Pasca diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, yang diikuti seruan jihad Buya Sutan Mansur di Padang Panjang tanggal 19 Agustus 1945, seluruh warga Muhammadiyah di Kurai Taji Pariaman dan sekitarnya, dihadapkan pada upaya mempertahankan kemerdekaan.
Berdasarkan instruksi dari PB Muhammadiyah Yogya-karta tahun 1945 kepada seluruh Konsul Muhammadiyah, diserukan untuk merekrut pemuda-pemuda dalam barisan Hizbullah. Zainal Abidin Syuaib dan Samsuddin Ahmad pada masa itu turut aktif mensponsori lahirnya barisan Hizbullah di Bukittinggi (Kayo, 2010L 205).
Untuk kawasan Pariaman dan sekitarnya, pembentu-kan laskar Hizbullah berpusat di Kurai Taji, atas inisiatif Sidi Mhd. Ilyas, Abdul Jalil, dan beberapa orang lainnya. Adapun syarat yang diharus dipenuhi seorang anggota Hizbullah pada masa itu adalah berumur 17 tahun, bersedia mengikuti wajib militer untuk mempertahankan kemerdekaan.
Solidaritas untuk mempertahankan kedaulatan, banyak ditemukan pada pemuda yang berumur di bawah 17 tahun ikut dalam barisan Hizbullah. Adapun Hizbullah Pariaman pada waktu bermarkas di Kurai Taji dan hampir seluruh pemuda yang tergabung dalam Hizbullah berasal dari Pemuda Muhammadiyah.
Cabang Muhammadiyah Pariaman Vs NICA
Di tengah situasi gejolak revolusi fisik–terutama sewaktu NICA berusaha menerobos keluar dari Kota Padang di tahun 1947, Ketua Cabang Muhammadiyah Pariaman Ilyas kembali ditangkap. Kisah itu bermula, tentara NICA sudah memasuki kawasan Pasar Usang bergerak menuju arah Kurai Taji. Ilyas menyatakan keheranannya, kenapa barikade Republiken bisa ditembus oleh mereka?
Rupanya, ucapan Ilyas ini dilaporkan oleh mata-mata NICA, sehingga ia pun dibui di Nagari Kayu Tanam. “Mengapa bisa tembus? Mengatakan itu saja, buya langsung ditangkap. Buya kemudian dibawa oleh tentara NICA menuju Kayu Tanam. Sel yang dihuni Buya waktu itu sangat sempit, sehingga tidurpun harus berdesak-desakan.”. kenang Hanifa, anak kedua dari Ilyas.
Kurang lebih sebulan Ilyas mendekam dalam jeruji besi Pariaman. Ia dibebaskan oleh Hamka melalui proses negoisasi yang alot dengan NICA. Pasca dibebaskan, Ilyas kembali larut dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. Di tengah instabilitas ekonomi pada awal kemerdekaan, rumahnya juga disibukkan dengan rutinitas Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Hizbullah –guna mempertahankan kemerdekaan.
Rohana: Sang Ketua Aisyiyah Pariaman
Di tengah himpitan ekonomi, Ketua Aisyiyah Pariaman Rohana tidak pernah ambil pusing dengan kunjungan tiap hari dari aktivis-aktivis dan barisan perjuangan itu. Dibantu anak pertamanya, bernama Asma, jelang subuh Rohana sudah menyiapkan penganan kue talam–yang nantinya akan dijojo keliling balai Kurai Taji oleh Hanifa dan Suwarni.
Kesibukan keluarga Ilyas makin bertambah, ketika konferensi Aisiyah Cabang Pariaman digelar di rumah mereka pada Desember 1946. Seluruh peserta yang berasal dari groep–groep itu, menghabiskan seluruh aktivitas mereka selama tiga hari di rumah Ilyas.
“Kalau sudah ada konferensi, rumah kami selalu ramai. Untuk memasak nanti ada sebagian kecil dari ibu-ibu Asiyah bergerak di dapur. Pokoknya suasana masa itu memang meriah dan rumah kami ramai oleh ibu-ibu Aisyiyah. Tapi ya itu, umi sendiri tidak pernah mengeluh. Ia malah senang,” kenang Hanifah.
Aktivitas Rohana tidak sebatas memimpin Aisyiyah saja, isteri Ilyas itu–turut merintis berdirinya laskah Sabil Muslimat. Berlokasi di lapangan Surau Dagang, latihan Sabil Muslimat itu digelar. Anggota awal dari Sabil Muslimat awalnya berjumlah sepuluh orang, termasuk dalam hal ini Asma.
Mereka dilatih oleh Yusuf Siradj komandan pleton dari Hizbullah. Beragam aktivitas dilakoni oleh anggota Sabil Muslimat–yang juga aktif di Nasyiatul Aisyiyah Pariaman tersebut.
“Yang mengajar Sabil Muslimat itu tentara Hizbullah, Pak Yusuf Siradj yang mengajari kami. Kita diajarkan baris-berbaris, tiarap, cara memegang senapan, dan bagaimana mengepung musuh, dan segala macam. Memang belajar perang beneran,” Asma mengenang perjuangannya bersama barisan perempuan Sabil Muslimat.
Kontribusi Muhammadiyah-Aisyiyah Pariaman Pada Masa Agresi Militer II
Memasuki masa agresi militer II Desember 1949, ketika pemerintah RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan dwi tunggal ditahan, tonggak perjuangan dilanjutkan oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Hampir seluruh warga dan pimpinan Muhammadiyah-Aisyiyah di Pariaman, terlibat dalam usaha mempertahankan keberadaan pemerintah mobile tersebut. Rohana mengemuka namanya di Pariaman.
Pada masa itu, Rohana diberi pangkat Kapten Tituler. Ia juga terlibat sebagai pengatur strategi perang. Satu peristiwa yang ‘mengapungkan’ namanya, ketika ia berhasil meluluhlantakkan satu tank milik NICA di simpang Bazoka Pariaman.
Kisahnya bermula, ketika Rohana memasang sendiri peledak untuk tank militer. Ketika tank yang memuat lima orang itu melaju, tiba-tiba meledak dan menghanguskan kendaraan lapis baja.
Peristiwa heroik itu menewaskan dua tentara dan tiga orang lainnya mengalami luka berat. Rohana juga menyediakan rumahnya sebagai dapur umum. Puluhan aktivis Aisyiyah dan ibu-ibu Sabil Muslimat bahu-membahu menyediakan makanan untuk para pejuang dan Barisan Pengawal Nagari/Kota (BPNK). Makanan yang dibungkus daun pisang itu, dibawa oleh pasukan Sabil Muslimat yang menyamar sebagai penjaja keliling makanan.
.
Editor: Arif