Tasawuf

Serat Bimasuci: Kesungguhan adalah Jalan Utama

3 Mins read

Apa itu Serat Bimasuci?

Sebagaimana yang kita tahu, bahwa Serat Bimasuci ini adalah naskah saduran dari naskah yang lebih tua usianya, yaitu rontal Sanghyang Nawaruci yang dibuat pada masa akhir Majapahit oleh seorang rakawi (sastrawan), yang menyebut dirinya sebagai Mpu Siwamurti.

Nama Siwamurti sendiri menunjukkan bahwa sang rakawi telah mengaku sebagai perwujudan Sanghyang Siwa (Lihat Damar Shashangka, 2019).

Pengalaman penyatuan Rahadyan Wrkodhara dengan Sanghyang Nawaruci adalah pengalam peleburan Atman dengan Brahman. Yang merupakan salah satu puncak spritual yang dilatari oleh pengajaran Siwa Buddha.

Pengalaman sama juga dialami oleh mereka para pengamal Tasawuf Islam Jawa, seperti Raden Ngabehi Yasadipura I. Apa yang disebut sebagai Taswuf Islam Jawa, sebenarnya adalah Kejawen itu sendiri.

Oleh karena pengalaman spiritualnya memiliki kemiripan dengan apa yang dituturkan dalam naskah rontal Sanghyang Nawaruci, maka Raden Ngabehi Yasadipura I, Segera menyadur naskah rontal Sanghyang Nawaruci dari bahasa Jawa Kawi Akhir kedalam bahasa Jawa Anyar (baru).

Proses Penyaduran

Dalam prosesi penyaduran, tidak hanya alih bahasa saja, naskal rontal yang semula berbentuk gancaran (prosa) diubahnya denga apik dalam bentuk kakawin.

Tidak sampai situ saja, Raden Ngabehi juga memasukkan pengajaran Tasawuf Islam Jawa, yang akhirnya naskah rontal Sanghyang Nawaruci yang bernuansa Siwa Buddha, berhasil disalin menjadi naskah Serat Bimasuci yang bernuansa Kejawen atau Tasawuf Islam Jawa.

Naskah Serat Bimasuci ini sepenuhnya menuturkan tentang pencarian agung untuk meraih kesempurnaan hidup, yang disematkan kepada Toya Amerta, yakni air hidup atau air keabadian.

Kesadaran ini pula yang akan diperoleh oleh seorang pejalan spiritual yang memiliki keteguhan dan kejernihan batin, sehingga tidak goyah oleh godaan duniawi.

Baca Juga  Pembela Sunnah, Pembela Kedokteran

Sesungguhnya kesejatian yang dicari tidak bisa didapatkan disatu tempat manapun dipenjuru bumi. Kesejatian itu hanya akan diperoleh kedalam diri sang pelaku spiritual itu sendiri.

Tidak ada Tuhan di atas langit maupun dibawah bumi, tidak ada Tuhan disegenap tempat-tempat suci, tidak ada Tuhan dipuncak-puncak gunung keramat, atapun juga tidak ada Tuhan didalam kitab-kitab suci, melainkan Tuhan yang sejati itu berada didalam “diri” itu sendiri.

Sebab, Ruh manusia adalah bagian dari Allah. Ketika seorang manusia sudah bisa menyentuh Ruhnya sendiri, dengan kata lain sudah mampu mengetahui Ruhnya sendiri, maka sesunggunya dirinya sudah mengetahui Allah.

Kesungguhan dan keyakinan yang kuat merupakan media penggerak ampuh bagi tercapainya suatu tujuan. Jiwa yang dipenuhi oleh keyakinan kuat akan menggerakkan semesta mewujudkan apa yang diharapkan. Inilah hasil kekuatan jiwa.

Empat Unsur Pokok dari Jiwa

Jiwa sendiri memiliki empat unsur pokok yaitu:

(1) Kesadaran (conciousness), merupakan unsur jiwa yang membuat manusia mampu menyadari keberadaan ruang dan waktu. (2) Pikiran (thought), merupakan unsur jiwa yang membuat manusia mampu berfikir rasional dan matematis. (3) Perasaan (emotion), merupakan unsur jiwa yang membuat manusia mampu memiliki emosi. Dan terakhir (4) Ingatan (memory), merupakan unsur jiwa yang menjadi fondasi untuk hidup di dunia.

Apa yang disebut jiwa diatas yang tak lain adalah Sukma Sarira dalam pengajaran Siwa Buddha atau nafsu (nafs) dalam pengajaran Kejawen. Jika mengacu kepada pengajaran Siwa Buddha, maka akan menjadi: (1) Buddhi, sepadan dengan Kesadaran, (2) Manah, sepadan dengan Pikiran, namun dalam bahasa Jawa Baru, Manah berubah menjadi Hati. (3) Ahangkara, sepadan dengan Perasaan, dan (4) Citta, sepadan dengan Ingatan.

Baca Juga  Kata Siapa Muhammadiyah Tolak Sufi, Ini Tiga Tokohnya!

Keberhasilan seorang pejalan spiritual adalah sama seperti yang digambarkan dalam naskah Serat Bima Suci, yakni dengan hadirnya sosok anak bajang. Yaitu perwujudan anak kecil yang mendadak ditemui oleh Raden Werkudara di tengah hamparan samudra. 

Hadirnya sosok yang serupa dengan pejalan spiritual bisa saja terjadi. Sang pejalan spiritual yang telah terbuka tingkap batinnya akan melihat dengan nyata sosok kecil serupa dengan dirinya. Sosok ini tak lain adalah perwujudan Ruh sang pejalan spiritual yang mengambil wujud sang pejalan spiritual itu sendiri. Yang merupakan Ruh murni yang tidak tertabiri oleh hijab apapun.

***

Fenomena semacam ini bisa dikatakan sebagai pertemuan antara kesadaran jiwa yang lebih rendah dengan kesadaran Ruh yang lebih tinggi, dan disana akan terjadi dialog. Sama halnya seperti dialog batin bagi diri sendiri. Bedanya adalah jika pengalaman sang pejalan spiriual akan merasakan sensasi nyata, karena Ruh hadir untuk menunjukkan eksistensinya.

Satu peleburan agung yang kerap disebut-sebut sebagai Fana’ Fillah, yakni melebur kepada Allah dengan sempurna, juga di alami oleh Kanjeng Syekh Siti Jenar yang mengatakan: “Syekh Siti Jenar ora ana, kang ana Pengeran Sejati ya Sejatining Pangeran Mulya”. (Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan yang sejati, yaitu sejatinya Tuhan Yang Mulya).

Atau pengalaman batin serupa lainnya juga di alami oleh Syekh Muhyidin Ibnu Arabi. Beliau sempat menuliskannya dalam Syair: “Kawula adalah Gusti, dan Gusti merupakan Kawula. Aku bingung, siapa gerangan yang menjadi mukalaf (yang harus menjalankan perintah wajib)”.

Editor: Rozy

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…
Tasawuf

Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

2 Mins read
Salah satu kajian yang menarik dari sosok Hasan Al-Bashri adalah tentang “Zuhud”. Membahas zuhud adalah tentang bagaimana cara beberapa sufi hidup sederhana…
Tasawuf

Konsep Syukur Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili

5 Mins read
Abu al-Hasan Asy-Syadzili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *