Dalam keyakinan kaum Yahudi, putra Ibrahim yang dikurbankan adalah Ishaq. Dan peristiwa penyembelihan terjadi di Palestina. Ini jelas berbeda dengan keyakinan umat Islam karena putra Nabi Ibrahim yang dikurbankan adalah Ismail dan peristiwa penyembelihan terjadi di bukit Mina. Jika perang narasi historis ini sekedar propaganda politik di sosial media, tentu para netizen dari kalangan muslim akan mudah meng-counter-nya. Tetapi perang narasi historis ini bersumber dari kitab suci yang berbeda sehingga kontennya diyakini sebagai kebenaran suci pula.
Perang Narasi Historis
Narasi historis kehidupan Nabi Ibrahim bersama Siti Sarah dan Siti Hajar yang kemudian melahirkan putra pertama, Ismail, memang berbeda antara keyakinan bangsa Yahudi dengan umat Islam. Berdasarkan sumber Muhammad Husain Haekal, dalam buku Sejarah Hidup Muhammad, para rahib di kalangan kaum Yahudi bersikukuh bahwa putra Nabi Ibrahim yang pertama bukan Ismail, tetapi Ishaq. Dalam keyakinan kaum Yahudi, putra Nabi Ibrahim yang dikurbankan adalah Ishaq, dari istrinya yang bernama Siti Sarah.
Sebagai konsekuensi dari keyakinan atas narasi historis tersebut, menurut keyakinan kaum Yahudi, maka peristiwa penyembelihan bukan terjadi di Mina—sebuah kawasan perbukitan yang terletak 6 mil di sebelah timur kota Makkah, tetapi sayang sumber-sumber biblikal tidak menyebut secara eksplisit tempat kejadian tersebut. Jika benar yang dikurbankan adalah Ishaq putra Siti Sarah, maka besar kemungkinan kejadian tersebut di Hebron (Palestina).
Apa yang membuat para rahib Yahudi yakin bahwa sosok Ishaq yang dikurbankan, bukan Ismail sebagaimana keyakinan umat Islam, tidak lebih dari gaya sikap dan perilaku Nabi Ibrahim yang konon lebih dekat secara emosional dengan Ishaq. Setidak-tidaknya, inilah alasan yang menurut keterangan Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah Yahudi dan Zionisme (2006), sebagai dasar penetapan keyakinan mereka atas peristiwa pengurbanan sakral tersebut. Sederhananya, Nabi Ibrahim jauh lebih menyayangi Ishaq ketimbang Ismail.
Baik Muhammad Husain Haekal maupun Ahmad Syalabi telah membantah data dan argumen historis peristiwa penyembelihan sakral tersebut. Penelitian terbaru tentang biografi Nabi Ibrahim dilakukan oleh Jerald F. Dirks yang diterbitkan dengan judul, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan (2006), juga menguatkan sanggahan atas data dan argumen historis para rahib Yahudi.
Apa yang menarik dan mungkin luput dari kajian dan analisis para sejarawan adalah tentang situasi kehidupan rumah tangga Nabi Ibrahim, Siti Sarah, dan Siti Hajar selama di Hebron—tepatnya ketika Siti Hajar mengandung putra Nabi Ibrahim yang kelak diberi nama Ismail. Usia Sarah pada waktu itu sudah uzur yang dinilai sulit untuk memiliki anak. Padahal, pasangan Nabi Ibrahim dan Siti Sarah telah lama mengharapkan kehadiran anak dalam keluarga mereka. Ketika kehadiran anak pertama dalam keluarga justru dari Siti Hajar—hamba sahaya hadiah dari Firaun—bukan dari Siti Sarah, maka gejolak psikologis yang mewarnai pertengkaran hebat antara mereka tidak dapat dipungkiri lagi.
Konflik Siti Sarah dan Siti Hajar
Sumber-sumber penelitian Jerald F. Dirks cukup kredibel untuk mengungkap alasan kenapa terjadi konflik keluarga antara Siti Sarah dengan Siti Hajar. Meskipun Siti Sarah yang menyarankan kepada Nabi Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar—dengan tujuan mendapatkan keturunan darinya—tetapi konsekuensi logis dari tradisi perkawinan poligami adalah ketidakmampuan seorang suami untuk bersikap adil kepada istri-istrinya. Dalam syariat samawi, khususnya agama Islam, menghalalkan perkawinan poligami, tetapi dalam pelaksanaannya justru terasa berat.
Tampaknya, skenario tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan sebelumnya. Perkawinan Ibrahim dengan Hajar bukannya menambah keharmonisan, tetapi membuat rumah tangga Nabi Ibrahim dan Siti Sarah di ambang keretakan. Konon, karena dilandasi atas rasa cemburu, Sarah mengusir Hajar dari tempat tinggal mereka bertiga.
Rumah tangga Ibrahim betul-betul di ambang keretakan. Sarah, istri pertama Ibrahim yang sangat setia menemani selama perjuangannya, tidak dapat menahan cemburu. Tetapi, pada akhirnya, Sarah sadar akan sikapnya terhadap Hajar. Dia pun berusaha memperbaiki sikapnya terhadap budak perempuannya itu.
Hingga pada suatu ketika, Siti Hajar hamil. Kondisi inilah yang kemudian memicu kembali kecemburuan Sarah. Apalagi, usia Sarah makin uzur. Ditambah lagi dia tidak dikaruniai anak. Sewaktu Hajar melahirkan putranya, Ismail, justru Sarah mengusirnya. Untuk menjaga keutuhan rumah tangga Nabi Ibrahim yang telah dibangun selama bertahun-tahun dengan Sarah, akhirnya Hajar dibawa pergi menjauh dari Hebron. Siti Sarah sendiri akhirnya diliputi rasa cemburu karena Nabi Ibrahim dinilai terlalu berat sebelah dalam mencurahkan kasih sayang kepada Hajar, apalagi istri keduanya ini telah memberikan seorang anak yang lucu (Nurcholish Madjid, 2002: 57).
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar, istri keduanya, dan Ismail, putra satu-satunya, di sebuah kawasan tandus di lembah Bakkah (Makkah). Pasca percekcokan antara Sarah dan Hajar yang disebabkan oleh rasa cemburu yang meluap-luap, akhirnya Ibrahim memutuskan untuk membawa Hajar dan Ismail ke suatu tempat yang jauh. Dari Hebron (Palestina), Ibrahim mengajak Hajar bersama Ismail berjalan ke arah tenggara, melewati padang tandus dan semi tandus menempuh Rute Wewangian (Incense Route)—jalur purba yang biasa digunakan oleh para kafilah dagang (Jerald F. Dirks, 2006: 127).
Di lembah Bakkah, Nabi Ibrahim yang diliputi perasaan emosional, antara takut dan cemas bercampur aduk manakala dia dihadapkan pada keputusan harus meninggalkan Ismail yang masih kecil, seraya berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS Ibrahim: 37).
Sekitar 11 tahun kemudian, lembah Bakkah sudah berubah menjadi pemukiman penduduk yang ramai. Kedatangan kaum Yorhamit (Bani Jurhum) telah meramaikan kawasan ini. Ketika Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail, kawasan ini masih gersang dan tidak berpenghuni. Setelah Hajar menemukan mata air Zam-zam, kawasan ini banyak didatangi kaum Yorhamit. Mereka adalah bangsa nomaden dari Yaman yang memohon izin kepada Hajar, pemilik mata air Zam-zam, untuk menetap di kawasan ini. Tumbuhlah pemukiman penduduk baru. Mereka mulai bercocok tanam karena mendapat surplus pengairan dari mata air Zam-zam.
Kurang lebih selama 11 tahun Ibrahim telah meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah Bakkah. Kerinduan seorang ayah kepada putranya tidak dapat tertahan setelah 11 tahun berpisah. Dalam usia 99 tahun, Nabi Ibrahim memutuskan untuk berkunjung ke Makkah, menemui Ismail, putra satu-satunya, dan Siti Hajar, istri keduanya yang telah memberikan kebahagian tiada tara. Akan tetapi, pertemuan yang mengharukan antara sang ayah dengan putranya tersebut justru dibayang-bayangi kengerian lewat sebuah mimpi. Pada suatu malam, Ibrahim yang baru saja bertemu dengan Ismail, mendapat ujian berat untuk mengurbankan putra satu-satunya. Ismail baru saja berumur sekitar 13 tahun, ketika Ibrahim menyampaikan pesan Tuhan dalam mimpinya. Sang ayah hampir saja tidak percaya mendengar jawaban sang anak yang sangat tunduk pada perintah Tuhan (QS. Ash-Shaffat: 102).
Pesan lewat mimpi yang menyeramkan ini betul-betul menjadi ujian terberat yang harus ditanggung Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Tetapi, ketiga hamba Tuhan ini adalah manusia-manusia pilihan yang telah teruji kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan perintah. Bahkan, Iblis pun tidak sanggup menggoda ketiganya.
Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haikal mengisahkan bahwa Iblis telah menjelma menjadi seorang laki-laki Arab menemui Siti Hajar seraya menghasut, “Tahukah engkau kemana Ibrahim membawa anakmu?” Jawab Hajar, “Ia pergi mencari kayu dari lereng bukit itu!” Iblis menimpali, “Tidak! Ia pergi akan menyembelihnya!” Hajar kembali menjawab, “Ia mendakwakan bahwa Tuhan yang perintahkan itu!” Iblis pun kalah, tak mampu mempengaruhi keteguhan hati Hajar.
Iblis masih terus berusaha menggagalkan rencana pengurbanan Ismail. Kepada Ismail, Iblis menjelma sebagai seorang laki-laki Arab dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang pernah disampaikan kepada Hajar. Namun, pertanyaan-pertanyaan hasutan dari Iblis dijawab oleh Ismail sama seperti jawaban ibunya. Begitu juga kepada Ibrahim, dalam perjalanan menuju bukit Mina, Iblis berusaha menggagalkan rencana pengurbanan tersebut. Tetapi, Ibrahim justru malah mengabaikannya, bahkan ia melaknatinya.
Peristiwa di Bukit Mina
Nabi Ibrahim dan Ismail bergegas menuju bukit Mina untuk menunaikan perintah Tuhan. Menurut Jerald F. Dirks (2006: 151), selama dalam tengah perjalanan menuju bukit, Ibrahim mengumpulkan beberapa potong kayu yang akan digunakan untuk membakar tubuh Ismail setelah disembelih. Sungguh suatu pemandangan yang sangat mengharukan, karena justru Ismail menawarkan diri untuk membantu ayahnya membawa potongan-potongan kayu yang akan digunakan untuk membakar jasadnya. Potongan-potongan kayu diikat lalu dipanggul Ismail di punggungnya. Ismail melakukannya dengan sadar.
Sampai di puncak bukit Mina, Nabi Ibrahim mempersiapkan upacara pengurbanan tersebut. Ismail pun turut membantu sang ayah membuat sebuah altar dan menyalakan api untuk membakar dirinya. Keduanya tetap kokoh pada pendirian bahwa apa yang mereka lakukan adalah perintah Tuhan. Tidak terbersit sedikit pun dalam hati kedua manusia terpilih ini dalam menjalankan perintah Tuhan.
Tibalah saatnya menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim menggenggam pisau tajam untuk menyembelih putra kesayangannya. Sambil berbaring, Ismail menempelkan wajah dan dahinya di atas altar. Sampai pada saat pisau diayunkan ke arah tengkuk Ismail, keyakinan Nabi Ibrahim tetap kokoh. Tuhan pun menyatakan bahwa nabi-Nya telah lulus ujian sebagai bukti kepatuhan dan ketaatannya. Sebelum mata pisau menyentuh tengkuk Ismail, tangan Ibrahim terhenti di udara, bersamaan dengan datangnya seruan dari langit, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu! Sesungguhnya, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (QS. Ash-Shaffat: 104-107).
Mendengar seruan dari langit, Ibrahim mengamati di sekelilingnya dengan air mata kebahagiaan tiada tara. Dia melihat seekor domba yang tersangkut tanduknya di semak-semak. Setelah melepaskan domba itu, Ibrahim meletakkan di atas altar sebagai kurban. Peristiwa pada malam di bukit Mina ini menjadi sejarah sakral yang diabadikan dalam agama Islam sebagai ritual kurban pada hari raya haji.
Bantahan untuk Kaum Yahudi
Sebagaimana keterangan Muhammad Husain Haekal, sikap para rahib di kalangan kaum Yahudi yang bersikukuh bahwa putra Nabi Ibrahim yang pertama bukan Ismail, tetapi Ishaq, menjadi narasi historis yang diyakini kebenarannya hingga saat ini. Berdasarkan keyakinan kaum Yahudi, putra Nabi Ibrahim yang dikurbankan adalah sosok Ishaq—yang secara historis adalah putra Nabi Ibrahim dari istrinya yang bernama Sarah yang lahir setelah Ismail. Dengan narasi historis semacam ini, dapatlah diketahui bahwa dalam keyakinan kaum Yahudi, peristiwa penyembelihan suci itu bukan terjadi di bukit Mina.
Abdul Wahhab An-Najjar, dalam buku Qishash Al-Anbiya, berhasil membantah pendapat para rahib Yahudi berdasarkan argumentasi yang bersumber dari Taurat. Menurut An-Najjar, dalam Taurat disebutkan bahwa yang disembelih adalah putra Ibrahim satu-satunya. Penelitian Jerald F. Dirks (2006) berhasil mengungkap kesalahan pendapat para rahib Yahudi, bahwa sesungguhnya yang dikurbankan adalah Ismail, bukan Ishaq. Sebab, Ismail adalah putra Ibrahim yang pertama dari istri keduanya yang bernama Hajar. Sarah, istri pertama Ibrahim, belum juga hamil sewaktu Hajar melahirkan Ismail. Justru, Sarah hamil dalam usia sangat tua.
Masih menurut An-Najjar, kisah tentang penyembelihan anak tersebut, sebagaimana versi Taurat, terjadi di atas bukit Jeru-El. Secara bahasa, kata Jeru-El (Ibrani) berarti “Tuhan akan menyediakan.” Jeru-El inilah yang kemudian dikenal dengan bukit Mina. Para sejarawan, baik dari kalangan Yahudi maupun kaum Muslimin, telah sepakat bahwa Jeru-El adalah bukit Mina, yang letaknya sekitar 6 mil di sebelah timur kota Makkah. Dengan demikian, jelaslah bahwa kisah penyembelihan putra Nabi Ibrahim hanya berlaku untuk Ismail. Bukankah Sarah dan Ishaq tidak pernah ke Makkah? Jika para rahib Yahudi masih bersikukuh bahwa Ishaq adalah putra Nabi Ibrahim yang disembelih di bukit Jeru-El, maka itu suatu kebohongan besar!
Editor: Soleh