“Pengorbanan dan kepemimpinannya selama hidupnya tidak sia-sia. Kejujuran, kesederhanaan hidup, tawakal, dan kegigihannya dalam mempertahankan prinsip benar-benar telah menjiwai perjuangan Kemerdekaan kita. Kita kehilangan pemimpin yang berwatak,”
(I.J. Kasimo—tokoh Partai Katolik—menuliskan kesannya sepeninggal Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum terakhir Partai Masyumi)
Itulah kesaksian tulus dari tokoh yang berbeda keyakinan dan sekaligus berbeda kepentingan politik kepada Ketua Umum terakhir Partai Masyumi. Mari sejenak kita membuka kembali simpul-simpul ingatan ke belakang, terutama pada masa-masa awal pembentukan negara Republik Indonesia pada pertengahan 1945.
Perdebatan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dilanjutkan ke forum-forum Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Konstituante. Di forum-forum konstitusional tersebut, perdebatan seringkali sangat sengit—yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh dari masing-masing partai atau golongan.
Dalam sidang-sidang Konstituante (1955-1959) Partai Masyumi paling banyak mendapat perlawanan argumentatif—terkadang diwarnai pula dengan gertakan dan ancaman—dari kelompok Nasionalis. Namun demikian, terdapat suatu fenomena menarik dari perdabatan para tokoh pendiri bangsa.
Gagasan dan pendirian boleh beradu sengit, tapi setelah forum selesai, semuanya menjadi cair. Yang kalah argumentasi tidak lantas mutung, gagal move on. Yang menang debat juga tidak lantas membusungkan dada, berlagak jumawa.
Saling bertegur sapa, tukar menukar cerita, dan menyampaikan salam kepada anggota keluarga sambil “nyruput kopi” menjadi mode diplomasi yang mampu mencairkan suasana pada waktu itu.
Seperti potret keakraban Prawoto Mangkusasmito dengan I.J. Kasimo, bukanlah sekadar keakraban pura-pura, tetapi sangat nyata karena hubungan harmonis tersebut juga terjalin antara dua keluarga dari dua tokoh partai yang berbeda asas dan keyakinan tersebut. Ny. Mudjirah, istri I.J. Kasimo dan Rabingah, istri Prawoto Mangkusasmito begitu akrab sekalipun keduanya berbeda keyakinan.
Keteladanan
Teladan atau mutiara politik dari sosok Prawoto Mangkusasmito sebagai tokoh teras Partai Masyumi tidak hanya dalam perilaku dan sikapnya di forum-forum resmi pemerintahan, tetapi juga ditemukan dalam praktik kehidupan keluarga sehari-hari bersama sang istri dan anak-anaknya.
Keteguhan Prawoto memegang prinsip-prinsip Islam tidak hanya diakui oleh kawan-kawannya, tetapi juga diakui oleh lawan-lawan politiknya. Dalam sidang-sidang Konstituante, Partai Masyumi paling banyak mendapat tekanan dan perlawanan dari kelompok Nasionalis, termasuk dari kelompok non-muslim.
Tetapi keteguhan sikap diiringi dengan prinsip membuka diri terhadap kritik dari luar dalam rangka mencari titik temu penyelesaian masalah. I.J. Kasimo, lawan politik Prawoto, sampai memberikan penilaian positif kepada Ketua Umum Partai Masyumi ini sebagai sosok teguh pendirian dan gigih memperjuangkan prinsip-prinsip yang ia yakini.
Tetapi setelah perdebatan sengit di forum Konstituante, suasana kembali cair di antara para tokoh pendiri bangsa. “Mereka bisa berdebat panas di forum, tapi sesudah itu mereka dapat santai bersama-sama minum kopi seraya mengobrol soal keadaan keluarga masing-masing,” demikian tulis Said Umar Bajasut (2013) ketika menggali ‘ibrah keteladanan berharga dari perilaku para bapak pendiri bangsa.
Sungguh, itu bukanlah keharmonisan pura-pura. Sebab, berdasarkan kesaksian putri Prawoto Mangkusasmito (Sri Sjamsiar), keluarga Kasimo sering silaturrahmi ke rumah Prawoto, begitu juga sebaliknya. Bahkan, ketika Idul Fitri, Kasimo dan istrinya malah sering halal bi halal ke rumah Prawoto Mangkusasmito.
Kesederhanaan hidup Prawoto dan keluarga telah diakui semua kalangan. Tetapi kesederhanaan hidupnya menjadi penopang semangat juang lewat Partai Masyumi. Ia menolak fasilitas partai, bahkan menolak tawaran-tawaran dari perusahaan-perusahaan swasta yang bermaksud mencukupi fasilitas keluarganya.
Karena begitu sibuk mencurahkan seluruh tenaga, pikiran, dan hartanya kepada Partai Masyumi, sampai-sampai tidak terpikirkan oleh Prawoto untuk memiliki rumah sendiri. Menariknya, orang yang memikirkan bagaimana agar Prawoto bisa memiliki rumah sendiri adalah tokoh dari partai lain yang berbeda keyakinan.
I.J. Kasimo yang pertama kali berinisiatif menggalang dana dari para politisi lintas partai. Dana yang terkumpul tersebut kemudian diserahkan kepada Prawoto untuk membeli rumah di Jalan Kertosono No. 4 Jakarta.
Itulah wujud toleransi otentik yang telah dipraktikkan oleh tokoh-tokoh teras partai pada masa awal kemerdekaan. Partai boleh beda, tapi visi kebangsaan tetap sama. Berdebat bisa terjadi secara sengit, malah mungkin sambil adu argumentasi sekaligus ancaman. Namun setelah selesai, forum persahabatan tetap terjalin. Begitu juga agama sudah pasti berbeda-beda, tapi tidak boleh merasa paling benar sendiri sehingga menutup pintu kemanusiaan universal.
Editor: Yusuf
Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI