelakukan buruknya. Seringkali pendidikan kita antara gelar dengan kompetensi jauh berbeda. Misalnya, kuliah di pertanian kebanyakan jadi wartawan dan Banker.
Jika kita terlalu ‘menyembah’ gelar, maka kompetensi kita justru buruk. Ada kalanya gelar dipakai sebagai alat politik menguasai seseorang. Gelar bisa dipakai untuk memperlakukan orang dibawah gelarnya seenaknya, diskriminatif, dan eksploitatif.
Gelar bisa menjadi sistem feodalisme gaya baru di era post-kolonial sehingga jika terjadi tindakan negatif seperti pelecehan seksual, plagiat, dan sejenisnya justru institusi pemberi gelar tersebut menutupi tindakan negatif tersebut demi nama baik, keberlangsungan institusi pemberi gelar tersebut dan sejenisnya.
Tafsir lainnya pernyataan Mas Nadiem sebenarnya memberi motivasi kepada pemilik gelar untuk segera menguatkan kompetensi mereka. Kadang pemilik gelar seolah-olah sudah merasa memiliki kompetensi padahal isi dari gelar tersebut, kompetensinya perlu diasah terus melalui pengalaman, khususnya di luar bangku sekolah/kuliah.
Kelulusan dan Kesiapan Kerja
Kedua, Mas Nadiem berkata: “Kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamim kesiapan kerja”. Hal ini biasa-biasa saja sebab tidak semua orang yang lulus sekolah/kuliah belum tentu pasti kerja, mendapat kerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Banyak sekali kerjaan seseorang jauh sekali antara gelar dan kompetensinya. Apakah salah? Saya kira yang bisa menjawab adalah pilihan hidup seseorang dalam menempuh kehidupannya mau seperti apa.
Oleh sebab itu, filosofi pendidikan kita bukanlah gelar dan kompetensi; lulus atau tidak lulus; kerja atau tidak kerja, tapi dengan pendidikan kita, kita mau mencetak manusia seperti apa dan mau apa? Saya kira menjadi penting pendidikan kita perlu memberi arah kepada anak didik kita untuk bisa punya sikap otonom, bebas menentukan sikap hidupnya mau kemana dan akan menjadi apa?
Jadi sekolah memang tidak fokus memberi jaminan seseorang untuk lulus lalu menjadi kelas pekerja. Sekolah dan Kampus adalah tempat untuk mendewasakan diri seseorang sehingga seseorang bisa memiliki keberanian untuk menentukan dirinya mau kemana dan akan menjadi apa.
Akreditasi dan Mutu
Ketiga, Pak Nadiem berkata: “Kita memasuki era dimana akreditasi tidak menjamin mutu”. Lagi-lagi, kalimat Mas Nadiem dimamah mentah-mentah secara literal. Maksudnya adalah ada hal yang lebih penting dari sekedar akreditas sehingga tidak usahlah terobsesi, tergila-gila, dan bangga apalagi sombong dengan memiliki akreditas tinggi.
Begitu banyak sekarang kampus kampus top dengan akreditas tinggi, tapi ya isinya begitu begitu saja, bahkan ada yang sangat memprihatinkan. Saya kira banyak pembaca lebih paham daripada saya kondisi seperti ini tanpa saya berpanjang-panjang menjelaskannya.
Jadi terlalu jauh jika kita akan berpikir bahwa Mas Nadiem sebagai Mendikbud RI akan membubarkan BAN-PT sebab maksud ucapan Mas Nadiem adalah bagaimana substansi pendidikan bisa dimaksimalkan dan terkena sasaran tanpa adanya beban (obsesi) administrasi akreditas. Mungkin jika dibubarkan paling akan dibuat yang baru yang lebih substansial. Mari kita tunggu saja.
Saya jadi ingat cerita seseorang yang akan menolong orang yang kecelakaan. Ditanya rasnya, agamanya, alirannya, kubunya siapa, sampai pada titik dimana korban akhirnya tewas, karena melayani begitu banyak pertanyaan, tanpa ada pertolongan sesegera mungkin.
Tolonglah seseorang siapapun itu tanpa memandang ‘gelar’. Pendidikan kita adalah pendidikan yang membebaskan dari belenggu-belengu, termasuk belenggu obsesi ‘gelar’ dan ‘akreditas’. Keduanya penting, tapi bukan yang utama dan segala-galanya yang justru memenjarakan, bukan membebaskan.
*) Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Kandidat Doktor Charles Darwin University Australia; Anggota Kehormatan Jaringan Intelektual Berkemajuan; Penulis buku “Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat” (2019)