Untuk mengetahui sejarah aqidah di Indonesia, merujuk pada temuan sejarah di masa lalu menjadi sangat penting. Banyak yang berpandangan bahwa aliran aqidah yang banyak dianut ialah Asy’ariyah, alih-alih aqidah Maturidiyah. Namun apakah ada aliran aqidah lain selain aliran Asy’ariyah di Indonesia?
Maka dalam hal untuk mengetahui sejarah aqidah di Indonesia lebih jauh, peneliti kontemporer meneliti manuskrip aqidah yang masih ada dari yang ditemukan di alam melayu. Dalam hal ini, manuskrip tersebut adalah skriptur Aqaid An-Nasafi yang merepresentasikan salah satu pemikiran kalam ahlu sunnah wal jamaah, aqidah Maturidiyah.
Aqaid an-Nasafi, Sumber Aqidah Maturidiyah di Indonesia
Aqaid an-Nasafi ditemukan beserta dengan lima manuskrip lain yang ada di alam melayu dahulu yang semulanya ditemukan oleh Thomas Erpenius, seorang ilmuwan belanda. Karena berbagai dinamika dan perpindahan tangan, ia berakhir di Perpustakaan Cambridge University. Aqaid an-Nasafi ditulis oleh Abu Hafs Umar Najmuddin Al-Nasafi, sebagaimana ia ditulis dalam latin oleh pemilik manuskrip tersebut, Andreas Mullerus Greiffenhagius.
Greiffenhagius menulis nama penulisnya sebagai ‘Umar Abu Hafs, putra Muhammad, putra Ahmad, Nasafi’, yang kemudian diinterpretasi oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam Aqaid An-Nasafi: The Oldest Manuscript Known in Malay World bahwa nama tersebut merujuk pada salah satu sosok Sunni-Hanafiyah dengan aqidah Maturidiyah, Abu Hafs Umar Najmuddin Al-Nasafi (m. 537H/1142M).
Penulisan Aqaid an-Nasafi miliknya adalah karya tulis yang membahas seputar aspek-aspek inti aqidah dengan singkat dan populer hingga banyak syarahnya yang ditulis. Syarahnya telah ditulis oleh Saaduddin Al-Taftazani, Al-Raniri, dan juga Bukhari Al-Jawhari dalam bukunya Taj al-Salatin, sebagaimana disadur dari jurnal berjudul The Spread and Persistence of Māturīdi Kalām and Underlying Dynamics oleh Bruckmayr.
Merujuk pada bagian akhir manuskrip tersebut, Abu Hafs An-Nasafi menulis bahwa ia menyelesaikan penulisan buku tersebut pada hari Sabtu, hari keempat di bulan Rabiul Akhir pada tahun 998 H. Menurut kalkulasi Al-Attas, ia sama dengan hari Sabtu, tanggal 10 pada bulan Februari 1590 M.
Dengan fakta ini, maka ia bisa dibilang sebagai manuskrip aqidah Maturidiyah di alam melayu paling tua yang pernah ditemukan, di antara enam manuskrip lain yang ditemukan Erpenius tersebut.
Penilaian ini berdasar pada perbandingan Al-Attas pada hipotesis G.W.J Drewes, sosok yang menulis terjemahan melayu Burdah milik al-Busiri sebagai salah satu dari beberapa manuskrip melayu tertua. Berbagai manuskrip melayu yang telah diketahui pada kala itu ditulis pada akhir abad 16 dengan argumen yang sifatnya sangat umum dan bisa diberlakukan pada seluruh manuskrip melayu yang lain.
Menurut Al-Attas, argumen ini sifatnya lemah dibandingkan dengan temuan secara literal dari Abu Hafs akan catatan penyelesaian penulisan Aqaid an-Nasafi miliknya.
Pengaruh Turki Utsmani dalam Sejarah Aqidah
Adapun untuk mengetahui di daerah Indonesia mana Aqaid an-Nasafi tertulis, sangat penting untuk mengetahui konteks penjajahan Portugis di alam melayu pada waktu tersebut. Menurut Al-Attas, ia tidak bisa dilepaskan dari pembahasan asal mula manuskrip tersebut bermula.
Saat Portugis menjajah Malaka pada tahun 1511, pusat perkembangan komunitas muslim dan jalur perdagangan kapal pedagang muslim yang sebelumnya terpusat di Malaka, berpindah ke Aceh.
Akibat perpindahan jalur perdagangan masyarakat muslim dunia menuju Aceh, para pedagang dari Gujarati dari masa kesultanan Turki Utsmani pun turut datang ke Aceh untuk berdagang. Selain berdagang, pihak Turki Utsmani juga memberikan bantuan berupa persenjataan militer untuk membantu masyarakat Melayu melawan penjajah Portugis pada kala itu.
Hubungan antara kesultanan Aceh pada waktu itu dengan Turki Utsmani menjadi penting dalam pembahasan ini. Ia bisa menjadi penjelasan latar sejarah aqidah Maturidiyah bisa ada di Aceh akibat datangnya pengaruh dan tokoh-tokoh Turki yang kecenderungan mazhab fikih dan akidahnya adalah Hanafiyah-Maturidiyah.
Pada tahun 1580, berbagai figur besar di bidang ilmu-ilmu laduni muncul di Aceh, mengajarkan ilmu-ilmu sunah, ijma, atsar, mantik, bayan, tasawwuf, dan lainnya. Dengan fenomena ini, maka untuk mengklaim bahwa Aqaid an-Nasafi tertulis di Malaka bisa jadi dianggap sebagai argumen yang lemah.
Penjajahan Portugis di Malaka telah meredam perkembangan umat muslim di Malaka baik secara intelektual, yang terbukti dengan peralihan pusat perdagangan dan perkembangan intelektual di Aceh.
Menurut Al-Attas, penulisan muatan Aqaid an-Nasafi memerlukan iklim intelektual yang mendukung beserta dengan daerah yang cukup berwawasan untuk mampu menerima pengajaran Aqaid an-Nasafi tersebut. Hal ini sangat cocok dengan situasi Aceh pada waktu itu.
Maka dengan ini, kemungkinan terbesar bisa dikatakan bahwa penulisan Aqaid an-Nasafi ialah bermula di Aceh, dalam konteks sosio-politik yang mendukung akibat perpindahan pusat perkembangan komunitas muslim dari Malaka ke Aceh.
Aqidah Maturidiyah di Pesantren Indonesia
Kendati waktunya kedatangan pengaruhnya yang sangat dini, hal ini berbeda dengan realita konteks masyarakat di Indonesia sekarang yang kecenderungan aqidah dan fikihnya secara mayoritas berpegang pada Asyariyah-Syafi’iyah.
Menurut Martin van Bruinessen, kitab-kitab yang secara langsung merujuk pada referensi kitab dan manuskrip Maturidiyah seperti Aqaid an-Nasafi dan sebagainya tidak ditemukan dalam pesantren-pesantren Indonesia. Hal ini dapat kita rujuk dari tulisan Muhammad Asrori Yusuf dalam Pengkajian Kitab Akidah di Pesantren.
Kendati demikian, dari berbagai kitab aqidah yang digunakan sebagai referensi pesantren, terdapat satu kitab yang mengikuti aqidah Maturidiyah. Kitab tersebut adalah Husnun al-Hamidiyah yang ditulis oleh Sayyid Husain bin Muhammad al-Jisr al-Tharabilisi, sosok ulama yang hidup pada masa Turki Utsmani.
Kitab tersebut terhitung sangat baru, terhitung sejak pada abad 1900-an, dan fakta bahwa pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional yang kita kenal hari ini belum menjadi budaya yang merebak luas sebelum abad 18. Walaupun manuskrip tua Maturidiyah yang digunakan sebagai kitab pesantren lebih jarang dibandingkan dengan kitab-kitab Asy’ariyah, pengaruh aqidah Maturidiyah tidak sepenuhnya lepas dalam tradisi pesantren.
Ia tersintesis bersama dengan pemikiran Asy’ariyah dalam konteks Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam berbagai kitab-kitab yang digunakan di pesantren Indonesia, dirujuk lebih kepada figur-figur Ahlu Sunnah wal Jamaah, daripada sebagai tokoh Maturidiyah atau Asy’ariyah secara spesifik.