Perspektif

Peran Strategis Non-Muslim dalam Sejarah Islam

4 Mins read

Sejarah Islam, sebagaimana diwartakan oleh R. Stephen Humphreys, bukanlah sejarah umat Islam saja, melainkan sejak awal elemen masyarakat non-Muslim telah menjadi pusat administrasi pemerintahan. Tanpa memperhatikan peran mereka, sulit untuk memahami posisi non-Muslim dalam perkembangan awal “negara” Muslim. Pertanyaan utamanya adalah apakah Nabi mengizinkan non-Muslim berpartisipasi? Jika jawabannya, “ya”, dalam bentuk apa, konteks sosial yang bagaimana dan apakah mereka mendapatkan kedudukan sosial atau harta rampasan perang (ghanimah)?

Mun’im Sirry, intelektual Muslim Indonesia dan seorang sarjana revisionis, menuturkan bahwa kitab-kita hadis mencatat beberapa riwayat yang memperlihatkan, di satu sisi, Nabi mengizinkan partisipasi non-Muslim dan, di sisi lain, tidak. Perbedaan riwayat ini, lanjut Sirry, berimplikasi terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan fuqaha belakangan. Seperti yang akan disebutkan nanti, mayoritas fuqaha membolehkan keterlibatan non-Muslim dalam peperangan bersama kaum Muslim.

Riwayat-riwayat seputar masalah ini, kata Sirry, dapat kita jumpai berserakan dalam berbagai kitab hadis dan sebagian besar dalam bab “jihad” dan “siyar”. Yang pertama terkait peperangan dan kedua terkait hubungan dengan dunia luar. Perlu ditegaskan di sini bahwa makna jihad tidak selalu berafiliasi pada peperangan, angkat senjata, dan aksi-aksi kekerasan lainnya, melainkan “mengerahkan daya dan upaya” terutama berjalin kelindan dengan kondisi sosial masyarakat. Kemudian makna siyar juga begitu. Di kalangan sarjana modern, siyar diidentikkan dengan hukum internasional.

Hadis-hadis yang (dipahami), dalam hemat Sirry, membolehkan keterlibatan non-Muslim dalam peperangan biasanya berbentuk praktik yang terjadi pada zaman Nabi. Kala itu, non-Muslim diminta terlibat untuk membantu dalam memuluskan atau mendesain strategi peperangan. Meski dalam pandangan Sirry, ia tidak menemukan secara langsung pernyataan Nabi Saw, melainkan riwayat tentang bagaimana Nabi meminta bantuan mereka. Dengan kata lain, hadis-hadis yang membolehkan, umumnya, mengambil bentuk “praktik” di zaman Nabi bukanlah hadis verbal.

Partisipasi Kristen dalam Islam Awal

Ibn Abbas, misalnya, sebagaimana disitir Mun’im Sirry dalam Koeksistensi Islam Kristen, menyebutkan, “ista’ana rasulullah bi yahud Qainuqa’ fa radhakha lahum wa lam yushim” (Rasulullah meminta bantuan Yahudi Bani Qainuqa’ dan memberi mereka sedikit upah dan bahkan porsi harta rampasan (sebagaimana diberikan kepada pejuang Muslim).

Baca Juga  Bagaimana Cara Memiliki Otoritas Keilmuan?

Dalam hadis ini, menurut Sirry, digambarkan bahwa partisipasi mereka itu benar terjadi ditandai dengan penegasan bahwa mereka diberi porsi harta rampasan walau sedikit. Perlu dicatat bahwa tentu masih banyak riwayat serupa berkaitan dengan keterlibatan non-Muslim dalam Islam awal. Dalam Sunan al-Tirmidzi, misalnya, partisipasi 10 orang Yahudi dalam perang Khaibar menggambarkan Nabi dan para pengikutnya tengah berhadapan melawan kelompok Yahudi sendiri. Jadi, dalam amatan Sirry, Nabi meminta bantuan Yahudi untuk memerangi Yahudi.

Selain itu, partisipasi Kristen sebagai penunjuk jalan tercermin dalam kisah percobaan pembunuhan Nabi Saw yang dilakukan Kafir Quraisy. Orang tersebut adalah Abdullah bin Arqayat. Beberapa riwayat lain mengatakan Abdullah bin Arqat, Abdullah bin Uraiqith. Singkat cerita, non-Muslim ini membantu pelarian Nabi atas kejaran kafir Quraisy dengan mengambil jalan yang tak biasa dilalui orang alias jalan tikus ketika hendak menuju Madinah. Padahal Abdullah bin Uraiqith atau Abdullah bin Arqayat ini (saat itu belum masuk Islam) yang notabene merupakan seorang musyrikin Makkah. Abdullah bin Arqat inilah yang memimpin perjalanan Nabi melewati jalan yang tidak biasa guna mengelabui dan menghindari kejaran kafir jahiliyah. Sekali lagi, non-Muslim berjasa di sini.

***

Partisipasi Kristen berikutnya adalah Raja Habasyah. Pada masa Islam awal, kaum Muslimin mendapat berbagai persekusi, kriminalisasi dan embargo dari kafir Quraisy sehingga hal ini membuat Nabi gerah atas penderitaan umatnya dan mengeluarkan “dekrit” menyikapi hal ini. Dekrit ini berbunyi,

لو خرجتم إلى أرض الحبشة، فإن بها ملكا لا يظلم أحد وهي أرض صدق حتى يجعل الله لكم فرجا مما أنتم فيه

“Kalau kalian pergi ke Habasyah, di sana ada seorang raja yang tidak zalim. Habasyah adalah negeri yang tepat, sampai Allah swt memberikan jalan keluar bagi kalian semua atas kondisi yang kalian hadapi saat ini.” (Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir)

Baca Juga  Kelakuan Memalukan Warganet Indonesia Karena Halu Tingkat Expert

Nabi Muhammad Saw sesungguhnya telah mengetahui bahwa Raja Habasyah, Ashhamah An-Najasyi adalah pemimpin yang adil. Nabi secara langsung meminta “suaka” bagi pengikutnya yang proletar untuk sementara waktu. Oleh jasa kebaikan dan kebijaksanaan Raja Habasyah, mereka diberi perlindungan dan diperlakukan layaknya warga negaranya sendiri oleh raja. Tatkala utusan kafir Quraisy mengirimkan duta besarnya kepada sang raja untuk melakukan diplomasi agar mengusir para muslimin, sang raja dengan kepiawaian dan diplomasi tingkat tinggi, ia menolak pengusiran kaum muslimin,

Beberapa Muslim yang berhijrah di negeri itu diberi perlindungan dan diperlakukan adil oleh sang raja. Ketika utusan kafir Quraisy datang membawa hadiah kepada sang raja agar mengusir para muslimin di sana, sang raja mengajak berdialog. Dan, Raja Habasyah memutuskan tetap menerima para muslimin yang tinggal di negerinya.

Partisipasi Non-Muslim Era Dinasti Abbasiyah

Dalam The public role of Dhimmīs during ʿAbbāsid times, Mun’im Sirry menyajikan panjang lebar contoh bagaimana dan mengapa dhimmī non-Muslim dipekerjakan di berbagai jabatan strategis dan krusial, termasuk wazir (baca: perdana menteri, menteri, dewan penasihat dan pertimbangan presiden) dan sekretariat, yang dipegang oleh banyak dari mereka, selama masa Abbasiyah. Hal ini juga memberikan gambaran sekilas contoh toleransi beragama di masa ini yang meluas dari Baghdad hingga dinasti Fatimid di Mesir di mana anggota dhimmi non-Muslim menjadi sangat penting.

Sebagai pemantik, pertanyaannya adalah mengapa non-Muslim dibutuhkan untuk memegang jabatan penting seperti wazir dan sekretaris? Apa tidak cukup keberadaan kaum Muslimin untuk melakukan birokrasi pemerintahan? Jawaban ini tentunya beragam. Menurut Mun’im Sirry, keadaan di mana non-Muslim diangkat sebagai wazir bervariasi dari satu kasus ke kasus lainnya. Namun, kita dapat mencari ciri-ciri umum seputar mempekerjakan wazir non-Muslim selama masa Abbasiyah yang dapat membantu kita memahami mengapa mereka dibutuhkan untuk memenuhi jabatan wazir.

Baca Juga  Berubah, Kenapa Tidak?

Yang jelas, khalifah Abbasiyah menyadari perlunya mengakomodir dan mempertahankan para non-Muslim yang memang memiliki kecakapan dalam mengelola pemerintahan. Untuk alasan praktisnya, itu akan sulit bagi para khalifah untuk mengizinkan Muslim Arab menjalankan roda pemerintahan atau kerajaan yang luas dengan sistem administrasi yang kompleks. Karena sistem administrasi yang ada dipertahankan bersama dengan bahasa yang ada, tentu ada kebutuhan praktis bagi mereka yang fasih dan piawai serta mampu menyimpan catatan dalam bahasa tersebut.

***

Di bekas provinsi Bizantium, misalnya, dibutuhkan personel yang bisa bekerja dalam bahasa Yunani, di bekas provinsi Sassanid pun dibutuhkan orang yang fasih berbahasa Persia. Dengan kata lain, karena orang Arab memerintah sebagai komunitas minoritas atas masyarakat mapan dengan sistem administrasi mereka sendiri, mereka harus menetapkan metode untuk menjaga ketertiban melalui birokrasi yang ada. Non-Muslim dengan demikian diminati sebagai penyelenggara negara profesional yang sering naik ke posisi berpengaruh dan penting. Untuk ulasan detail terkait tema ini, anda bisa membaca karya-karya Mun’im Sirry seperti Rekonstruksi Islam Historis, Kontroversi Islam Awal, dan Koeksistensi Islam-Kristen.

Sebagai penutup, adalah keliru jikalau kita menggeneralisir semua non Muslim adalah jahat, musuh Islam, dan bahkan merupakan sebuah ancaman yang harus dilenyapkan. Dalam hal ini, sebagaimana penjelasan di muka, dalam konteks tertentu, Nabi Saw dan para sahabat melibatkan non-Muslim untuk membantu penyebaran Islam dan menjalankan roda pemerintahan. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian masuk Islam atas hidayah-Nya. Tidak benar jika Nabi Saw memaksa, mengancam atau mempersekusi mereka untuk masuk Islam. Realitas sejarah mencatatkan, Nabi Muhammad sendiri menjalin hubungan baik dengan non-Muslim. Beberapa dari mereka juga sangat berjasa bagi kehidupan dan keberlangsungan dakwah Islam.

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *