Tarikh

Sejarah Pencetakan Al-Qur’an di Eropa

3 Mins read

Dalam mata kuliah Sejarah Al-Qur’an, dosen kami mengajukan sebuah pertanyaan menarik, “Di mana Al-Qur’an pertama kali dicetak?” Pertanyaan yang memancing sikap genuine saya sebagai mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, terdengar mudah, namun nyatanya sulit, bahkan untuk sekadar ditebak-tebak.

Saudi? Mesir? Yaman? Turki? Iran? Atau mungkin Indonesia? Jika kalian yang mendapatkan pertanyaan serupa, kira-kira negara apa yang akan kalian sebut, sekadar sebagai jawaban tebakan?

Jujur saja, bagi saya sendiri, bayangan akan negara tempat Al-Qur’an pertama kali dicetak hanya berkutat pada negara-negara Timur Tengah, atau setidaknya negara berpenduduk mayoritas muslim.

Namun ternyata saya sudah keliru sejak awal dalam menentukan opsi default. Pencetakan yang dimaksud disini adalah dicetak dengan mesin canggih, woodblock print (cetakan dengan blok kayu) –bukan mesin cetak Gutenberg– kenyatannya, kemajuan dan modernisasi memang tidak punya agama.

Ironi Cetakan Al-Qur’an Edisi Venesia

Bukan di Mesir atau di Iran, berdasarkan kesepakatan pakar muslim maupun non-muslim, Al-Qur’an pertama kali dicetak sekitar tahun 1530-1537 di Venesia –Subhi Salih menyebutnya “al-Bunduqiyyah”–, Italia, oleh anak dan ayah Paganino dan Alessandro Paganini.

Siapa sangka? Kitab suci yang sangat dikultuskan oleh kaum muslim itu ternyata dicetak di kota yang menjadi pusat Katolik di masanya, oleh dua orang pencetak yang juga bukan beragama muslim.

Cetakan ini diduga hilang selama berabad-abad. Menurut Regis Blecher, cetakan ini diduga dibakar oleh Paus Gereja Katolik. Versi “halus” dikemukakan oleh Angela Nouvo, menurutnya, hal tersebut diakibatkan tidak adanya pasar di Timur Tengah. Nouvo juga mengaku menemukan Salinan mushaf tersebut yang penuh cacat di sebuah monastery.

Dalam tulisannya dikemukakan, Paganino dan Paganini mencetak Al-Qur’an untuk ditawarkan ke imperium Ottoman, Istanbul, Turki, namun ditolak karena dianggap banyak kesalahan dengan layout yang buruk. Ottoman juga meyakini Al-Qur’an hanya boleh dicetak oleh “orang suci”, sementara Paganino dan Paganini bukanlah muslim.

Baca Juga  Janissary: Pasukan Terkuat Milik Kesultanan Turki Utsmani

Ketika mereka berdua datang ke Ottoman untuk menawarkan cetakannya, mereka tidak disambut hangat, Jean Bodin –bukan Joe Biden yah– bahkan berasumsi cetakan itu dirusak oleh orang-orang Ottoman dan tangan kanan Alessandro dipotong.

Sebuah asumsi sejarah yang mungkin terdengar ironis cenderung kejam dan boleh disalahkan. Namun andai kata kita yang hidup pada masa itu, didasarkan pada sentimen dan sensitivitas agama serupa dengan yang jamak terjadi saat ini, tidak menutup kemungkinan kita pun mendukung penuh keputusan orang Ottoman, dan mengutuk dengan sumpah serapah apa yang dilakukan oleh ayah dan anak Paganino dan Paganini.

Meski sesungguhnya kita harus berterima kasih pada mereka. Ayah dan anak yang “tidak suci” itu secara langsung berperan aktif dalam upaya modernisasi mushaf Al-Qur’an. Jika bukan karena jasa mereka berdua, tak ada yang tahu, apakah kaum muslimin masih bisa menikmati cetakan Al-Qur’an modern seperti saat ini. Sekali lagi, tak ada yang tahu.

Harus diakui, cetakan edisi Venesia tetap menjadi simbol impresif kegagahan sejarah pencetakan mushaf Al-Qur’an, sebagai Al-Qur’an yang pertama kali dicetak dengan moveable type.

Subjektivitas Cetakan Basel

Cetakan Basel berpangkal pada ranting sejarah yang berbeda dengan versi Venesia. Hanya Tuhan yang mengetahui pasti apa tujuan Paganino mencetak Al-Qur’an. Entah murni untuk bisnis, atau sesuai tuduhan Ottoman, bahwa ada upaya penyelewengan isi Al-Qur’an.

Namun, cetakan Basel tujuannya jelas untuk melemahkan Al-Qur’an. Berawal dari penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin untuk pertama kalinya, sebagai bagian dari upaya untuk menyangkal dan mengkritisi Al-Qur’an, Robert of Ketton dan beberapa tokoh lain, akhirnya menyelesaikan terjemahan tersebut pada tahun 1143 dan diberi judul “Lex Mahumet pseudoprophete”.

Baca Juga  Politik Identitas di Era Kepemimpinan Adolf Hitler

Terjemahan inilah yang dicetak di Basel 4 abad kemudian, yaitu pada tahun 1543. Diedit oleh Theodore Bibliander, edisi ini terdiri dari tiga bagian. Yakni Al-Qur’an itu sendiri, pembuktian kesalahan Al-Qur’an, dan sejarah Turki. Cetakan ini sukses besar di lingkungan Barat. Sialnya, banyak terjemahan Al-Qur’an bahasa Eropa di kemudian hari yang sekadar menerjemahkan versi Latin Ketenensis ke dalam bahasa mereka, ketimbang menerjemahkan Al-Qur’an langsung dari bahasa Arab. Akibatnya, penerjemahan awal ke dalam bahasa-bahasa Eropa banyak terjadi kesalahan dan distorsi.

Meski sebenarnya tak ada hubungan sama sekali, cetakan Basel seolah menjadi ajang “balas dendam” Barat terhadap apa yang dilakukan Ottoman terhadap cetakan Venesia.

Pencetakan Al-Qur’an sebagai Simbol Perdamaian

Selanjutnya, pencetakan Al-Qur’an terus berlangsung, namun masih berkutat di Eropa. Yakni di Hamburg, Jerman, oleh Abraham Hinckelmann pada tahun 1694, murni untuk kajian filologi dengan diberi judul “Alcoranus s. Lex Islamitica Muhammadis, filii Abdallae Pseudoprophet”.

Pada 1787, Al-Qur’an dicetak di St. Petersburg, Rusia, atas perintah Ratu Rusia Tsarina Catherine II, untuk tujuan politis sebagai bentuk toleransi beragama setelah perdamaian Küçük Kaynarca, akibat perang Turki-Rusia yang mengakibatkan sejumlah wilayah Turki jatuh pada kekuasaan Rusia.

Mullah Osman Ismail menjadi penanggung jawab untuk percetakan. Cetakan inilah yang menjadi benih awal percetakan yang ditangani oleh umat Islam sendiri, di bawah pengawasan Kekaisaran Ottoman/Utsmani. Edisi ini dikenal dengan nama Malay Usmani, namun tetap saja masih dicetak di Eropa.

Cetakan Fisik yang Lebih Modern

Leipzig menjadi kota Eropa selanjutnya yang “peduli” dengan Al-Qur’an. Edisi ini dicetak tahun 1834 dan diberi judul “Corani texn Arabicus”, diterjemahkan oleh orientalis Jerman Gustav Flügel. Meski dianggap sebagai cetakan yang lebih baik dibanding cetakan orang Eropa sebelumnya, namun pada konten masih dianggap banyak kesalahan, terutama pada nomor surah.

Baca Juga  Tamariks, Tanaman dalam Al-Qur'an yang Jarang Dikenal

Demikianlah “binalitas” sejarah pencetakan Al-Qur’an, di mana orang Eropa-lah sebagai pengambil alih modernitas, yang pertama kali memulainya. Entah untuk tujuan ilmu pengetahuan, bisnis, atau murni karena niat negatif. Apa pun itu, tak ada salahnya muslimin berterima kasih pada Eropa, atas “kepedulian” mereka terhadap modernisasi Al-Qur’an.

Editor: Zahra

Muhammad Dzal Anshar
2 posts

About author
ASN Kemenag Sulawesi Selatan.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *