Viral video tausiyah Prof. Noorhaidi Hasan di channel Youtube Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu meninggalkan jejak kontroversi. Dalam video berdurasi kurang lebih lima menit itu, Noorhaidi menyinggung mengenai tren yang terjadi di kalangan muslim milenial perkotaan untuk bergabung dengan komunitas hijrah yang berafiliasi dengan salafi radikal. Alih-alih hijrah secara substansial-spiritual, dalam pandangan Noorhaidi, mereka justru mengikuti hijrah yang sarat perubahan identitas-simbolik dan cenderung kaku.
Tak pelak, kontroversi konten video tersebut mengundang tak sedikit cibiran bahkan emosi dari beberapa pihak. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan isu penyebaran liberalisme di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN), mengingat Noorhaidi adalah profesor dalam bidang politik Islam yang menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ada juga yang berkomentar “makhluk UIN ternyata”. Sekedar intermezzo, namun sungguh lucu bilamana warga masyarakat UIN menyandang label “makhluk” tersendiri berbeda dari non-UIN.
Terlepas dari kontroversi yang dihasilkan, patut kita ulik kembali bagaimana tren yang terjadi di kalangan muslim milenial, khususnya di lingkungan perkotaan. Benarkah banyak muslim milenial perkotaan yang “terjangkit” tren hijrah salafi-radikal dan mengapa hal tersebut terjadi?
Milenial
Kata ini sudah banyak berseliweran di media sosial hingga tutur masyarakat. Milenial sendiri dalam Oxford Learner’s Dictionary dengan kata kunci millennial diartikan 1) berhubungan dengan suatu periode dalam hitungan seribu tahun, 2) berhubungan dengan perayaan tiap seribu tahun, 3) berhubungan dengan generasi masyarakat yang menjadi dewasa pada awal abad kedua puluh satu, 4) memegang atau menunjukkan kepercayaan bahwa akan datang suatu masa depan yang penuh kesenangan dan perdamaian ketika Kristus datang ke dunia. Mengambil artian ketiga, milenial adalah mereka yang menjadi dewasa pada awal abad kedua puluh satu, tentu tidak akan jauh dari teknologi informasi. Saudara Muhammad Bukhari Muslim juga sudah sedikit mengulas mengenai karakteristik muslim milenial.
Tren Hijrah
Tren hijrah sudah beberapa tahun direkam dan dianalisa oleh para pengamat. Tren ini tidak lepas dari unsur politik identitas yang diusung jamaah hijrah itu sendiri. Umumnya, politik identitas yang ‘diamalkan’ jamaah ini banyak bersandar kepada pembacaan tekstual atas nash, khususnya hadis, yang mengangkat perbedaan identitas antara kaum muslimin dengan non-muslim, terlebih komunitas Yahudi.
Kuntowijoyo dalam Muslim tanpa Masjid merekam kecenderungan pola keberagamaan masyarakat muslim Indonesia. Dalam pengamatannya, masyarakat muslim Indonesia praindustrialisasi cenderung bersifat tradisional substansial, kemudian ketika era industrialisasi cenderung mengarah kepada budaya simbolik, dan ia meramal masyarakat pascaindustrialisasi akan menggaungkan simbol dan substansi sekaligus.
Ahmad Z. El-Hamdi mencermati tren hijrah ini dari pengakuan para jamaah itu sendiri. Kehampaan spiritualitas yang menghinggapi banyak anak muda seolah menemukan oasenya ketika mendengar atau membaca dakwah-dakwah salafi yang membungkus dakwah mereka dengan cover yang ciamik dan trendy. Bahasa-bahasa yang digunakan pun mengikuti bahasa anak muda. Akhirnya, hijrah spiritualitas mereka tertambat pada dakwah salafi, alih-alih Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (NU) yang dianggap kurang peka terhadap packaging yang menarik anak muda. Tentunya hal ini menjadi autokritik bagi kita semua.
Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan memotret perkembangan masyarakat Muhammadiyah yang dianggap dekat dengan karakteristik masyarakat perkotaan dalam analisa Weberian. Muslim perkotaan memiliki perbedaan paham keagamaan dengan muslim pedesaan, yang kiranya jug dapat digunakan untuk membaca pola keberagamaan muslim milenial, berdasarkan beberapa hal berikut:
Pertama, ketersediaan akses literatur. Masyarakat perkotaan pada umumnya adalah masyarakat yang melek huruf alias bisa membaca, demikian pula dengan muslim milenial. Kapabilitas membaca seperti itu ditunjang dengan ketersediaan literatur keagamaan, terutama literatur utama, yaitu al-Qur’an dan hadis (yang juga disertai terjemahan). Ketersediaan akses ini membuat muslim perkotaan cenderung langsung mengakses literatur utama, dibandingkan tafsir-tafsir yang bisa jadi berbelit-belit dan tidak to the point alias meluas.
***
Kedua, kecenderungan pendidikan yang diterima masyarakat perkotaan cenderung pemahaman tekstual sebagaimana yang umum dijumpai pada masyarakat yang belajar eksak: pembacaan linear. Kombinasi ini kiranya dapat menjelaskan mengapa kaum muslim milenial memilih pengajian yang cenderung mengartikan dan memahami teks keagamaan secara tekstual, kaku, dan sempit.
Ketiga, pola pikir rasional dan kecenderungan menghindari kultus individu. Karenanya, muslim perkotaan cenderung menghindari berbagai atribut yang mengarah kepada kultus dan dominasi individu. Akan tetapi, di sisi lain terjadi kultus nilai yang disadari atau tidak.
Demikian mengapa muslim perkotaan bisa cenderung mengikuti tren hijrah dan dakwah salafi. Ditambah juga pola pendidikan yang terbiasa praktis juga berkontribusi terhadap praktek instan yang diinginkan oleh mereka. Akhirnya, khazanah keilmuan Islam dengan berbagai perangkat alat dalam memahami agama kurang diperhatikan dan dipertimbangkan. Lagi-lagi melihat latar belakang mereka juga yang notebene berpendidikan “sekular” dan tidak familiar dengan pendidikan tradisional yang banyak mengenalkan ilmu-ilmu tersebut.
Di sisi lain, kecenderungan pembedaan identitas yang ditampilkan oleh jamaah hijrah dan dakwah salafi dapat dipahami dari bahwa identitas tersebut menjadi penanda “babak baru” kehidupan mereka setelah hijrah. Sangat simbolik tentunya, sebagaimana yang dipotret Kuntowijoyo.
Meskipun penulis mengamini adanya tren hijrah masyarakat muslim perkotaan, namun penulis sejauh ini tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan prof. Noorhaidi Hasan yang mengaitkan tren hijrah ini secara umum dengan sifat ‘radikal’. Radikal adalah sifat dan sikap seseorang dalam memahami sesuatu secara mendalam. Sebagaimana pemikiran lainnya, radikal adalah pemikiran dan pembedahan yang mengakar dengan sangat dalam. Mereka berbeda dan cenderung tekstualis, penulis setuju. Namun ‘radikal’, sekali lagi, penulis belum sepaham dengan beliau, kecuali bila pemahaman kebenaran tunggal teraktualisasi.
***
Akhirul kalam, mengutip apa yang ditulis oleh Nurcholish Majid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, tren pengajian yang cenderung tekstualis agaknya jangan terlalu dihadapi dengan galak dan emosional, apalagi sampai mengeleminasinya. Pemahaman seperti ini harus dilihat sebagai pendulum penyeimbang dan pengingat bagi kita yang terlalu jauh keluar dari nash keagamaan. Pemahaman ini umumnya timbul sebagai reaksi dari suatu dominasi tertentu alias ia mencoba antitesa, maka sepatutnya kita membuat sintesa baru.