Report

Shalat Virtual, Sebuah Ritual Alternatif di Masa Pandemi

3 Mins read

IBTimes.ID – Pandemi tidak datang sendirian. Ia datang bersama segenap perubahan yang fundamental dalam berbagai aspek. Salah satu aspek perubahan yang diharuskan oleh berubah karena pandemi adalah aspek peribadatan. Bagi masyarakat Indonesia, agama adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan.

Pada perayaan hari raya Iduladha 2021, ada satu peristiwa yang fenomenal. Pelaksanaan shalat ‘Id secara virtual yang dipimpin oleh cendekiawan Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid menembus angka maksimum kapasitas zoom 1000 orang. Padahal, dalam satu akun zoom bisa berisi satu keluarga atau satu rumah. Maka, peserta shalat ‘Id virtual tersebut diperkirakan mencapai 3000 orang.

“Ibadah itu dilakukan secara live dengan makmum yang tersebar di berbagai tempat terpisah di Indonesia,” tulis peneliti LIPI Ahmad Najib Burhani di Kompas, Sabtu (7/8). Mereka, para jamaah, mengikuti gerak-gerik imam yang berada di layar laptop atau gadget mereka. Komputer dan zoom, imbuh Najib, bisa disebut sebagai “altar suci” karena berfungsi sebagai ruang dan medium peribadatan.

Ibadah yang juga sering dilaksanakan secara virtual selain shalat ‘Id dan shalat Jumat adalah tahlil, takziah, dan haul. Menurut Najib Burhani, sebagian ilmuwan telah memprediksi bahwa teknologi digital akan mengubah kehidupan sosial dan kultural masyarakat. Contohnya, Manuel Castells menyebut bahwa jaringan maya bisa menggantikan struktur tradisional dalam masyarakat. Namun, banyak yang tak sampai berpikr bahwa teknologi digital juga mengubah tata cara ibadah ritual seperti shalat, tahlilan, haul, dan mungkin juga haji dan umrah.

Bukan tidak mungkin, ibadah haji dan umrah akan dilaksanakan secara virtual. Sebelum pandemi melanda, beberapa situs web sudah menyediakan virtual reality untuk jenis-jenis ibadah tertentu. Pengunjung akan dibawa ke tempat-tempat tersebut seperti hadir langsung dan merasakan pengalaman cyberpilgrimage. Berkunjung ke Tembok Ratapan di Jerusalem bisa dilakukan secara virtual di web aish.com/w. Doa dan permohonan para pengunjung virtual bisa langsung didcetak dan disiapkan di celah-celah batu di tembok ratapan itu.

Baca Juga  Tanggapan Atas Pernyataan Yang Terhormat KH Idrus Romli

Dalam konteks Indonesia, yang sering menjadi kontroversi adalah pelaksanaan shalat Jumat secara virtual. Dalam peribadatan lain seperti takziah, haul, dan tahlilan, hampir tidak pernah ada kontroversi. Hal tersebut bisa dipahami karena memang haul, takziah, dan tahlilan adalah ibadah mahdhah yang tidak diatur secara detail pelaksanaannya. Selain itu, ibadah tersebut bukan ibadah wajib dan tidak ada tuntutan untuk dilakukan secara beramai-ramai.

Sementara itu, shalat Jumat, selain hukum pelaksanaannya yang wajib bagi laki-laki, ia juga harus dilakukan secara berjamaah dengan jumlah minimal 40 orang. Shalat Jumat virtual ini, kendati banyak yang tidak mendukung, tetap saja selalu ramai. Menurut Najib Burhani, ada dua penyelenggara ibadah shalat Jumat yang cukup terkenal, yaitu Wawan Gunawan Abdul Wahid dan Public Virtue Research Institute di bawah pimpinan Usman Hamid, aktivis HAM yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Wawan Gunawan memulai shalat Jumat virtual sejak 29 Mei 2020, sementara Public Virtue Research Institute sejak 5 Maret 2021 dengan sistem yang rapi dan tema-tema khutbah seputar isu-isu Islam dan HAM.

Najib menulis bahwa pelaksanaan ibadah virtual bisa jadi merupakan alternatif terbaik di masa pandemi. Banyak ritual keagamaan yang tak bisa diubah menjadi urusan privat karena tujuan awal pelaksanaannya memang untuk social bonding, solidaritas, dan sense of belonging dalam kelompok.

“Karena itu, pelaksanaan ibadah virtual itu bisa sedikit mengobati kerinduan untuk hadir beramai-ramai bersama saudara dan handai taulan dan sekaligus mengisi kehausan spiritual umat yang terpaksa banyak menyendiri atau mengisolasi diri karena Covid-19 tak kunjung pergi. Sandaran hukum dalam literatur klasik untuk mendukung pelaksanaan ibadah seperti ini tentu saja jarang karena ini adalah fenomena baru,” ujar Najib.

Baca Juga  Warek II UMM: Penguatan SDM untuk Memitigasi Kerugian Human Capital

Padahal, di sisi lain, penggunaan perangkat digital dalam kegiatan keagamaan sudah banyak dilakukan oleh para dai milenial dan dai selebritas, seoertu Hannan Attaki, Felix Y Siauw, dan Ustadz Abdul Shomad. Bedanya, sebelum ini perangkat digital sekedar digunakan untuk mendukung ibadah dan dakwah, bukan dalam pelaksanaan ibadah seperti shalat Jumat atau shalat ‘Id.

Meski saat ini, dalam banyak hal, hal-hal virtual telah menjadi realitas, masih banyak yang berpikir, terutama terkait ibadah, bahwa yang ada di dunia digital itu hanya berperan sebagai alternatif atau bentuk yang tak sempurna dari ibadah yang dilakukan secara luring. Beribadah secara virtual dianggap tak memiliki kesahduan dan kekhusyukan yang sama dengan ibadah luring. Bahkan, dari segi keabsahan, banyak yang menganggap ibadah virtual itu kurang atau tidak sah dilakukan.

Ketika orang berkumpul bersama untuk melakukan ritual di satu tempat, menurut Najib, maka mereka akan menghilangkan identitas individual dan egonya. Mereka akan tersambung secara kuat dengan jemaah yang bersama-sama melaksanakan ibadah. Pendeknya, ritual bisa menguatkan sense of community dan identitas kelompok. Orang akan merasakan pengalaman collective effervescence dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Nah, hal inilah yang terus ditanyakan ketika beribadah itu beralih ke platform digital.

Menerima tradisi baru yang berbeda dari yang biasa dipegangi oleh nenek moyang itu memang sulit. Karena itu, tak mengherankan jika beberapa orang menentangnya secara ekstrem. Shalat dengan saf berjarak, misalnya dianggap oleh pemimpin agama tertentu sebagai pembangkangan terhadap sunah Nabi. Mengganti salaman tangan dengan siku atau genggaman dianggap sebagai ajakan berkelahi.

“Mengganti kurban kambing dan sapi dengan bantuan kepada mereka yang terdampak Covid-19 tidak dianggap menggugurkan kewajiban ibadah berkurban. Demikian pula dengan ibadah virtual. Tak mudah menerima tradisi dan kebiasaan baru di masyarakat meski kebiasaan lama itu bisa membahayakan nyawa jika dilakukan,” tutupnya.

Baca Juga  Perempuan Lebih Baik Shalat di Rumah Atau di Masjid?

Reporter: Yusuf

Avatar
1339 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hamim Ilyas: Islam Rahmatan Lil Alamin Tidak Sebatas Jargon

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan, Islam Rahmatan Lil Alamin harusnya tidak sebatas jargon belaka,…
Report

Najib Burhani: Kelompok Ekstremis Mengincar Anak Muda di Media Sosial

2 Mins read
IBTimes.ID – Ahmad Najib Burhani Cendekiawan Muda Muhammadiyah menyampaikan, kelompok ekstremis kian mengincar anak muda lewat internet di media sosial. Hal ini…
Report

Robert W. Hefner: Muhammadiyah is the Most Organized Islamic Entity in the World

2 Mins read
Muhammadiyah as an organization that was established long before Indonesia’s independence has excellent educational, health, and social movements. This has received an…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *