Rekomendasi Jakarta 1438/2017 – “????? ??????????? ??????? 2017 ??? ???? ?????????? ????????? ????????? ???/???? ?????????????, ????? ????? ??????? ????????? ???????? ???? ????? ??? ?????????? ????? ???????? ???????? ????? 2016 ?????? ????????? ?????????? ??????? ???????? ???????? ??????? 6.4 ??????? ??? ?????? ??????? 3 ??????? ?????? ?????? ??????? ????? ???? ????????”
(Sumber: Rekomendasi Jakarta 1438/2017)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa kehadiran Rekomendasi Jakarta 1438/2017 merupakan perbaikan sekaligus penyempurna hasil kongres di Istanbul Turki 1437/2016. Khususnya terkait kriteria. Dengan kata lain, yang diperbaiki hanya persoalan kriteria semata, semula ?????????? ????? ? ??????? ??? ???????? ? ??????? ?????? ???? diubah menjadi ?????????? ????? ? ??????? ??? ???????? ?.? ??????? ?????? ?????? ??????? ????? ???? ????????. Sementara itu, konsep kalender Islam global tetap mengikuti keputusan Turki 1437/2016.
Dalam praktiknya, hanya fokus pada perubahan kriteria, sedangkan konsep KIG Turki belum diikuti. Hal ini menunjukkan konsep KIG hasil konferensi Turki dan Rekomendasi Jakarta perlu didialogkan plus-minus masing-masing teori didukung data yang memadai sehingga dapat dipetakan aspek kemaslahatan dan kemadaratan dalam mengimplementasikannya.
Seringkali argumentasi yang dikembangkan untuk menolak KIG adalah penyatuan bersifat global mustahil diwujudkan bila persoalan nasional belum terselesaikan dan perlu tahapan menuju KIG.
Dikembangkannya Rekomendasi Jakarta 1438/2017
Sebetulnya, kriteria yang dikembangkan Rekomendasi Jakarta 1438/2017 lebih sesuai kondisi visibilitas hilal masa kini. Sayangnya, tidak memiliki bangunan epistemologi yang kokoh dikarenakan hanya berdasarkan simulasi selama 180 tahun tanpa didukung hasil observasi mandiri dan autentik.
Terbukti dalam penentuan awal Safar 1443/2021 meskipun secara teori sudah memenuhi kriteria Rekomendasi Jakarta namun dalam praktiknya belum bisa menyatukan.
Dalam perspektif historis kehadiran Rekomendasi Jakarta 1438/2017 lebih “didominasi” kerja individual dibandingkan hasil kerja kolektif-kolaboratif. Keterlibatan ormas dalam proses mendiskusikannya belum maksimal.
Tak dapat dimungkiri, rentang waktu sejak wacana tersebut digulirkan sampai sekarang memang sudah lama. Namun, perlu disadari bersama kerja yang sistematis dan terarah tidak sebanding yang dilakukan oleh tim Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Meskipun tim hanya bekerja dalam rentang waktu 2 tahun tapi berhasil merumuskan KHI, kemudian dijadikan pedoman para hakim di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.
Keberhasilan tim KHI tidak lepas melalui mekanisme yang jelas dan terarah dengan melibatkan semua komponen baik akademisi maupun praktisi, khususnya 14 IAIN di seluruh Indonesia.
Berbeda dengan mekanisme dan pola kerja tim Rekomendasi Jakarta 1438/2017 bermula dari gagasan yang muncul dalam orasi ilmiah pada tahun 1432/2011.
Dalam perjalanannya, Muhammadiyah hingga hari ini secara organisasi belum terlibat dalam pengkajian Rekomendasi Jakarta 1438/2017.
Begitu pula Nahdlatul Ulama juga belum menerima. Bahkan salah seorang tokoh senior NU mengkritik kriteria yang dikembangkan RJ 1438/2017 karena tidak didukung pengalaman observasi secara mandiri.
Belum Ditemukan Satu Suara
Selain kritik dari luar, tim perumus nampak belum satu suara dan yakin RJ 1438/2017 sebagai panacea untuk menyelesaikan persoalan hisab dan rukyat di Indonesia.
Setelah tiga tahun berlangsung belum memperoleh respons yang maksimal dari berbagai ormas Islam di Indonesia, salah seorang anggota tim perumus dengan mengatasnamakan lembaga yang dipimpinnya berikhtiar berkirim surat kepada Menteri Agama, Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, dan berbagai ormas Islam lainnya.
Niat yang mulia ini perlu diapresiasi namun langkah yang ditempuh kurang sesuai tugas dan fungsi lembaga yang dipimpinnya.
Akan lebih baik lembaga negara ini menghasilkan riset yang komprehensif tentang anggitan hilal perspektif sains secara empiris untuk disampaikan kepada tim unifikasi kalender Islam yang dibentuk oleh Kementerian Agama RI sebagai data untuk dikaji bersama dibandingkan melakukan tindakan melebihi tupoksi yang diberikan.
Untuk itu agar upaya penyatuan kalender Islam berhasil semangat yang perlu dikembangkan adalah “kolaborasi bukan kompetisi, collaboration not competition” (meminjam istilah Nidhal Guessoum).
Semua pihak perlu menyadari Indonesia negara muslim terbesar di dunia memiliki keunikan dan modal besar berupa sikap gotong royong. Modal besar ini perlu dirawat bersama dengan saling memahami dan menumbuhkan berpikir positif antar sesama muslim dan warga negara lainnya.
Strategi Penyatuan Kalender Islam
Salah satu peristiwa yang bisa dijadikan pola sekaligus strategi penyatuan kalender Islam adalah pertemuan “Silaturahmi Pakar Falak Nahdlatul Ulama-Muhammadiyah” di Hotel Santika Bangka Tengah Pangkal Pinang pada tanggal 14-15 Zulhijah 1436/ 28-29 September 2015.
Pertemuan ini atas inisiatif Muhammadiyah dan NU dan dihadiri para tokoh kedua belah pihak dengan jumlah terbatas. Dialog berjalan sangat baik dan mengalir tanpa beban. Masing-masing menyadari perlu ada titik temu yang dapat disepakati bersama. Inilah pertemuan yang sangat indah penuh kebersamaan disertai canda dan paling cair dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya dan sesudahnya.
Akhirnya apapun pilihannya tidak ada masalah tergantung ????? ???????? melalui musyawarah-mufakat dan kekuatan konsep yang dikembangkan. Jangan sampai kesannya global tetapi substansinya lokal atau regional. Di sinilah dilema yang dihadapi RJ 1438/2017 yang hingga hari ini belum ada bentuk operasional yang dapat dijadikan rujukan bersama.
Pada pertemuan Pakar Falak MABIMS di Yogyakarta 1440/2019 yang direkomendasikan adalah Neo-Visibilitas Hilal MABIMS bukan RJ 1438/2017. Tak kalah penting jangan sampai kehadiran dan implementasinya justeru menimbulkan problem baru dan perbedaan semakin banyak terjadi dalam memulai awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. ?? ?????? ?’??? ?? ??-?????.
Editor: Yahya FR