Tajdida

Menyoal Sikap Eksklusif dalam Beragama

4 Mins read

Eksklusif dalam Beragama – Perkembangan zaman yang dibuktikan dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi (IPTEK), memaksakan seluruh aspek kehidupan termasuk agama juga perlu berkembang dan tumbuh merespon dinamisasi zaman.

Dalam kasus keagamaan, respon terhadap realitas objektif yang dinamis ini sering kali diekspresikan ke dalam sikap yang eksklusif.

Adalah Alan Race (1983) dalam bukunya Christians and Religious Pluralism salah satu orang yang memperkenalkan dan mempopulerkan istilah eksklusivisme dalam tipologinya “eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.”

Rece menggambarkan bagaimana pandangan dan sikap orang-orang Kristen terhadap agama lainnya. Eksklusivisme dimaknai sebagai keberagamaan yang tertutup di mana selain agamanya adalah jalan kesesatan; inklusivisme dimaknai sebagai keberagamaan terbuka yang menganggap ada kebenaran selain agama yang dianutnya meskipun tidak sempurna; sedangkan pluralisme adalah sikap keagamaan yang menganggap perbedaan agama secara teologis merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Pada perkembangannya tipologi ini juga digunakan sebagai terminologi muslim dalam memandang prilaku keberagamaan umat non-muslim (Hanafi: 2011).

Fokus terhadap prilaku eksklusivisme beragama, belakangan ini marak kita temukan narasi-narasi yang cenderung menyikapi perbedaan pandangan dan wacana keagamaan dengan sangat tertutup atau eksklusif, terutama di media sosial. Sikap ini biasanya dibarengi dengan sikap intoleran terhadap prilaku keagamaan orang lain baik intra agama maupun antar agama.

Dari narasi kafir-mengkafirkan hingga berbentuk aksi terorisme terhadap agama lainnya. Sehingga bisa diasumsikan, pemahaman eksklusif dalam beragama ini merupakan gejala penyakit yang banyak bersemayam di tubuh orang-orang beriman.

***

Gejala sikap eksklusif ini, juga banyak menjangkit masyarakat muslim di Indonesia hari ini. Pertumbuhan kesadaran beragama Islam seringkali tidak dibarengi dengan kesadaran kritis dalam beragama. Kesalehan jadi semata-mata urusan simbol belaka; peci, celana, sorban dan sarung.

Fenomena hijrah banyaknya selebritis di tanah air memiliki kecenderungan ke arah tersebut. Fenomena terakhir yang penulis amati, seorang mantan personil band ternama di Indonesia yang hijrah kemudian menganggap “musik haram,”adalah salah satu kasus ketidak kritisan dalam menyerap pesan-pesan teks keagamaan. Sikap opposite binary (halal-haram, surga-neraka, hitam-putih) ini kerap dijadikan dalil legitimasi oleh kelompok tertentu. Padahal kompleksitas dalil-dalil teks itu tidak berdiri sendiri, ada proses historisitas yang mengiringinya.

Baca Juga  Agama Cinta dan Ideologi Kebencian

Oleh sebab itu, menurut Prof. Amin Abdullah (2020) dalam konteks kehidupan post-modernisme ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, diperlukan suatu paradigma keagamaan yang multidisipliner, transdisipliner dan interdisipliner.

Di mana ilmu-ilmu agama perlu mendapat masukan dari ilmu-ilmu lainnya, begitupun sebaliknya. Sehingga hubungan simbiosis-mutualisme keilmuan ini dapat mendorong agama (Islam) memberikan solusi atas problem sosio-religious di muka bumi ini.

Belajar dari Arab Saudi

Bangsa Arab yang kelam, suram dan tak mempunyai masa depan humanis, sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian kalangan orientalis (Bernard Lewis: 2002, Fouad Ajami: 1967), nyatanya tak selalu demikian. Gambaran Arab yang katastropi nan elegi ini menurut Hajrianto Y Thohari (2021) karena Arab selalu dihubungkan dengan stereotip perang, minyak dan maskapai penerbangan.

Senada dengan tesis di atas, artikel Prof. Sumanto Al-Qurtuby (2021) juga menggambarkan sesuatu yang paradoks dengan kenyataan dan pernyataan umum selama ini. Arab Saudi, perlahan tapi pasti mulai membuka diri dengan realitas objektif yang selama ini dianggap tabu.

Dalam gambarannya, kini Arab Saudi terbukti di bidang ketenagakerjaan baik sektor pendidikan, industri dan usaha, mulai menyerap dan menerima orang-orang dari kalangan non-muslim bahkan warga Syiah.

Sikap keterbukaan Arab Saudi ini, dalam tulisan Qurtuby tak terlepas dari pengalaman dan trobosan historis pemimpin Arab Saudi sendiri. Misalnya, trobosan yang dilakukan oleh Raja Abdullah dalam banyak pertemuannya dengan beberepa tokoh agama lain; pada tahun 2007 ia bertemu dengan Paus Benediktus XVI di Vatikan; setahun kemudian mengadakan pertemuan dengan 500 tokoh agama di Mekkah; dan juga turut mensponsori pendirian King Abdullah International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue di Vienna.

***

Harmonisasi hubungan antar agama ini kemudian diteruskan oleh Raja Salman dan MBS (Mahkota Muhammad bin Salman); pada tahun 2017 ia menerima kunjungan pemimpin tertinggi Gereja Maronite Lebanon, Patriach Bechara Boutros al-Rahi; setahun kemudian mengadakan pertemuan di Riyadh dengan Kardinal Jean Louis Tauran, Presiden Pontifical Council for Interfaith Dialogue (PCID) Vatikan; tahun 2019 Raja Salman juga melakukan pertemuan kembali dengan tokoh Kristiani dari Gereja Evangelis Amerika Serikat, Joel Rosenbergh. Tak hanya itu, prinsip-prinsip kemodernan seperti; hak asasi manusia, emansipasi perempuan juga mulai diperjuangkan di sana (Kompas/4/8/2021).

Baca Juga  Membumikan Syahadat tanpa Perang Kebenaran

Bercermin pada Arab Saudi, Indonesia sesungguhnya mempunyai modal kapital yang cukup baik, dari segi Sumber Daya Manusia (SDM), masyarakat kita merupakan masyarakat plural dan heterogen yang disatukan dalam suatu asas kebangsaan “Bhineka Tunggal Ika” yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Sayangnya, pemahaman universal ini selalu diganggu oleh paham-paham transnasional yang datang dari luar Indoneisa. Hal ini menjadi problem, ketika Arab Saudi mulai membuka dan beradaptasi dengan realitas keduniaan, di Indonesia justru ada kecenderungan paham keagamaan yang eksklusif yang menolak hal-hal bersifat kebaharuan. Oleh sebab itu, kecenderungan konservatif ini perlu diarahkan ke dalam pemahaman yang moderat, tengahan,  open-minded dan ramah kemanusiaan.

Bersikap Inklusif

Khaled Abou El-Fadl dalam bukunya The Place of Tolerance in Islam (2002), menyatakan bahwa produk tafsir agama itu selalu bergantung pada kepribadian moral pembacanya, jika pembaca teks itu intoleran, maka produk interpretasinya pun akan cenderung ke arah intoleran, pun demikian sebaliknya (Sirry: 2018).

Menguatnya sikap eksklusif beragama di Indonesia, boleh jadi karena sikap sebagian elit-elit agama yang kerap kali memonopoli tafsir sesuai selera pemahamannya. Fenomena ini banyak kita temui di era digital dengan kemunculan ustad-ustad baru di jagat media sosial.

Praksis keberagamaan yang instan ini pada akhirnya menjadi polemik yang serius, karena banyak mempengaruhi sikap keberagmaan orang Indonesia umumnya.

Islam dengan wajah yang suram, kelam dan anti kemodernan dan kebaharuan jadi momok menakutkan yang mewarnai pola keberagamaan kita hari ini.

***

Memelihara sikap eksklusif/tertutup kaum beriman artinya memelihara bom waktu yang suatu saat akan meledak. Oleh sebab itu, dalam pandangan penulis, sikap demikian tentu saja perlu diarahkan kepada keberagamaan Islam yang inklusif, moderat dan open-minded.

Sikap ini dapat diwujudkan oleh seorang muslim jika; pertama, memiliki kritisisme yang tinggi dalam beragama, kritik ini dilakukan baik dari dalam Islam maupun dari luar Islam, sehingga ajaran Islam yang bersemayam di tubuh orang-orang beriman ini, secara selektif dan objektif menjadi agama yang rasional; kedua, penyadaran sejarah, hal ini penting, sikap superioritas Islam sebagai sebuah kebudayaan yang pernah gemilang kerap kali membuai umat Islam ke dalam romantisme sejarah masa lalu, sehingga enggan belajar dari kegagalan di masa kini. Kesadaran sejarah bertujuan untuk mengkontekstualisasikan ajaran Islam senafas dengan perkembangan zaman.

Baca Juga  Tidak Ada Alasan bagi Kita untuk Menyalahkan Agama Orang Lain!

Dengan demikian, cita-cita Islam rahmatan lilalamin yang sekarang masih menjulang ke langit ini, bisa dibumikan kepada manusia dan seluruh aspek kehidupannya, termasuk dalam merespon arus perkembangan zaman.

Kuncinya, ada pada manusianya itu sendiri yang mau terbuka dan jujur terhadap kelebihan dan kekurangan agamanya. Terakhir mengutip sabda Rasulullah Saw. “hikmah (kebenaran) itu barang hilang milik orang beriman, di mana saja ia menemukannya maka pungutlah” (HR. at-Tarmidzi).

Baiturrahman
5 posts

About author
Alumni Universitas Muhammadiyah Malang, Pemerhati Isu-isu Keagamaan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *