Timur Tengah pada Zaman Aksial (800-200 SM) merupakan titik persinggungan antara dua kekuatan politik dan kebudayaan global. Di samping kawasan ini memiliki nilai historis yang sakral, Imperium Persia dan Romawi saling berebut pengaruh untuk menguasai tempat-tempat strategis.
Kekuasaan Persia
Pada masa kekuasaan Cyrus The Great (550-530 SM), bangsa Persia berhasil meluaskan wilayah kekuasaan Dinasti Achameneids mencapai Babilonia, Palestina, Syria, dan beberapa wilayah di Asia Kecil hingga Mesir. Babilonia merupakan pusat peradaban yang paling kokoh di antara negara-negara Timur Tengah. Palestina adalah negara yang memiliki nilai historis sakral di antara tiga agama besar: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Syria merupakan negara pertama yang mampu melahirkan komunitas Nasrani terbesar pada masa Pasca Aksial. Sementara Mesir merupakan negara kuat yang menguasai hampir seluruh kawasan Mesopotamia pada waktu itu.
Pada era pemerintahan Darius I (485-522 SM), kekuasaan Dinasti Achameneids membentang dari lembah dan Sungai Indus di timur hingga wilayah perbatasan Yunani di barat. Mulai pemerintahan Darius I, Ibukota Dinasti Achameneids dipindah ke kota Susa, bersamaan dengan ditaklukkannya Mesopotamia.
Masa-masa penaklukan inilah yang amat strategis bagi proses penyebaran kebudayaan Persia ke kawasan Timur Tengah. Negara-negara penting yang ditaklukkan persia meliputi Syria (Damaskus), Palestina (Jerusalem), dan Yaman (Himyar). Lewat kekuasaan, proses penyebaran kebudayaan memang sangat efektif. Terbukti pada Zaman Aksial, peradaban Persia mendominasi kawasan negara-negara Timur Tengah ini.
Pada masa penaklukan Alexander The Great, orang-orang Yunani menguasai Persia. Tetapi, sesungguhnya kekuasaan Alexander masih tetap berada di bawah peradaban Persia, sekalipun di dalamnya terdapat konfrontasi yang amat tajam antara dua kebudayaan (Persia dan Yunani). Alexander The Great membangun sebuah kota sebagai simbol kejayaannya di tepi Sungai Nil (Mesir). Nama kota ini dinisbatkan kepada namanya, Iskandariyyah, yang berarti ”Kota Alexander.” Lewat Iskandariyyah inilah peradaban Yunani dan Persia mempengaruhi bangsa Mesir dan bangsa-bangsa di sekitarnya.
Puncak Kejayaan Persia
Memasuki era Dinasti Sassanids, bangsa Persia mencapai puncak kejayaannya sewaktu Kusraw Nushirvan (531-579 M) berkuasa. Mulai saat inilah pusat pemerintahan persia di pindah ke Chtesipon (Madain, Irak). Tampaknya, Kusraw Nushirvan mengikuti pola kebijakan pendahulunya pada era Achameneids sewaktu Darius I berkuasa, yakni membangun pusat kekuasaan di kawasan Mesopotamia.
Sebagai kekuatan peradaban Adidaya (super power), imperium Persia meluaskan pengaruhnya di seluruh belahan dunia. Termasuk di kawasan Timur Tengah, seperti Palestina (Jerusalem), Yaman, dan Syria. Lewat ekspansi-ekspansi militer dan perdagangan yang dilakukan bangsa Persia memudahkan proses difusi dan akulturasi antar kebudayaan.
Kekuasaan memang sangat efektif dan amat menentukan bagi proses transfomasi kebudayaan. Tidak jarang pihak yang berkuasa cenderung memaksakan kebudayaannya supaya diterima oleh pihak yang dikuasai. Sebaliknya, pihak yang dikuasai cenderung mengikuti kebudayaan para penguasa. Mereka yang terjajah menganggap kebudayaan pihak penguasa jauh lebih unggul atau lebih baik dibanding kebudayaan milik mereka sebagai kelompok tertindas.
Kepercayaan Zoroastrianisme pada Zaman Aksial merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan yang mendominasi bangsa-bangsa di Timur Tengah. Di samping kepercayaan orang-orang Mesir kuno, Paganisme ala baduwi, dan Agama Yahudi, bangsa-bangsa di Timur Tengah menganut kepercayaan Zoroastrianisme.
Pengaruh-pengaruh kebudayaan Persia, di samping lewat kekuasaan, juga ditopang dengan berkembangnya sistem perdagangan antar negara. Sungai Furat (Euphrate) menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan para pedagang dari Persia maupun negara-negara di Timur Tengah. Dengan berkembangnya sistem perdagangan antar negara menjadikan negara-negara yang terlibat dalam jalur perdagangan ini menjadi maju.
Tampak sekali pengaruh kebudayaan Persia di Timur Tengah, terutama dalam bidang perekonomian. Orang-orang Timur Tengah banyak menggunakan produk-produk bangsa Persia, seperti permadani, tembikar, sutra, dan lain-lain. Dalam melakukan transaksi perdagangan, bangsa Persia menggunakan mata uang dirham. Mata uang yang terbuat dari logam perak, sebagai alat tukar yang sah. Orang-orang di Timur Tengah juga menggunakan dirham sebagai alat tukar yang sah.
Pengaruh di Timur Tengah
Pengaruh kebudayaan Persia yang cukup menonjol di kawasan Jazirah Arab ialah kepercayaan Magi (Majusi). Kepercayaan ini dibawa oleh para pedagang Persia dan lambat-laun mempengaruhi pola pikir bangsa Arab. Ada benarnya teori yang menyatakan bahwa setiap bangsa yang berkuasa akan dianggap oleh bangsa lain memiliki kebudayaan yang jauh lebih tinggi. Demikian halnya sikap bangsa Arab pada umumnya. Karena bangsa Persia adalah bangsa kuat yang menjadi penguasa Adidaya pada masa menjelang kedatangan Islam, mereka pun banyak terpengaruh oleh kebudayaan ini.
Sebenarnya, di kalangan suku-suku Arab, khususnya di kawasan Hijaz, sudah berkembang kepercayaan pagan ala baduwi. Lewat “gerakan baru” yang dipelopori oleh ‘Amr bin Luayy (250 M), suku-suku Arab mengenal model penyembahan kepada berhala-berhala yang terbuat dari bagian tertentu dari bangunan Ka’bah.
Tampaknya, garakan baru yang dipelopori oleh ‘Amr bin Luayy turut menentukan bagi corak keberagamaan dan kebudayaan bangsa Arab selain lewat proses akulturasi budaya dengan orang-orang Persia. Justru lewat persinggungan dengan kebudayaan Persia, kepercayaan paganisme di jazirah Arab makin kokoh. Doktrin-doktrin Zoroastrianisme, terutama konsep dalam memahami keberadaan Tuhan, juga amat berpengaruh di Jazirah Arab.
Pada saat yang bersamaan, perkembangan agama Abrahamik, yaitu kepercayaan yang dianut oleh bangsa Yahudi, juga banyak terpengaruh oleh unsur-unsur Paganisme dari Persia. Ketika terjadi perdebatan sengit di antara para rahib Yahudi pasca pembuangan di Babilonia, mereka berselisih pendapat tentang otentisitas ajaran nenek moyang mereka. Di satu sisi sebagian bangsa Yahudi menghendaki kembali kepada ajaran nenek moyang secara murni (monoteisme). Tetapi sebagian bangsawan dan para rahib menghendaki perubahan-perubahan secara mendasar dalam konstruksi teologi mereka. Unsure-unsur Paganisme dari Persia banyak mewarnai ajaran-ajaran teologi Yahudi pasca pembuangan ini.
Kitab Talmud
Perselisihan pendapat di kalangan Yahudi terus berlanjut. Sebagian kalangan menghendaki pembaruan keagamaan, tetapi sebagian menghendaki kembali kepada khittah ajaran nenek moyang yang murni. Dari perselisihan tersebut kemudian melahirkan sekte baru di tubuh kaum Yahudi. Sekte Al-Farisi lahir sebagai bentuk kompromi antara ajaran murni Yahudi dengan unsur-unsur kepercayaan Paganisme Persia.
Dari sekte inilah nantinya lahir pandangan-pandangan keagamaan baru yang kemudian melahirkan produk kitab Talmud. Sebuah kitab suci yang berisi interpretasi terhadap ajaran-ajaran Nabi Musa as. oleh para rahib Yahudi dengan perspektif baru. Perkembangan pemahaman teologis bangsa Yahudi makin paganistik ketika mereka menganggap Ezra sebagai “Anak Tuhan” (‘Uzair ibn Allah) (Qs. At-Taubah/9: 30).
Pembaruan keagamaan Yahudi pasca pembuangan di Babilonia lebih menjurus kepada sinkretisme. Mungkin karena pengaruh politik rezim Achameneids yang telah berjasa kepada bangsa Yahudi mengakibatkan banyak rahib yang condong kepada kepercayaan paganisme Persia. Atau, bisa jadi para bangsawan Yahudi bersikap oportunistik mengorbankan ajaran-ajaran Yahudi yang otentik ditukar dengan kepercayaan pagan.
Sebagian dari kalangan Yahudi pasca pembuangan di Babilonia menghendaki gerakan khittah. Mereka makin puritan dan menempuh hidup asketik. Sekelompok Yahudi mengasingkan diri di tepi Laut Mati untuk mengamalkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka secara otentik. Mereka menolak dan mengritik gerakan para rahib dari kelompok pembaru spiritual (Sekte Al-Farisi) yang telah mencampur-aduk ajaran-ajaran Yahudi dengan paganisme Persia. Kelompok ini disinyalir dipimpin oleh Yahya, putra Nabi Zakariya, pada sekitar Abad Kelima Sebelum Masehi.
Ekspansi militer bangsa Persia yang berhasil menaklukkan beberapa kawasan di Jazirah Arab telah mempercepat proses akulturasi antara dua kebudayaan. Sekalipun tanah Hijaz sendiri tidak pernah tersentuh oleh kekuatan militer dua imperium global pada waktu itu, tetapi lewat kerajaan-kerajaan satelit di sekitar kawasan ini menjadi agen kebudayaan Persia dan Romawi Timur. Sebuah kerajaan kecil di Makkah yang menjadi “negara boneka” imperium Persia ialah Kerajaan Lakhmid. Kerajaan yang berpusat di kota Hira ini pada pertama kali berdiri menjadi agen kebudayaan Persia. Akan tetapi, setelah melewati beberapa generasi, kerajaan Lakhmid menjadi agen kebudayaan Bizantium.
Negara Boneka Lakhmid
Kerajaan Lakhmid terletak di tepi sungai Furat (Euphrate), di antara Najaf dan Kufah. Kerajaan ini muncul pertama kali pada Abad Ketiga Masehi. Lahirnya kerajaan ini murni atas dasar kepentingan imperium Persia, terutama untuk mengamankan jalur perdagangan mereka di Jazirah Arab.
Raja pertama Kerajaan Lakhmid ialah ‘Amr bin Adiyy (268 M). Dia adalah putra Rabi’ah bin Amr, raja Yaman dari Dinasti Tubba’. Amr bin Adiyy berafiliasi polotik ke Persia (Sassanids), tetapi raja generasi terakhir kerajaan ini, Al-Mundzir bin An-Nu’man (632 M), berafiliasi politik ke Bizantium. Sebab, Al-Mundzir bin An-Nu’man sendiri telah memeluk agama Nasrani (Albert Hourani, 2004: 55).
Selain Kerajaan Lakhmid, Dinasti Tubba’ di Yaman dan beberapa generasi Dinasti Himyar I juga termasuk dalam pengaruh politik Imperium Persia (Sassanids). Dinasti Tubba’ adalah generasi penerus Kerajaan Saba’ pasca bobolnya Bendungan Ma’rib (Sadd Al-Ma’rib) yang amat terkenal itu. Bendungan yang menjadi simbol kejayaan bangsa Arab di Kawasan Felix ini jebol pada tahun 120 SM. Peradaban Ma’rib pernah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1000 SM ketika seorang wanita menjadi ratu di negeri ini (Ratu Balqis).
Beberapa generasi awal kerajaan ini memang berafiliasi politik ke Persia, tetapi setelah bangsa Yaman mengenal ajaran yang dibawa oleh Faimiyun (wafat 521 M), murid Nabi Isa Al-Masih yang pertama kali mengajarkan agama Nasrani di negeri ini, mereka berafiliasi politik ke Bizantium, yang secara legal mengakui keberadaan ajaran ini dan melindungi para pengikutnya. Keberadaan kerajaan-kerajaan satelit ini semakin mengokohkan kekuasaan peradaban Persia di kawasan Jazirah Arab. Tidak dapat dipungkiri, peradaban Persia amat mendominasi kebudayaan bangsa Arab pada Zaman Aksial, khususnya pada masa menjelang kedatangan Islam.
***
Selain itu, terdapat pula Kerajaan Kindah (Suku Kindah) di Yaman yang berdiri pada sekitar Abad Ke-5 Masehi. Raja pertama kerajaan ini adalah Hujr bin ‘Amr. Secara politik, kerajaan ini di bawah kendali Dinasti Himyar II di Yaman. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan ini menjadi agen-agen kebudayaan Persia di jazirah Arab.