Lebih dari enam belas tahun setelah Bom Bali I meledak pada tanggal 12 Oktober 2002, sebuah tragedi besar menimpa Indonesia yang tidak hanya mengejutkan pemerintah atas tindak terorisme tidak manusiawi tersebut, tetapi juga bagi para tokoh Islam yang sebelumnya menyatakan bahwa tidak ada teroris di Indonesia.
Beberapa bulan sebelum terjadinya tragedi Bom Bali ini, jika menelaah situasi yang terjadi sejak tanggal 5 Juni 2002 dalam sebuah ceramah umum di Pondok Pesantren Ngruki Sukoharjo, Jawa Tengah, Hamzah Haz yang pada saat itu adalah sebagai pemimpin partai politik Islam dan juga dalam fungsinya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia menyatakan dengan pasti bahwa tidak ada jaringan teroris di Indonesia. “Sebagai seorang Muslim, saya tidak ingin ada orang yang mengidentifikasi sebuah pesantren sebagai sarang teroris,” Haz menyatakan (Tempo, 22/9/2002).
Demikian pula pada tahun 2002, saat penulis menyertai Duta Besar Amerika Serikat Ralph L. Boyce dalam sebuah pertemuan dengan Allahu yarham almarhum Kyai Haji Hasyim Muzadi, Ketua Umum organisasi Muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama. Ketika itu, almarhum juga menyatakan keraguan tentang keberadaan teroris di Indonesia. Selain itu, jajak pendapat publik pada saat itu juga secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia percaya bahwa perang global melawan terorisme adalah ‘alat’ yang digunakan oleh Dunia Barat untuk menyudutkan Islam.
Lebih dari enam belas tahun, saat pemerintah Indonesia terlebih aparat intelijen negara mengalami kepanikan. Mengapa sampai terjadi malapetaka kemanusiaan sangat besar di negeri yang aman dengan mayoritas penduduk Muslim yang mencintai perdamaian. Sehingga memunculkan pertanyaan besar pada saat itu. Siapa pelaku tindak kejahatan kemanusiaan tersebut?
Pemerintah bertindak cepat dengan membentuk pasukan polisi khusus. Yang kemudian dikukuhkan dengan nama Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) yang bergerak cepat dan rapi melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus Bom Bali ini. Lalu, bagaimana persepsi terorisme dan partisipasi kontraterorisme saat ini setelah lebih dari dwiwindu tragedi kemanusiaan tersebut?
Persepsi Terorisme
Terorisme adalah fenomena konstruksi sosial sebagaimana banyak pernyataan yang disampaikan oleh para pemikir sosiologis. Terorisme bukan ‘given’ dalam kehidupan dunia nyata. Tetapi justru ia adalah fenomena interpretasi atas kejadian-kejadian dan penyebab dugaan para teroris (Yehuda, 1993: 321).
Pernyataan yang sering dikutip bahwa teroris adalah seorang pejuang kebebasan (freedom fighter) bagi orang lain, mengingatkan bahwa definisi terorisme didasarkan pada bagaimana dibangunannya oleh individu, kelompok, atau bahkan negara. Makna terorisme adalah bervariasi tergantung pada konteks, sumber daya budaya yang ada, dan kombinasi dari aktor-aktor yang terlibat didalamnya (Stump, 2009: 661).
Terorisme adalah merupakan sebuah fakta sosial yang membutuhkan pelembagaan institusi manusia. Baik secara individu atau berkelompok bagi keberadaannya (Searle, 1995: 138). Karena terorisme merupakan fenomena konstruksi sosial, sehingga hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan penyelidikan dan penindakan secara ‘unthinkable policies’ untuk melawannya.
Dengan memahami konstruksi terorisme sebagai ancaman sosial dengan fluktuasi tingkat ancamannya terhadap keamanan manusia, maka hal ini perlu langkah-langkah yang diantisipasi dalam intensitas kegiatan kontraterorisme yang memadai.
Terorisme adalah kegiatan clandestine yang sering dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil atau bahkan individu tunggal. Mereka tinggal dilingkungan penduduk sipil tetapi cenderung menutup diri. Tentu hal semacam ini menjadikan kesulitan dalam melawannya. Apalagi dengan munculnya taktik teroris baru, yaitu serangan bunuh diri (Heywood, 2011: 293).
Pada kasus terorisme di Indonesia, pemerintah telah menekankan dua kegiatan utama yakni kontra radikalisasi dan deradikalisasi dalam rangka menekan tindak ekstremisme kelompok-kelompok agama. Hal ini sangat penting karena kelompok ekstremis agama merupakan bagian dari jaringan global yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dan melakukan serangan kekerasan. Bahkan jikalau pun mereka telah dilemahkan (Rabasa, 2010: 188).
***
Persepsi ancaman terorisme masih cukup tinggi. Karena faktor-faktor penyebab teror mempunyai peluang berkembang akibat dari situasi politik dan ekonomi global yang tidak adil bagi dunia Islam. Sementara kondisi di dalam negeri Indonesia, dalam pokok persoalan yang sama, juga masih tidak stabil.
Dalam situasi dan kondisi yang masih labil, terutama pada saat transisi demokrasi sedang berlangsung, maka negara perlu menutup segala peluang bagi munculnya kriminalitas. Beberapa kasus terorisme mengandung keterkaitan dengan tindak kriminalitas seperti perampokan bank.
Selanjutnya, makna kriminalitas secara luas adalah usaha-usaha kejahatan situasional yang melibatkan proses rasionalitas dalam pengambilan keputusan pada setiap tindak kejahatan. Sedangkan rasionalitas motif agama selalu dijadikan justifikasi jaringan teroris dalam melakukan tindak kekerasan.