Perempuan sering dalam posisi kalah. Kesaksiannya tidak diterima, bagian warisnya separo, aqiqahnya seekor dan shaf-nya di belakang laki-laki. Pemahaman fikih terhadap perempuan memang ‘kurang bersahabat’ bahkan, dalam fikih mapan, ada kecenderungan melemahkan secara sistemik. Tidak ada jawaban baku kenapa perempuan diperlakukan demikian.
Lantas siapa mau bela perempuan? Rasulullah saw berkata: ‘Sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut terhadap istrinya.
Kisah pilu perempuan sudahlah jamak. PBB (2017) menyebut bahwa perempuan di negara-negara berkembang rentan lapar dan hidup dibawah garis miskin, mendapat upah separo dan perlakuan buruk lainnya.
Perempuan tidak mendapat akses cukup. Pelemahan sistemik membuat posisi perempuan semakin marjinal. Pembelaan terhadap hak-hak perempuan juga tak cukup efektif. Hanya riuh di wacana tak cukup ampuh mengurai soal.
***
Di setiap negara, problem perempuan selalu berbeda. Meski bentuk kekerasan yang ditimpakan hampir serupa. Sebagian besar sistem sosial menempatkan perempuan pada posisi marjinal. Bahkan di kalangan agama-agama sekalipun, kekerasan teologis kerap menimpa perempuan.
Penelope Kemekenidou, aktivis perempuan Jerman mendirikan Gender Equality Media e.V. Karena prihatin dengan pembunuhan terhadap perempuan yang makin meningkat. Setiap dua hari ada satu perempuan yang dibunuh pasangannya.
Rebeca Lane, aktivis perempuan Guatemala ini menggerakkan perlawanan kolektif melawan sistem yang tidak berpihak pada perempuan. Ada hampir 91.000 kehamilan di antara usia sepuluh hingga 19 tahun. Dan itu, jika saya melihat usia seperti itu, tentu sering melalui pelecehan seksual.
Di negara-negara Arab teluk kurang lebih juga sama. ironisnya, kekerasan teologis terhadap perempuan justru tak masuk wilayah gender, mungkin terlalu sensitif. Wanita sholihah kerap digambarkan sebagai wanita yang taat pada suaminya dan rela mencarikan madu bagi dirinya.
***
Karena bentuk pengekangan terhadap perempuan itu tak kasat mata, banyak yang mengaku berjuang mendukung kebebasan perempuan muslimah. Padahal yang dimaksud dengan “kebebasan” adalah kondisi di mana perempuan “memilih” apa yang diinginkan laki-laki
Pada sisi lain, ada upaya menguatkan cara pandang patriarki yang menilai bahwa perempuan itu lemah sehingga harus dituntun, dipelihar, dan dikontrol agar tak mencoreng kehormatan keluarga. Patriarki menagih perempuan menyerah total pada kehendak laki-laki atas nama agama dan kultural.
Perlawanan perempuan atas dominasi laki-laki bukan hal baru. Bagi perempuan: Siti Marjinal bukan sosok perempuan sholihah yang ditutup mukanya dan rela di madu. meski perlawanan ini dicap sebagai pelanggaran dan dosa karena dianggap melawan iman.