Santri, dalam Bahasa Madura disebut Santre. Orang-orang Madura mengakronimkan (atoro’ tegghes) kata “santre” dengan “san-misan pangastete” (terlanjur hati-hati). Terminologi tersebut dikembangkan dan sering pula dituturkan oleh KH. Nawawi, Pramian (guru penulis) bersandar dan dipandang dari perilaku sehari-hari orang-orang pesantren yang selalu bersikap hati-hati agar tidak terperosok ke dalam perilaku di luar norma dan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Dalam tinjauan etimologi, kata santri berasal dari kata cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin bahasa Jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan menjadi pendidikan sistem asrama (boarding school) yang disebut pawiyatan. Pendidikan sistem asrama (pesantren) semacam itu, secara historis berasal dari tradisi pendidikan hindu. (www.darunnajah.com).
Kata “Santri” (dengan ditulis Arab) terdiri dari lima huruf, yaitu sin, nun, ta’, ra’, dan ya’. Kesemuanya memiliki akronim yang berhubungan dengan karakter dan perilaku seorang santri.
Sin berarti safiqu al-khair (pelopor kebaikan), nun kepanjangan dari nasibu al-ulama (penerus ulama), ta’ bermakna tariku al-ma’shi (orang yang senantiasa meninggalkan perilaku maksiat), ra’ adalah ridla allah (ridho Allah), dan ya’ berarti al-yaqin (memiliki keyakinan yang kokoh).
Hal yang nyaris senada, KH. Hasani Nawawi (pengasuh Sidogiri) menuturkan, bahwa “Santri jika ditinjau dari tindakan dan langkahnya, mereka yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Quran dan mengikuti sunah Nabi, serta mereka berpendirian kokoh. Hal tersebut bersandar pada sejarah dan fakta (kenyataan) yang tidak dapat diganti dan direvisi selama-lamanya. Allah Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu beserta kenyataannya.”
Pesantren ‘manapun’, selalu mengajarkan para santrinya agar senantiasa mulazamah (menetapi) ketaatan dan senantiasa menjaga akhlakul karimah sebagai manifestasi ajaran agama yang paripurna. Sebab, Nabi Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak (innama buisttu liutammima makarima al-akhlaq).
Sepuluh Karakter Unggul Seorang Santri
Di samping itu, santri memiliki karakter-karakter unggul sebagai berikut:
Pertama, taubat. Taubat terus-menerus untuk diupayakan oleh para santri. Secara bersamaan, para pencari ilmu (santri) terus berupaya menjauh dari segala bentuk kemaksiatan. Sebab, maksiat yang menghalangi masuknya cahaya Allah (ilmu) sebagaimana kata Imam Syafi’i ketika bertanya pada gurunya, Imam Waki’, “Diriku bertanya pada Imam Waki’ perihal buruknya hafalanku. Lalu beliau menjelaskan, agar aku meninggalkan kemaksiatan. Sebab, ilmu adalah cahaya Allah, sementara cahaya Allah tidak akan pernah datang kepada pelaku kemaksiatan.”
Kedua, qana’ah. Qana’ah yang dimaksud, al-ridla bi al-yasir (rela diberi sedikit). Sikap seorang santri selalu menerima setiap pemberian Allah SWT, dan mengambilnya dengan ridha. Bahkan ia merasa bangga dengan segala apapun yang Allah berikan padanya.
Ketiga, zuhud. Zuhud adalah meniadakan kecenderungan pada harta dari dalam hati. Zuhud tidak berarti kosong dari harta. Dan jangan mengira nabiyullah Sulaiman yang kaya raya itu tidak zuhud, bahkan beliau adalah orang yang terzuhud. Zuhud lebih pas dipahami, sebagai upaya menjauh dari sesuatu yang dimurkai Allah. Dan, perilaku ini yang selalu digenggam oleh setiap santri.
Keempat, belajar ilmu syariat. Belajar ilmu syariat meliputi, pertama, ilmu fi qih. Fiqih berkaitan dengan praktek hukum ajaran agama yang bersifat aplikatif. Kedua, ilmu aqidah. Aqidah merupakan fondasi yang wajib dibangun dalam diri individu muslim. Ketiga, ilmu tashawwuf. Ilmu tashawwuf merupakan ilmu yang amat urgen untuk dipahami. Sebab, dengan ilmu ini individu muslim dapat membersihkan hatinya dari ragam penyakit, seperti riya’ (pamer), ujub (bangga pada diri sendiri), takabur (sombong), hasad (dengki), sum’ah (sensasional /ingin terkenal), dan semacamnya. Materi ajar tersebut tak dapat dipisahkan dari kehidupan santri di pesantren.
Kelima, menjaga sunah. Memelihara sunah, artinya berupaya terus-menerus melaksanakan kesunahan, seperti sunah shalat maupun shalat sunah, sunah puasa, puasa sunah, dan sebagainya. Para santri tidak dapat dilepaskan dari perilaku ini.
Keenam, tawakal. Bagi pengembara yang cinta akan derajat kemuliaan ilmu (para santri), semua urusannya termasuk urusan rezeki mereka pasrahkan kepada Allah SWT. Mereka sandarkan pada Allah SWT yang Maha Sempurna kedermawanan-Nya.
Ketujuh, ikhlas. Ikhlas merupakan rukun (bagian) yang teragung dari amal ibadah. Diatasnya terpancang kokoh semua ibadah. Ikhlas adalah membeningkan amal dari ragam ujub (berbangga diri). Keikhlasan merupakan baju kebesaran para santri.
Kedelapan, uzlah. Uzlah adalah mengucilkan diri dari makhluk. Bagi para santri, mereka selalu sibuk dengan Allah SWT, sehingga ia mengasingkan diri jauh dari hiruk pikuk dan keramaian. Uzlah tidak dipahami lari dari rumah lalu bersemedi di gua, berkawan kelelawar. Orang uzlah tetap ia menuntut ilmu atau memberi pengajaran, tetap pula berbaur dengan manusia untuk shalat jum’at dan sebagainya. Pada intinya, para ‘azil (orang uzlah) berkawan dengan orang-oramg shalih di majelis-majelis dzikir, dan majelis-majelis ilmu.
Kesembilan, menjaga Waktu. Imam Al-Syafi’i berkata, “Waktu laksana pedang, jika kau tidak mampu memenggal waktu maka waktu yang balik memenggalmu”. Waktu menjadi perhatian serius bagi para pencari ilmu (santri), hingga tak ada waktu sedetik pun yang ia gunakan, kecuali untuk ta’at. Ia senantiasa menjaga waktunya hingga penuh tanpa celah sedikitpun kecuali untuk ibadah, munajah (berdoa), muthalaah (belajar), qira’ah (membaca), tashnifah (menulis), dan mengamalkan keshalihan lainnya.
Kesepuluh, istiqamah. Para santri, mereka orang-orang yang konsisten (istiqamah) dalam menjalankan keshalihan.
Jika ada oknum pesantren (santri) keluar dari garis karakter sebagaimana dinyatakan di atas, maka keberadaannya patut dilabeli sebagai “santri palsu”. The real santri, ia yang memiliki misi “li-i’lai kalimatillah” (menjunjung tinggi kalimat Allah) dengan ditunjang oleh ragam karakter mulia lainnya.
Editor: Soleh