Sistem akreditasi pendidikan di Indonesia telah lama menjadi topik perdebatan, terutama dalam perannya sebagai alat penjamin mutu pendidikan. Meski akreditasi bertujuan untuk meningkatkan standar pendidikan nasional, kritik terus bermunculan, terutama mengenai bagaimana sistem ini berjalan. Banyak pihak menilai bahwa akreditasi hanya menjadi formalitas administratif, tanpa memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
Di tengah kondisi ini, pembentukan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah (BAN PDM) Provinsi pada seleksi di akhir tahun 2024 menawarkan peluang untuk membangun kembali kepercayaan terhadap akreditasi sebagai instrumen evaluasi dan peningkatan mutu pendidikan yang lebih bermakna.
Kritik Terhadap Sistem Akreditasi: “Akreditasi Tidak Menjamin Mutu”
Salah satu kritik paling tajam terhadap sistem akreditasi datang langsung dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa “akreditasi tidak menjamin mutu,” sebuah pernyataan yang mengungkap kelemahan mendasar dari sistem yang sudah lama berjalan.
Seperti yang sering terjadi, proses akreditasi lebih menekankan pada kepatuhan terhadap prosedur dan standar administratif, bukan pada evaluasi kualitas pembelajaran yang sebenarnya terjadi di ruang kelas. Sekolah sering kali hanya “bersolek” menjelang kunjungan asesor, mempersiapkan dokumen dan tampilan fisik sekolah demi mendapatkan nilai tinggi, tanpa memperbaiki aspek substansial yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Kritik lainnya terkait dengan kualitas asesor. Kompetensi dan pemahaman mereka terhadap instrumen akreditasi sering kali bervariasi. Di satu sisi, ada asesor yang sangat kompeten dan memberikan evaluasi komprehensif. Namun, tidak sedikit yang hanya menjalankan prosedur administratif tanpa benar-benar memahami atau mengevaluasi secara mendalam proses pembelajaran. Akibatnya, hasil akreditasi menjadi tidak konsisten dan kurang kredibel, sehingga status akreditasi yang diperoleh sekolah tidak selalu mencerminkan mutu pendidikan yang sebenarnya.
Selain itu, orientasi sistem akreditasi yang terlalu administratif juga menjadi sumber masalah. Banyak sekolah yang memperoleh nilai akreditasi tinggi hanya karena berhasil memenuhi persyaratan dokumen, meskipun kualitas pembelajarannya tidak optimal. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang berkinerja baik namun lemah dalam memenuhi tuntutan administratif justru sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang layak. Sistem ini mengakibatkan akreditasi kehilangan fungsinya sebagai alat yang objektif dan kredibel untuk menilai mutu pendidikan.
Transformasi Menuju Akreditasi Berbasis Kinerja
Menyadari berbagai kelemahan dalam sistem akreditasi, pemerintah Indonesia telah menginisiasi serangkaian reformasi penting yang bertujuan mengubah paradigma akreditasi, agar lebih relevan dan responsif terhadap kebutuhan satuan pendidikan. Salah satu langkah signifikan adalah pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan pengalihan fungsinya ke Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan. Dengan pengalihan ini, diharapkan tumpang tindih dalam penetapan standar dapat dihilangkan dan fokus lebih diarahkan pada peningkatan mutu hasil pendidikan.
Lebih jauh lagi, pemerintah juga tengah mendorong peralihan dari sistem akreditasi berbasis kepatuhan (compliance-based) ke sistem berbasis kinerja (performance-based). Ini adalah perubahan fundamental dalam cara kita mengevaluasi mutu pendidikan. Alih-alih hanya menilai kelengkapan dokumen, sistem berbasis kinerja akan mengukur capaian pendidikan berdasarkan hasil nyata terkait lingkungan pembelajaran yang berkualitas yang diturunkan menjadi 3 elemen kunci;
1) bagaimana Iklim Lingkungan Belajar tercipta secara positif di satuan pendidikan, 2) bagaimana Kepemimpinan kepalah sekolah yang berorientasi pada perbaikan layanan berkelanjutan, 3) bagaimana Kinerja pendidik dalam mengelola proses pembelajaran yang bermakna. Pendekatan ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih objektif dan komprehensif tentang mutu pendidikan, sehingga akreditasi benar-benar berfungsi sebagai alat evaluasi yang mendorong perbaikan berkelanjutan.
***
Selain itu, pemerintah juga sedang mengembangkan mekanisme akreditasi berbasis otomasi yang terintegrasi dengan data dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan rapor pendidikan. Dengan menggunakan data yang sudah tersedia, hasil dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), serta survei lingkungan belajar, proses akreditasi dapat dilakukan dengan lebih efisien dan akurat.
Sistem otomasi ini diharapkan dapat meminimalkan manipulasi data yang sering kali terjadi, sekaligus memungkinkan proses akreditasi yang lebih cepat dan andal. Langkah ini juga membantu menghilangkan ketergantungan pada inspeksi manual yang cenderung menciptakan celah untuk pencitraan semata.
Namun, reformasi ini bukan tanpa tantangan. Transisi menuju sistem berbasis kinerja membutuhkan perubahan budaya baik di dinas-dinas Pendidikan Tingkat provinsi dan Tingkat kabupaten/kota, organisaasi profesi dan di sekolah-sekolah. Para pemangku kepentingan tersebut harus mulai berpikir secara holistik, tidak hanya berfokus pada kepatuhan terhadap standar administratif, tetapi juga pada peningkatan kualitas pembelajaran yang nyata. Mereka juga harus lebih terbuka terhadap penggunaan data sebagai alat untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sekolah dalam menjalankan proses pendidikan.
Rekomendasi untuk BAN PDM Provinsi Ke depan
Salah satu tantangan utama dalam implementasi sistem akreditasi yang baru adalah meningkatkan kompetensi dan profesionalisme para asesor. BAN PDM Provinsi harus menjadikan pengembangan kapasitas asesor sebagai prioritas utama. Program pelatihan intensif yang berkelanjutan perlu diadakan, tidak hanya untuk memperdalam pemahaman mereka tentang instrumen akreditasi, tetapi juga untuk mengasah kemampuan dalam mengevaluasi konsep dasar lingkungan pembelajaran yang berkualitas secara holistik.
Asesor perlu memahami berbagai aspek yang mempengaruhi mutu pendidikan, termasuk pedagogi, manajemen sekolah, serta faktor lingkungan belajar. Dengan kompetensi yang lebih baik, diharapkan asesor dapat memberikan umpan balik yang lebih konstruktif kepada satuan pendidikan.
Pemetaan kompetensi asesor juga menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa proses akreditasi berjalan dengan adil dan efektif. Mengingat luasnya rentang pendidikan yang harus diakreditasi, dari PAUD hingga pendidikan menengah, BAN PDM perlu menempatkan asesor yang sesuai dengan bidang keahlian mereka.
Pemetaan ini akan memastikan bahwa asesor yang menilai suatu jenjang pendidikan memiliki pengetahuan mendalam tentang karakteristik dan tantangan unik di tingkat pendidikan tersebut. Selain itu, pembentukan tim asesor multidisipliner untuk melakukan akreditasi di sekolah juga dapat memperkaya perspektif dalam penilaian, sehingga hasil yang didapat lebih seimbang dan komprehensif.
Untuk mendukung transisi menuju sistem berbasis kinerja, BAN PDM juga perlu membangun mekanisme dukungan yang kuat bagi sekolah-sekolah. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menyediakan panduan praktis dan alat bantu bagi sekolah dalam mengadopsi pendekatan berbasis kinerja.
Selain itu, pelatihan bagi kepala sekolah dan guru tentang cara memanfaatkan data hasil asesmen dan survei untuk meningkatkan kualitas pembelajaran juga sangat diperlukan, hal ini dapat disinergikan dengan Unit Pelayanaan Teknis (UPT) di setiap Provinsi, yang bersinergi dengan dinas Pendidikan di Provinsi atau kabupaten/kota. Dengan dukungan yang tepat, sekolah-sekolah akan lebih siap menghadapi perubahan sistem dan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran secara berkelanjutan.
Integrasi Teknologi: Tantangan dan Peluang
Integrasi teknologi dalam proses akreditasi adalah langkah yang tak terhindarkan, namun tantangan infrastruktur teknologi di berbagai daerah masih menjadi hambatan serius. Banyak sekolah di daerah terpencil yang belum memiliki akses internet yang memadai, sehingga akan sulit bagi mereka untuk mengikuti proses akreditasi yang terintegrasi secara digital.
Untuk mengatasi masalah ini, BAN PDM perlu mengembangkan sistem yang fleksibel, yang memungkinkan sekolah-sekolah dengan keterbatasan teknologi tetap bisa mengikuti proses akreditasi. Sistem yang dapat berjalan secara offline maupun online akan memastikan bahwa seluruh sekolah, dimanapun lokasinya, tetap dapat diakreditasi tanpa harus bergantung pada infrastruktur teknologi yang canggih.
Pelatihan teknologi bagi kepala sekolah dan staf juga harus menjadi bagian dari strategi BAN PDM untuk mensinergikannya dengan Pusdatin dan dinas Pendidikan di daerah. Mereka perlu dilatih untuk tidak hanya memahami cara menggunakan sistem akreditasi berbasis teknologi, tetapi juga cara memanfaatkan data yang dikumpulkan melalui sistem ini untuk perbaikan kualitas pendidikan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang teknologi, sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dapat lebih siap menghadapi era baru akreditasi pendidikan yang berbasis data.
Pemanfaatan Hasil Akreditasi: Dari Laporan ke Tindakan Nyata
Salah satu kelemahan mendasar dari sistem akreditasi yang ada adalah kurangnya pemanfaatan hasil akreditasi untuk tindakan nyata. Sering kali, laporan hasil akreditasi hanya menjadi dokumen yang disimpan tanpa ada tindak lanjut yang konkret. Untuk mengatasi hal ini, BAN PDM Provinsi harus memastikan bahwa hasil akreditasi tidak hanya digunakan sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai dasar untuk perbaikan kebijakan pendidikan di tingkat sekolah dan nasional.
BAN PDM perlu mengembangkan mekanisme yang memungkinkan hasil akreditasi digunakan secara efektif dalam perencanaan dan implementasi program peningkatan mutu pendidikan. Ini bisa melibatkan pembentukan tim khusus yang menganalisis data hasil akreditasi, mengidentifikasi tren, serta merekomendasikan langkah-langkah perbaikan.
Selain itu, hasil akreditasi harus dikomunikasikan dengan cara yang mudah dipahami oleh semua pemangku kepentingan, termasuk kepala sekolah, guru, dan masyarakat, sehingga mereka dapat menggunakan informasi tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Kesimpulan: Membangun Masa Depan Akreditasi Pendidikan di Indonesia
Pembentukan BAN PDM Provinsi pada tahun 2024 yang akan memulai masa baktinya pada 2025 nanti, menandai langkah penting dalam reformasi sistem akreditasi pendidikan di Indonesia. Meskipun tantangan besar masih ada, reformasi yang telah dimulai memberikan harapan untuk membangun sistem akreditasi yang lebih kredibel, efektif, dan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan. Transformasi ini membutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, BAN PDM, hingga satuan pendidikan itu sendiri.
Perubahan paradigma akreditasi dari sistem berbasis kepatuhan ke sistem berbasis kinerja harus diiringi dengan perbaikan infrastruktur, peningkatan kapasitas asesor, serta dukungan teknologi yang memadai. Integrasi data melalui platform digital, seperti yang direncanakan melalui Dapodik dan AKM, merupakan langkah maju untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam proses akreditasi. Namun, tanpa perbaikan akses infrastruktur teknologi di berbagai daerah, potensi teknologi tersebut tidak akan optimal.
Sekolah-sekolah, terutama di daerah terpencil, harus dilibatkan secara intensif dalam reformasi ini. Perubahan sistem akreditasi tidak boleh menjadi beban tambahan bagi mereka, melainkan harus diiringi dengan dukungan yang tepat, seperti pelatihan dan panduan praktis. Hasil akreditasi juga harus dijadikan sebagai alat pemicu perubahan, tidak hanya sekadar laporan yang didokumentasikan. Sekolah perlu diberikan kesempatan dan sumber daya untuk memperbaiki kekurangan yang teridentifikasi melalui proses akreditasi.