Perspektif

Sebenarnya, Siapakah Musuh Islam itu?

3 Mins read

Beberapa minggu yang lalu, saat jum’atan, sang khatib di masjid tempat penulis salat menyatakan bahwa, menurutnya, saat ini umat Islam sedang dijauhkan dari masjid oleh musuh-musuh Islam sehingga umat Islam harus lebih menguatkan iman.

Cukup banyak pendakwah Islam yang menggembor-gemborkan kalimat “musuh Islam” dan berhasil menarik banyak simpati umat. Melihat fenomena ini, menurut penulis, ada dua hal yang patut dipertanyakan. Pertama, apakah Islam benar-benar punya musuh? Kedua, jika ada, siapa musuh Islam tersebut?

Apakah Islam Punya Musuh?

Klaim Islam sebagai agama yang mendeklarasikan dirinya sebagai rahmat bagi seluruh alam, membuat penulis bertanya-tanya: Apakah Islam benar-benar punya musuh yang mutlak? Apakah Islam diturunkan pada manusia hanya demi memusnahkan musuh-musuh tersebut? Apakah memusnahkan musuh-musuh tersebut membuat Islam sukses melaksanakan misinya menjadi rahmat bagi seluruh alam?

Mengenai ini, penulis merasa bahwa penjelasan Habib Ali al-Jufri merupakan salah satu penjelasan yang bijak. Dalam tulisannya, Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan, Habib Ali al-Jufri menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Saw ditanya pesan apa yang beliau bawa dari Allah, beliau menjawab, “Menjunjung ikatan kekeluargaan, mencegah pertumpahan darah, menjadikan jalan-jalan aman, menghancurkan berhala, dan menyembah hanya Allah tanpa menyekutukannya dengan yang lain.”

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sebelum memahami dan meyakini keesaan Tuhan, misi Islam yang pertama adalah mewujudkan keamanan dengan cara memelihara ikatan kekeluargaan, mencegah pertumpahan darah, dan menjadikan jalan-jalan aman.

Menurut Habib Ali al-Jufri, keberagamaan harus berpusat pada hati dan menghilangkan berhala (hal-hal selain Allah) terutama seperti ego, keakuan, keserakahan, kesombongan, dan sebagainya, sehingga rasa kemanusiaan bisa hidup.

Dari penjelasan ini, terlihat bahwa tujuan Islam diturunkan adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam berdasarkan kepercayaan pada Tuhan, bukan justru menjadikan kepercayaan pada Tuhan sebagai alat untuk melaknat sekitarnya. Menjadi rahmat berarti merangkul semua. Merangkul semua tidak mungkin bisa dilakukan bila semua hal selain dirinya yang tidak beridentitas Islam, dianggap sebagai musuh yang mutlak.

Baca Juga  Masa Depan Suram Demokrasi Jokowi

Jadi, bagi penulis, berdasarkan penjelasan Habib Ali al-Jufri tersebut, Islam tidaklah diturunkan demi memusnahkan “musuh-musuhnya” yang tidak beridentitas Islam. Selain Habib Ali, Paus Franciscus juga pernah menyatakan bahwa orang yang beriman pada Tuhan hanya mempunyai satu musuh yaitu permusuhan itu sendiri yang bisa muncul dari dalam dirinya, bukan dari luar dirinya.

Siapa Musuh Islam?

Pernyataan sang khatib perlu dihadapkan dengan dua pertanyaan. Pertama, mengapa dirinya, seperti sebagian orang Islam lainnya, selalu bersikap playing victim atau merasa bahwa umat Islam dimusuhi oleh umat lain? Kedua, jikalaupun iya, apakah musuh-musuh Islam sebegitu berkuasa di negara ini sehingga keberislaman begitu terkekangnya?

Fenomena “merasa dimusuhi” ini menarik dikupas dengan penjelasan M. Amin Abdullah dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin,tentang empat fase studi agama, yaitu local, canonical, critical, dan global.

Fase local merupakan fase ketika agama dipahami dalam ruang lingkup lokal yang membentuk kebiasaan berpikir dan kepercayaan bersifat lokal, di mana seseorang menganggap hanya dirinyalah yang ada di dunia ini. Sehingga ketika melihat kelompok lain, dia langsung menganggapnya sebagai ancaman.

Fase canonical adalah fase ketika agama dipahami dalam bentuk teks suci yang dianggap sebagai kebenaran final secara tekstualis maupun kontekstualis.

Fase critical adalah fase ketika agama dipelajari hakikatnya, asal-usulnya, dan sebagainya secara kritis dengan beragam perspektif.

Fase global adalah fase ketika agama dipahami di era global di mana semua umat beragama yang beragama mau tidak mau harus bersentuhan satu sama lain.

Sang khatib, yang merasa Islam dimusuhi, merupakan seseorang yang hidup di era global di mana semua umat beragama yang beragam mau tidak mau harus bersentuhan satu sama lain, namun corak berpikirnya dalam beragama justru bercorak local-canonical-tekstual, hanya ingin hidup sendiri bersama umatnya saja, lalu menganggap keberadaan pihak lain sebagai ancaman dengan menuduhnya menjauhkan umat Islam dari masjid tanpa alasan yang jelas dan logis.

Baca Juga  Refleksi Tahun 2021: Menyoroti Fenomena Kebebasan Beragama dan Toleransi

Padahal, di era global, corak berpikir yang bijak dalam beragama adalah corak berpikir critical-global-canonical-kontekstual agar mampu beragama di tengah keragaman yang ada tanpa merasa terancam oleh keberadaan orang lain.

Parahnya lagi, tidak berhenti pada perasaan terancam saja, sang khatib, berdasarkan prasangkanya pada umat beragama lain, juga menyebarkan perasaan terancamnya tersebut pada umat Islam.

Kenyataan Keberislaman di Indonesia

Kenyataan keberislaman di negeri ini tidak semengerikan pernyataan sang khatib. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Agama yang dikutip dari laman dataindonesia.id, hingga Mei 2022, masjid di Indonesia berjumlah 290.151. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pernyataan sang khatib yang menganggap bahwa “kemunduran Islam”, yakni jauhnya umat Islam dari masjid, disebabkan semata-mata hanya oleh pihak luar atau eksternal.

Seharusnya, ketika data menyatakan demikian, kita terdorong mempertanyakan bahwa jangan-jangan “musuh Islam” justru berasal dari dalam diri umat Islam itu sendiri (merasa benar sendiri, tidak mengayomi yang lemah, dan sebagainya), bukan malah menuduh-nuduh pihak di luar Islam sebagai biang kerok “kemunduran Islam”.

Lebih lanjut, lantas siapa pihak luar yang dimaksud oleh sang khatib? Jika pihak luar yang dimaksud adalah non-muslim, jelas ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa masih banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah non Islam di negara ini. Misalnya kasus pelarangan rumah ibadah non Islam di Cilegon yang baru-baru ini mulai terangkat lagi ke khalayak publik. Jika pihak luar yang dimaksud adalah kelompok lain sesama umat Islam, semakin jelas bahwa ini adalah tuduhan yang politis, sembarangan, dan tidak bijak.

Alhasil, para pendakwah di negeri ini perlu berdakwah dengan berbasis pemikiran yang jernih, jujur, dan sehat. Hal ini penting karena dalam dakwahnya, mereka sering kali membawa legitimasi ayat suci.

Baca Juga  Nilai-Nilai Perdamaian dalam Tradisi Yahudi

Perasaan terancam seperti sang khatib tadi misalnya, bisa saja merupakan kekhawatiran pribadinya saja, namun dengan legitimasi ayat suci, nampak seperti seolah-olah agamalah yang terancam. Padahal, jika dihadapkan dengan kenyataan yang ada, kekhawatiran tersebut sangatlah naïf dan tidak perlu.

Editor: Yahya

Muhammad Alwi
11 posts

About author
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds