Tajdida

Agar Muhammadiyah menjadi “Gurita Amal Shaleh”

8 Mins read

Semua orang mengakui, Muhammadiyah adalah gerakan Islam terbesar di dunia, dalam hal amal usaha. Tidak ada suatu gerakan Islam, yang memiliki gerakan amal yang mengurus hajat orang banyak, layaknya hajat suatu negara, seperti Muhammadiyah. Mulai dari mendirikan sekolahan bagi bumi putera, untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa membedakan status sosial. Melayani masyarakat yang berada dalam kesengsaraan atau kesakitan yang sekarang menjadi Rumah Sakit yang jumlahnya hampir seribu se-Indonesia. Mendirikan rumah asuh bagi orang lemah, dhuafa, yatim piatu, yang sejatinya, hal tersebut adalah tugas dan tanggungjawab suatu negara.

Muhammadiyah berdiri dari awal bukan berhajat untuk menjadi negara. Muhammadiyah berdiri adalah untuk menjadi alas kebaikan (khair) bagi masyarakat supaya berdiri tegak dan merdeka (ma’ruf), baik secara individu ataupun sosial. Secara tidak langsung, gerakan inilah yang disebut sebagai gerakan amal Muhammadiyah, yang dimulai sejak 33 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik kolonialisme Belanda dan Jepang.

***

Setelah satu abad lebih delapan tahun jumlah amal Muhammadiyah sangat menggemberikan. Menjadi gerakan Islam terbesar dalam amal adalah prestasi abad pertama gerakan Muhammadiyah. Pertanyaan sederhananya adalah, apakah pada abad kedua ini, gerakan amal Muhammadiyah masih sama model dan modusnya dengan abad pertama ?

Secara substansi, sebagaimana tujuan Muhammadiyah dalam QS Ali Imran :104 adalah golongan ummat  (ummatun) yang ditafsirkan sebagai gerakan, yang mengajak kepada kebaikan (yad’uuna ila al khair), memerintah dengan kebaikan (yakmuruuna bi al ma’ruf), dan mencegah datangnya kemungkaran (wayanhauna ‘ani al munkar).

Meminjam pendektan Ilmu Sosial Profetik (ISP) almarhum Kuntowijoyo (Paradigma Islam, 1995) dalam membaca makna Alquran, dengan mensaratkan tiga proses pembacaan, yaitu objektifikasi, emansipasi dan transendensi, maka ayat di atas adalah tahapan bagaimana gerakan Muhammadiyah membangun transformasi sosial masyarakat Indonesia, dari sebelum kemerdekaan sampai sekarang.

Setidaknya ada tiga tahap transformasi gerakan Muhammadiyah tersebut. Pertama, membangun pondasi atau alas kebaikan bersama, yad’uuna ilaa al khair (public goods and common goods). Kedua, memerintah dengan kebaikan atau gerakan amal sholeh, yakmuruuna bi al ma’ruf (quantum amal). Ketiga, mencegah datangnya kemugkaran, yanhauna ‘ani al munkar. Untuk menerjemahkan datangnya kemungkaran, meminjam istilah ilmu ushul fiqh kita gunakan mafhum mukholafah dalam menerjemahkan kalimat mencegah datangnya kemungkaran tersebut dengan istilah membangun Gurita Amal Sholeh (GAS).

Dakwah Khair: Public Goods dan Common Goods

Tulisan ini tidak dalam rangka memperdebatkan istilah public goods atau common goods. Tapi lebih pada menjelaskan objektifiksasi alquran tentang yad’uuna ila al khair. Yaitu mengajak kepada kebaikan. 

Dalam konteks sekarang, untuk mendefinisikan istilah public goods dan common goods, tulisan Lesmana Rian Andhika (2017), Metha-Theory: Kebijakan Barang Publik untuk Kesejehateraan Rakyat, menunjukkan bahwa public goods adalah wilayah negara yang tidak bisa diserahkan kepada swasta karena menyangkut masalah keamanan negara dan sistem keadilan. Sedangkan common goods atau barang semi publik seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan atau panti jompo, transportasi, air bersih, energy, taman hutan, museum, dll. dapat dikelolah oleh swasta. 

Muhammadiyah, sebagai gerakan awal pra-kemerdekaan telah meletakkan dasar-dasar akan kebaikan tersebut. Bukan sebatas pada public goods dan common goods dalam definisi kewenangan negara. Muhammadiyah telah melampaui atau beyond the state itu sendiri. Karena hal itu, Muhammadiyah bukan sekedar pilar bagi Negara Kesatuan Rupublik Indonesia. Muhamadiyah adalah alas dasar, pondasi bagi pilar pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga  Beda itu Tak Masalah, Mari Rayakan Perbedaan Pendapat!

Konteks yad’uuna ila alkhair, dalam gerakan Muhammadiyah adalah proses meletakkan dasar dasar-modern (kemajuan) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya para tokoh dan pimpinan Muhammadiyah yang terlbat aktif dalam menyiapkan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia awal. Mulai dari Bung Karno, Fatmawati, Prof. Kahar Muzakkir, Jenderal Soedirman, Mr. Kasman Singodimedjo, KH. Fachrodin, Ir. Djoeanda Kartawidjaja, Gatot Mangkoepradja, KH. Mas Mansoer, Ki Bagus Hadikoesoema, Buya Hamka, dan lainnya.

Muhammadiyah, dengan demikian,  adalah superstructure ke Indonesiaan. Yang telah menyiapkan manhaj kemajuan dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan. Bersama sama dengan para tokoh yang lain, dalam rangka mendapatkan “konsensus negara modern”, yang berdasarkan Pancasila, Pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Inilah makna terbesar dalam definisi term Alquran yad’uuna ilaa al khair, yaitu membangun mimpi umat, cita-cita tentang kemajuan, masa depan, mengajak masyarakat dan kerja kolaboratif dengan tokoh besar bangsa Indonesia, bersama sama membangun dan memberikan teladan dalam amal sholeh yang berupa  public goods (PG) dan common goods (CG) sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Quantum Amal: Amar Ma’ruf

Tahapan kedua dari gerakan Muhammadiyah yaitu yakmuruuna bi al ma’ruf (memerintah dengan kebaikan bersama). Dalam konteks gerakan ini adalah pelembagaan al-khair (kebaikan), yaitu berupa  pelembagaan amal sholeh secara sistematis dan terencana. Untuk melakuan amal sholeh setiap orang ataupun kelembagaan organisasi dan yayasan bukanlah hal yang sulit untuk dilakuan. Karena amal sholeh adalah organik dari bagian kegiatan orang beriman.

Akan tetapi yakmuruuna bi al ma’ruf di sini bukan sekedar amal sholeh. Makna terbesarnya adalah ada auto obligation dalam membuat masyarakat terlibat dan terpanggil untuk berbuat amal sholeh tersebut. Di mana basis utamanya adalah sistem kelembagaan. Atau biasa kita sebut dengan sistem tata kelola dan administrasi.

Proses pelembagaan amal sholeh yang sistematis ini yang kita sebut dengan “Quantum Amal”. Di mana amal sholeh setiap orang, tertata dengan baik, yang mampu dikelola secara otomatis meskipun telah terjadi pergantian pimpinan atau pengurus.

Quantum amal menuntun dan menuntut suatu amal sholeh tersebut berkembang dan melipatgandakan dirinya sendiri. Tidak akan terpecah belah karena waris atau sengketa hak pengelolaan. Karena telah djaga dari awal, bahwa dasar kelembagaan amal sholeh tersebut bukanlah pribadi dan golongan tertentu berdasarkan darah dan warisan. Akan tetapi cita-cita luhur yang dilembagakan  secara sistematis dan regulatories.

Quantum amal tersebut telah bekerja dalam usia 108 tahun Muhammadiyah dengan melahirkan aset trilyunan rupiah. Berupa belasan ribu sekolah, ratusan rumah sakit dan perguruan tinggi, serta rumah jompo dan panti asuhan. Itulah prestasi terbesar organisasi Islam di dunia.

***

Meskipun demikian, tantangan abad kedua ini tentunya berbeda dengan abad pertama dari gerakan Muhammadiyah. Bilamana di abad pertama gerakan Muhammadiyah dibangun dengan ajakan amal sholeh, dengan berkorban secara pribadi dan keluarga melalui infaq, sedekah dan zakat untuk membangun public goods dan common goods. Maka diperiode abad kedua ini, yang mana Muhammadiyah telah menjadi pilar besar peradaban Islam di Indonesia, masihkan akan bertahan dengan tetap menggunakan skema organik amal sholeh tersebut?

Infaq, sedekah dan zakat adalah skema organik bagi amal sholeh individual. Sebagai bukti dari keimanan seorang muslim. Sedangkan “quantum amal”, adalah metode sistematis atas pelembagaan amal sholeh tadi. Maka dalam konteks abad ke dua gerakan Muhammadiyah ini, selayaknya pendekatan kelembagaan tidak semata mengandalkan skema amal organik semata. Perlu transformasi amal inorganik yang mampu mempercepat proses amal sholeh untuk dirasakan ke seluruh pelosok negeri dan dunia.

Baca Juga  Salafisme dan Liberalisme di Muhammadiyah

Proses amal sholeh inorganik tersebut lah yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus dari gerakan Muhammadiyah di periode abad ke dua ini.  Metodenya bisa bermacam macam. Baik melalui revitalisasi kelembagaan Lazizmu, MDMC, dan lain sebagainya. Konsep dasarnya adalah bagaimana membangun dan melipatgandakan kelembagaan amal sholeh di luar skema organik.

Secara lazim, sebenarnya saat ini metode “quantum amal” Muhammadiyah sudah dijalankan dengan cara kerja sama dengan lembaga keuangan yang sebagian besarnya adalah dengan perbankan. Hanya saja, dalam skema keuangan perbankan, Muhammadiyah dituntut untuk menjaminkan sertifikat sebagai collateral dan equity. Dengan kata lain, Muhammadiyah akan terikat dengan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) perbankan dan juga dibatasi oleh debt equity ratio (DER). Hal ini normatif dan biasa dilakukan oleh sebagaian Amal Usaha Muhammadyah, baik kampus ataupun rumah sakit.

Ada juga sebagian yang mengususlkan dibuat holding dan korporasi bagi Amal Usaha Muhammadiyah. Usulan seperti ini bagus, tapi sejatinya akan menjauhkan dari sisi organik amal usaha itu sendiri.

***

Sebagai jalan tengah, dengan memperhatikan basis organik amal usaha, ‘quantum amal’ di abad kedua ini, bisa dilakukan dua hal. Pertama, dari sisi legal standing. Muhammadiyah berdiri sejak 33 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dalam konteks ini, Muhammadiyah merupakan badan hukum itu sendiri. Muhammadiyah juga badan trustee atau juga bisa disebut dengan trustee fund. Statusnya sangat independen dan tidak hanya bergantung semata kepada regulatory terhadap negara  Muhammadiyah secara hukum tidak bisa disamakan dengan dan atau organisasi lain atau yayasan yang berdiri setelah Indonesia merdeka.

Kedua, dari sisi ekonomi dan keuangan. Kekuatan Amal Usaha Muhammadiyah yang jumlahnya bejibun, dan secara legal semua atas nama Muhammadiyah, merupakan kekuatan ekonomi yang tidak bisa dianggap entheng. Dalam dunia pasar uang, Muhammadiyah bisa bermain di level lebih atas dari pada perbankan. Dan tidak perlu juga melakukan holdingisasi amal usaha. Cukup konsolidasi kelembagaan amal uaha dan keuangan.

Dengan demikian, Muhammadiyah bisa membangun dan saling memperkuat basis amal usaha tersebut ke seluruh pelosok tanah air, tanpa harus menjaminkan asset Muhammadiyah. Meskipun demikian, pendekatan korporasi dan profit harus dimatangkan oleh Muhammadiyah.

Tentunya tidak semua basis Amal Usaha Muhammadiyah tersebut menguntungkan. Sebab dalam dunia dakwah, yang ditekankan adalah amal sholeh dan berkorban. Pada level ini, Muhammadiyah sudah saatnya menggunakan pendekatan konsolidasi amal dalam rangka menggabungkan antara yang profitable dan non-profit.

Quantum amal abad kedua inilah yang sejatinya harus didorong oleh Muhammadiyah, untuk membangun program komprehensif antara yang profit dan nonprofit, antara yang filantropis dan komersial. 

Kekuatan konsolidasi dan menyatukan kekuatan Muhammadiyah sebagai badan trustee dalam dunia pasar keuangan, peluang membangun gerakan Muhammadiyah secara komprehensif lebih bisa diandalkan. Pada level komersial atau profitable Muhammadiyah bisa menggunakan sumber keuangan internasional di mana keuntungannya digunakan untuk dakwah Muhammadiyah ke level yang lebih luas dan dirasakan ke daerah-daerah terpencil. Baik di level Indonesia ataupun internasional.

Bilamana dakwah Muhammadiyah sudah tidak lagi dipusingkan dengan mencari sumber keuangan untuk memperbesar kapasitas amal Muhammadyah, maka inilah yang disebut dengan Gurita Amal Sholeh (GAS).

Baca Juga  Posisi Muhammadiyah, antara Sarekat Islam dan Boedi Oetomo

Gurita Amal Shaleh (GAS): Nahi Munkar

Istilah yanhauna ‘an al munkar (mencegah dari yang munkar) adalah ultimate goal, outcome atau akibat akhir  dari yad’uuna ila al-khair (dakwah atau mengajak kepada kebaikan). Kata munkar lebih menarik jika kita gunakan pendekatan ushul fiqh dari pada pendekatan tafsir.

Dalam pendekatan tafsir, nahi munkar diberi makna yang general, yaitu sesuatu yang dingkari atau tidak diakui bersama, kezaliman, kebatilan, perbuatan merusak yang dampaknya berakibat kepada kemadloratan bersama, dan lain sebagainya.

Substansi istilah ma’ruf dan munkar adalah keterlibatan antar individu atau masyarakat. Bukan perbuatan pribadi dengan Tuhan semata. Tidak juga mengajarkan tentang khalwat atau dalam bahasa sufi biasa disebut dengan suluk. Kata ma’ruf dan munkar ini lebih dekat dengan keberadaan masyarakat, baik yang adil, jujur, santun, amanah, makmur, sejahtera, dan juga kebalikannya. Yaitu kelaparan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kebohongan, penipuan, penderitaan dhuafa dan mustad’zfiin, dan seterusnya.    

Pendekatan ushul dalam memahami yanhauna ‘an al munkar, lebih tepat dengan menggunakan istlah mahfhum al mukhalafah (pemahaman sebaliknya) yaitu untuk mencegah sesuatu yang munkar, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kebohongan, dan sejenisnya, maka diperlukan “Gurita Amal Shaleh” (GAS) yang secara praksis menutup kemungkinan atau peluang kemungkaran tersebut terjadi. 

***

Gurita Amal Shaleh (GAS) dalam konteks dakwah nahi munkar adalah membangun jejaring kekuatan amal sholeh dari ujung ke ujung, dari ranah individual sampai sosial, dari private sampai public, dipenuhi dengan mengalirnya nilai-nilai kebaikan bersama (jamaah). Sehingga peluang bagi individu atau kelompok untuk berbuat munkar dapat dikalahkan dengan jejaring kebaikan tersebut.      

Jejaring kekuatan amal sholeh bisa dimulai dari penguatan komunitas. Misalkan kita mendengar bagaimana tumbunya koperasi karyawan di UMY, dimulai dari membangun gerakan-gerakan Beli UMY. Yaitu gerakan ekonomi komunitas di mana setiap kebutuhan dasar rutin yang biasanya belanja di luar koperasi, dilihkan dengan membeli barang yang ada di koperasi. Begitu juga barang yang ada di koperasi, mengutamakan anggota koperasi untuk mensuplai barang tersebut. Dalam waktu tidak lama, omet dan bagi hasil koperasi tersebut meningkat tajam.

Jejaring kekatan amal sholeh inilah yang saling bertemu dan membentuk kekuatan baru, ber-resonansi dan berjejaring, mempengauhi kebijakan komunitas sampai pemerintahan, yang pada ujungnya bisa disebut dengan Gurita Amal Sholeh (GAS).

Tidak ada yang meragukan kekuatan Amal Usaha Muhammadiyah. Akan tetapi jumlah yang begitu besar, belum membentuk Gurita Amal Shaleh (GAS). Sebagai contoh, tidak ada lembaga swasta atau yayasan yang mengalahkan jumlah Rumah Sakit Muhammadiyah. Dengan jumlah yang begitu besar, sampai hari ini, mulai dari alat kesehatan, farmasi, pengelolaan limbah B3, tidak ada yang disuplai dari amal usaha Muhammadiyah. Karena kampus Fakultas Teknik dan Farmasi Universitas Muhammadiyah belum ada yang concern untuk mem-backup kebutuhan Rumah Sakit Muhammadiyah tersebut. 

Begitu juga dengan panen yang dihasilkan oleh JATAM (Jaringan Tani Muhammadiyah) ataupun petani dalam binaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) belum terkoneksi dengan sistem kebutuhan logistik di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Belum lagi mengelola kita bicarakan keuntungan dari efisiensi dan efektifitas arus menejemen jejaring amal dan GAS tersebut. Saya kira, dengan teknologi yang ada, semua hal di atas bisa dihitung dalam kalkulasi ekonomi, sosial, dan budaya, dan politik sebagai bagian dari wujudnya Gurita Amal Sholeh (GAS). Dan inilah saya kira tantangan abad kedua Muhammadiyah.(*)

Saud El-Hujjaj
4 posts

About author
Perumus Sistem Perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (SPI) Hijau
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *