Mempelajari manusia berarti menelusuri kemanusiaan, menjaungkau naluri esensial manusia dengan “jangkar” kalbunya, dan melihat secara bening kedirian manusia dalam percaturan dunia di runga publik yang makrokosmos dan kesejatiannya dalam lorong privasi yang mikrokosmos. Lalu bagaimanakah psikologi Islami yang menggambarkan karakter autentik manusia?
Kecerdasan “perantauan” intelektual manusia terkadang tidak berbanding lurus dengan ketercerahan spiritual, sehingga terjadi “kenestapaan” emosional dalam ranah sosial-kemanusiaan.
Gejala psikologis pada banyak manusia adalah split of personality (kepribadian yang retak); antara idealisme dan realisme; antara cita dan fakta; antara individualisme dan sosialisme.
Doktrin, dogma, dan ritus agama terkadang belum mampu sepenuhnya memberikan pencerahan pada kalbu. Kitab Suci terkadang hanya menjadi “referensi” sang penyeru kebenaran agama dalam memberi fatwa lewat ceramah dan khotbah di dunia maya dan dunia nyata.
Kehadirat agama-agama, termasuk Islam, tentu harus mencari opsi dan solusi terhadap realitas penyakit psikologis dan sosiologis yang ada di zaman modern saat ini.
Wacana psikologi Islami paling tidak bisa menjadi terapi terhadap umat manusia dalam mengobati penyakit psikologi dan sosiologi dirinya. Walaupun psikologi merupakan perkembangan ilmu dari Barat, namun bisa menjadi “pengilmuan” bagi dunia Timur dalam mengembangkannya kepada arah yang ilmiah, sehingga menjadi solusi problematika kemanusiaan era globalisasi.
Kalau psikologi Islami dipahami sebagai ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Al-Hadits), yang dibangun dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah.
Psikologi Islami: Karakter Autentik Manusia dalam Al-Qur’an
Melihat karakter autentik manusia dalam konsep Al-Qur’an, tentu harus diketahui apa-apa saja yang menjadi ciri-ciri manusia yang dihadirkan Tuhan ke bumi-Nya.
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso dalam buku Psikologi Islami, konsep psikologi Islami tentang ciri-ciri manusia adalah: manusia mempunyai raga yang sebagus-bagus bentuk, baik secara fitrah, mempunyai ruh, mempunyai kebebasan berkehendak, dan mempunyai akal (Ancok dan Suroso, 1995: 157).
Dari penjelasan di atas, apabila ditelusuri dalam Al-Qur’an, maka ada enam ciri-ciri manusia, antara lain:
Mempunyai Bentuk Sebaik-baiknya
Manusia mempunyai raga dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Seperti ‘sinyal’ Langit yang menjelaskan, bahwa:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin {95}: 4)
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu.” (QS. Al-Taghabun {64}: 3)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl {16}: 78)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan {76}: 2)
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insan {76}: 3)
Jadi, Allah telah menciptakan manusia mempunyai raga dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Walaupun semua manusia diberi ciri yang sama berupa bentuk yang bagus. Namun sering manusia melakukan pengingkaran terhadap apa yang diciptakan Allah kepadanya. Sikap pengingkaran itulah disebut dengan kurang rasa syukur terhadap nikmat hasil penciptaan Allah atas dirinya. Maka muncullah karakter minus, seperti: sombong, ingkar, zalim, durhaka, dan sejenisnya.
Awalnya, Semua Manusia Itu Baik
Manusia itu baik dari segi fitrah (hati) sejak semula. Sebagaimana pesan Langit Ilahiah yang menjelaskan: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raf {7}: 172)
Pada esensinya, tidak ada manusia yang bisa menyangkal bahwa sejak di alam rahim adalah sebagai “manusia-tauhid”. Perjanjian primodialisme di alam Rahim merupakan wujud kesaksian manusia-tauhid yang diberi fitrah, suci, sublim, dan benar: autentik.
Nilai keautentikan diri manusia yang suci, fitrah, sublim, dan benar, berkurang sejak dia terlahir dan memproses diri di alam fana ini. Namun, sepanjang hidupnya, manusia senantiasa ingin kembali dan selalu berada dalam fitrah, suci, sublim dan benar.
Kehidupan Manusia Tergantung Ruh-nya
Kehidupan manusia tergantung pada wujud ruh dalam badannya. Ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya:“Setelah Aku membentuknya dan menghembuskan padanya ruh-Ku, maka sujudlah kamu (makhluk-makhluk lain) kepada-Nya.” (QS. Al-Hijr {15}: 29)
Antara badan dan ruh itu adalah menyatu dalam diri manusia. Adanya pancaran ruh dan Maha Ruh itulah “wadah” berupa badan memiliki fungsi dan gerak. Dari fungsi dan gerak badan menjadikan manusia melakukan tingkah laku yang memunculkan karakter.
Interaksi ruh dan badan dalam laku hidup menjadikan manusia berkarakter baik maupun buruk. Bagaimana sistem kerjanya tentu perlu pengkajian lebih lanjut baik dari psikologi Barat maupun Timur. Karena ilmu tentang ruh terus menjadi misteri sepanjang hidup manusia. Sebagaimana ‘sinyal’ Langit menyampaikan:“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra {17}: 85)
Manusia Bebas Memilih
Manusia bebas memilih tingkah lakunya, berbuat baik maupun buruk. Seperti pesan Langit yang menyampaikan:“Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, maka hendaklah percaya siapa yang mau, dan menolak siapa yang mau.” (QS. Al-Kahf {18}: 29)
Manusia diberi kebebasan kemauan atau kebebasan berkehendak, Kitab Suci dan risalah para Rasul menjadi “referensi” manusia dalam mengarungi hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dari kebebasan kemauan dan kebebasan berkehendak membuat manusia berusaha dalam menentukan “identitas” dirinya di jagad raya ini. Perjuangan menentukan “identitas” itulah manusia melakukan internalisasi, aktualisasi, dan transpormasi karakternya, baik yang karakter yang plus maupun minus.
Manudia Memiliki Akal
Manusia diberi daya berpikir (akal) yang terdapat dalam dirinya. Sebagaimana firman Allah menjelaskan:“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama segala benda, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, seraya berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kalian memang benar!” mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain daripada apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh! Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda itu.” Setelah Adam memberitahu nama-nama benda itu kepada mereka, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” QS. Al-Baqarah {2}: 31-32)
Akal dalam Islam bukan diartikan dengan otak, akal merupakan sumber daya pikiran yang diberikan Allah pada semua manusia. Dari sumber daya pikiran itulah yang mentstimulus manusia untuk menentukan pilihan dan sikap hidupnya. Dari hal itulah memunculkan karakter yang hadir secara alamiah tanpa rekayasa, sebab karakter hadir dengan spontan dan reflektif dari proses berpikir dalam pikiran sadar manusia.
Memiliki Nafsu
Manusia memiliki nafsu yang memberikan dorongan dan gejolak terhadap sesuatu. Seperti ‘sinyal’ Langit Ilahiah yang menyatakan: “Terangkanlah kepada mereka tentang orang yang menjadikan nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami. Mereka itu tak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan {25}: 43-44)
Sebagaimana hati, akal, dan ruh, nafsu juga merupakan potensi dasar semua manusia yang memiliki peran penting dalam menentukan “sepak-terjang” karakternya selama hidup di dunia.
Esensi Manusia dan Kemanusiaan dalam Al-Qur’an
Ciri-ciri manusia yang merupakan karakter autentiknya, yang menjadi potensi dasarnya semua manusia adalah sama. Namun, dibandingkan dengan makhluk lainnya di alam semesta ini, tentu manusia memiliki keunggulan, yang keunggulan itu membedakannya dengan makhluk Allah yang lainnya.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, dalam Corak Filosofis Psikologi yang Islami. (Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4 Volume III Tahun 1992), bahwa esensi manusia dalam Al-Qur’an berdasarkan riwayat Nabi Adam a.s, yaitu: (1) Manusia mempunyai derajat sangat tinggi sebagai khalifah Allah, (2) Manusia tidak menanggung dosa asal atau dosa turunan, (3) Manusia merupakan kesatuan empat dimensi: fisik-biologi, mental-psikis, sosio-kultural, dan spiritual, (4) Dimensi spiritual (Ruhani, Ruh-Ku) memungkinkan manusia mengada hubungan dan mengenal Tuhan melalui cara-cara yang diajarlan-Nya, (5) Manusia memiliki kebebasan berkehendak (freedom of will) yang memungkinkan manusia untuk secara sadar mengarahkan dirinya ke arah keluhuran atau ke arah kesesatan, (6) Manusia memiliki akal sebagai kemampuan khusus dan dengan akalnya itu mengembangkan ilmu (dan teknologi) serta peradaban, (7) Manusia tak dibiarkan hidup tanpa bimbingan dan petunjuk-Nya.
Apabila manusia menyadari esensi kemanusiaanya sebagaimana dijelaskan di atas, tentu sangat pantas Allah menjadikan makhluk manusia sebagai “mandatasi”-Nya di bumi ini. Potensi akal, hati, ruh, dan nafsu menjadikan dunia ini ramai dengan segala karakter manusia dalam mengarungi hidup, dalam memperlakukan alam, serta dalam membangun relasi dengan makhluk Allah lainnya di jagad raya ini.
***
Maka ada “rambu-rabu” ‘sinyal’ Langit yang mesti diperhatikan dalam mendayagunakan potensi dasar hingga bisa menjadi esensi manusia yang unggul dibandingkan dengan makhluk yang lain, yakni: memahami petunjuk Ilahi, seperti:
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” QS. Al-A’raf {7}: 178)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi nereka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” QS. Al-A’raf {7}: 179)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan surge yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat {41}: 30)
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka {57}Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka {58}Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Tuhan mereka (sesuatu apa pun) {59} Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka {60} mereka bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang –orang yang segera memperolehnya{61}.” (QS. Al-Mu’minun {23}: 57-61)
Al-Qur’an sebagai “Peta” Petunjuk Jalan Kebenaran
Dari memahami karakter autentik manusia, esensi manusia, dan kemanusiaan, maka Al-Qur’an bukan menjadi Kitab Suci yang hanya di pajang di almari saja. Akan tetapi, Al-Qur’an merupakan “referensi yang berjalan” menjadi penuntun dan petunjuk manusia dalam hidup dan matinya.
Al-Qur’an merupakan “Peta” petunjuk manusia menuju jalan Kebenaran. Abdul Munir Mulkhan mengistilahkan sebagai “manusia Al-Qur’an”; dimana Al-Qur’an tidak cukup hanya sekedar di baca atau di hapal saja. Namun Al-Qur’an harus menjadi identitas diri semua hamba Allah di bumi. “Manusia Al-Qur’an” hidupnya senantiasa berbanding lurus dengan nilai-nilai Kebenaran. Maka wajar Aisyah menyatakan akhlak Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an: Akhlak Qur’ani.
Jadi, ayat-ayat Qur’an merupakan ‘sinyal’ Langit yang senantiasa mengingatkan manusia ke jalan Kebenaran hingga manusia semakin dekat kepada-Nya: berkarakter takwa!
Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS Al-Insan {76}: 29)
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Insan {76}: 30)
Editor: Nabhan