Inspiring

Sjafruddin Prawiranegara: Gubernur Pertama BI dan Tafsir Bunga Bank

6 Mins read

Dalam rangka memperingati hari Bank Indonesia pada 5 Juli lalu. Kami bermaksud menuliskan perihal salah satu tokoh yang sangat monumental dalam tonggak kelahiran dan perjalanan bank sentral Indonesia, atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Bank Indonesia (BI). Tokoh tersebut adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Peran yang telah dilakoninya yang terekam oleh sejarah pun beragam alias multisektor. Selain peranannya dalam dunia politik, kebangsaan dan ekonomi. Beliau juga merambah hingga memberikan sumbangsih pemikirannya dalam konstelasi keilmuan di Indonesia.

Banyak tulisan yang sudah mengupasnya sebagai sosok presiden yang terlupakan. Hal tersebut berpijak pada jatuh bangun perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga mengantarkan seorang Sjafruddin Prawiranegara mendapatkan amanah dari Soekarno dan Hatta untuk memimpin pemerintahan darurat Republik Indonesia dalam waktu kurang lebih 270 hari.

Melalui narasi kecil ini, penulis bermaksud untuk mengupas tokoh ini dalam sisi pemikiran dan aksi nyatanya di sektor ekonomi, khususnya moneter. Fokus tulisan ini mencoba mengungkap benang merah pemikirannya terkait bunga bank serta peranannya di bank sentral Indonesia saat itu, dengan kebijakan fenomenalnya adalah ‘Gunting Sjafruddin’.

Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara berasal dari keluarga priayi Banten yang taat beragama. Lahir pada 28 Februari 1911 di Anyar Kidul, Kabupaten Serang, Banten. Adapun riwayat pendidikan Sjafruddin bermula dari ELS (Europeesche Lagere School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan AMS (Algemeene Middelbare School).

Karena alasan keuangan, Sjafruddin akhirnya memutuskan untuk mengambil kuliah di jurusan sosial ekonomi RHS (Rechts Hoge School). RHS setara dengan fakultas hukum di Jakarta dan tamat tahun 1939.

Setelah lulus, riwayat karir dan jabatan Sjafruddin sangat banyak, beliau memulai karirnya sebagai karyawan hingga pimpinan tertinggi. Beberapa kali diamanahi menjadi Menteri Keuangan dan menginisiasi penyebutan mata uang RI pertama dengan sebutan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).

Sjafruddin juga pernah diamanahi sebagai Menteri Kemakmuran, Perdana Menteri RI, ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), wakil Perdana Menteri RI, Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia yang pertama dengan dua kali masa jabatan, pimpinan Masyumi, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, ketua Korps Mubaligh Indonesia, dan sebagainya.

Sjafruddin Prawiranegara, selain menjadi tokoh negarawan yang islami, beliau juga dikenal sebagai ekonom yang islami. Karya-karyanya dalam hal ekonomi antara lain meliputi: Apa yang Dimaksud dengan Sistem Ekonomi Islam (1967) serta Agama dan Ideologi dalam Pembangunan Ekonomi dan Bangsa (1971).

Karya-karyanya yang mengulas tentang pandangan ekonomi Islam sangatlah khas dan memiliki keunikannya sendiri. Hal ini karena karya-karyanya sangat kental dengan nuansa Islamic Worldview sehingga menginspirasi pembacanya sekaligus memberikan gambaran ke depan.

Tafsir Bunga Bank

Sjafruddin Prawiranegara memang bukanlah seorang tokoh pemikir Islam, tapi beliau adalah seorang praktisi dan pemegang kebijakan ekonomi. Sjafruddin pun tidak memiliki riwayat mengenyam pendidikan Islam secara khusus dan sistematis. Selain hanya belajar membaca al-Quran di rumah saudara orang tuanya saat kecil di Banten.

Baca Juga  Buya Syafii: Agama dan Kebhinekaan untuk Kemanusiaan Universal

Disebabkan dorongan rasa tanggung jawabnya yang tinggi terhadap masyarakat Islam, Sjafruddin dewasa banyak menggali Islam melalui diskusi dengan para tokoh muslim dan membaca berbagai literatur keislaman yang masuk kriteria unik. Itulah yang menjadikan Sjafruddin berbeda dengan tokoh muslim Indonesia pada umumnya.

Dalam hal diskursus mengenai riba, beberapa faktor yang harus diperhatikan menurut Sjafruddin Prawiranegara adalah: Pertama, terjemah harfiyah kata riba itu memang berarti tambahan. Kedua, lawan riba adalah keuntungan dari jual beli yang bersih, yang berdasarkan kesukaan timbal balik antara yang membeli dan yang menjual.

Dari kedua faktor tersebut ditambah justifikasi ayat-ayat al-Quran atas tafsirnya, Sjafruddin melakukan pelurusan sekaligus pembelaan bahwa menurutnya tuduhan atas praktik riba hanya ada di bunga bank itu tidak kontekstualis.

Mengapa demikian? Secara terminologi, Sjafruddin mendefinisikan riba merupakan segala keuntungan yang diperoleh melalui transaksi atau perjanjian dengan pihak yang kedudukan ekonominya kuat mengambil keuntungan melampaui batas dari pihak mitra yang kedudukan ekonominya lebih lemah.

Definisi ini disimpulkan oleh Sjafruddin berdasarkan penafsirannya atas surat al-Baqarah ayat 275. Dikatakan bahwa basis keharaman riba menurut Sjafruddin mirip dengan perdagangan, tentu perdagangan yang di dalamnya terkandung kebatilan maka diharamkan.

Adapun terkait alat analisisnya, Sjafruddin menggunakan surat an-Nisa ayat 29 terkait 2 model transaksi jual beli, yakni yang dilarang karena ada unsur kebatilan dan yang tidak dilarang otomatis karena mengandung unsur suka sama suka.

Sehingga berdasarkan definisinya ini, Sjafruddin mengkritisi pandangan ulama kebanyakan yang menyatakan bahwa riba hadir pada bunga kredit dan bank.

Riba dan Keuntungan

Menurut Sjafruddin Prawiranegara, apakah fair jika klaim jamak dari khalayak bahwa sekecil apapun persentase bunga kredit bank adalah riba dan haram. Sedangkan keuntungan berlebihan dalam transaksi jual beli nakal tetap halal karena itu bukan riba.

Sjafruddin mencontohkan, kalau misal seseorang meminjam uang kepada B dengan bunga 6% setahun, bunga itu adalah keuntungan dari kredit berupa pinjaman uang. Di sisi lain, seorang penjual yang menjual sebuah buku kepada B atas kredit harga tunai adalah Rp 100.000 dengan keuntungan Rp 30.000. Jika dijual secara non-tunai atau kredit maka harganya menjadi Rp 120.000. Sehingga, penjual mendapat tambahan keuntungan sebesar Rp 20.000 dalam tiga bulan.

Ilustrasi tersebut tentu tidak fair menurut Sjafruddin, karena bunga atau rente dari lembaga keuangan (bank) yang 6% setahun itu dilarang. Sedangkan tambahan keuntungan sebesar Rp 20.000 dalam tiga bulan atas pokok (harga tunai) Rp 100.000 atau sekitar tingkat bunga 80% setahun dihalalkan.

Baca Juga  Musdah Mulia, Pembela HAM dan Demokrasi yang Kontroversial

Padahal kita semua tahu, transaksi tersebut di atas merugikan salah satu pihak dengan melipatgandakan keuntungan atas tambahan waktu pembayaran. Maka, tandas Sjafruddin keduangan harus sama-sama dinamakan riba dan diharamkan.

Sehingga jelas, kriteria riba menurut pandangan Syafruddin Prawiranegara adalah segala keuntungan yang diperoleh berdasarkan transaksi atau perjajian di mana satu pihak menyalahgunakan kedudukan ekonominya untuk mengambil keuntungan yang melewati batas dari pihak lawan yang ekonominya lebih lemah.

Menurut al-Quran dan hadis maupun menurut logika biasa tidak ada alasan dalam mengharamkan bunga yang normal. Karena riba itu tetap ada dan tetap haram, tetapi kontekstualisasi atas persoalan sosial ekonomi di masing-masing wilayah harus mampu diterjemahkan secara arif menurut Sjafruddin.

Corak pemikiran Sjafruddin adalah sama dengan corak khas dari penafsiran Fazlur Rahman, yakni gaya tafsir tematiknya yang merupakan tafsir Quran bi al-Quran. Hal ini tidak lepas dari rujukan maupun referensi yang dibaca oleh Sjafruddin.

Pembentukan Bank Indonesia

Selain amanah fenomenal yang pernah diembannya, yakni presiden pada pemerintahan darurat Republik Indonesia. Sjafruddin merupakan langganan diposisikan sebagai pionir atas amanah penting lainnya, seperti Menteri Keuangan pertama kali pada 1946.

Sjafruddin lalu menjabat Menteri Keuangan lagi pada masa kabinet Hatta dengan melakukan kebijakan moneter fenomenalnya ‘Gunting Sjafruddin’.  Lalu dipercaya menjadi Gubernur Bank Indonesia yang pertama pada 1951 pasca pengalihan De Javasche Bank (DJB).

Menjadi Pemimpin untuk sebuah lembaga baru tentu bukan hal yang mudah, namun Sjafruddin terpilih karena kapasitas keilmuan dan kepemimpinannya yang telah teruji dalam pemerintahan maupun proses hidup berbangsa dan bernegara.

Kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 ternyata belum cukup untuk menjadikan Indonesia terbebas dari belenggu penjajah Belanda. Baik dalam hal pemerintahan maupun sektor sosial ekonomi.

Hingga tahun 1950, Indonesia harus didikte kembali oleh Belanda untuk mengatur lembaga otoritas moneter. Hal ini dilakukan melalui nasionalisasi DJB menjadi Bank Sentral Indonesia atau yang kita kenal hari ini dengan Bank Indonesia pasca KMB pada 1950.

Sementara itu, pada 5 Juli 1946, pemerintah RI telah mengeluarkan undang-undang darurat terkait pendirian Bank Nasional Indonesia yang merupakan bagian dari lanjutan pembentukan Yayasan Bank Indonesia pada 1945.

Namun, niat untuk menjadikan BNI sebagai Bank Indonesia harus kandas karena kondisi darurat Indonesia saat itu. Terlebih karena peralihan penjajah dari Belanda ke Jepang hingga deklarasi Kemerdekaan RI pada Agustus 1945.

BI Menjadi Bank Sentral

Sampai akhirnya, pemerintah Indonesia harus menelan pil pahit atas keputusan KMB pada 2 November 1949 yang mengharuskan DJB ditetapkan menjadi bank sentral bagi RI. Keputusan ini berdasarkan SK presiden Soekarno atau disebut dengan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No. 11 tahun 1953.

Baca Juga  Tim Kesebelasannya Kalah 9 : 0, Pak AR: Sekali-kali Membuat Lawan Gembira

Dengan demikian, Bank Indonesia resmi menjadi bank sentral Indonesia. Adapun peresmian BI sebagai bank sirkulasi tercatat pada 10 April 1953 dan mulai berlaku 1 Juli 1953. Sedangkan BNI yang awalnya digadang-gadang menjadi Bank Sentral Indonesia dialihkan menjadi bank pembangunan RI.

Bank Indonesia menjadi lembaga yang memiliki otoritas kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran serta stabilitas sistem pembayaran. Selain itu, BI menjadi lembaga yang memiliki hak otoritatif dalam mencetak dan mengedarkan uang.

Sjafruddin Prawiranegara adalah kalangan pribumi terakhir yang menjadi Presiden Direktur DJB sebelum dilakukan nasionalisasi menjadi Bank Sentral Indonesia. Lalu, setelah resmi berubah menjadi Bank Indonesia, Sjafruddin juga lah yang menjadi Gubernur pertama Bank Sentral Indonesia.

Perbedaan BI dengan DJB

Beberapa perbedaan antara BI dengan DJB dimulai dari perbedaan unsur pimpinan dan direksi, BI terdiri dari dewan moneter, direksi, dan dewan penasehat. Dalam struktur inilah, Sjafruddin memiliki tawaran yang berbeda di awal perumusan UU pokok Bank Indonesia.

Dalam laporan tahunan DJB tahun 1951/1952, Sjafruddin selaku Presiden DJB saat itu mengungkapkan kekhawatirannya bahwa hak bank sirkulasi untuk mencetak dan mengedarkan uang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sumber keuangan.

Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut, Sjafruddin mengusulkan agar perlu dibentuk Dewan Koordinasi. Dewan inilah yang akan bertindak sebagai jembatan antara kepentingan pemerintah sebagai pemilik dengan pihak bank sentral yang memerlukan independensi dalam hal penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter.

Kekhawatiran Sjafruddin di atas cukup beralasan, karena Dewan Moneter yang dibentuk berbeda dengan pemikiran idealnya. Sebelumnya, DJB dan pemerintah berdiri secara terpisah. Sementara pada periode BI, garis organisatoris itu menjadi kabur karena Dewan Moneter ditempatkan di atas direksi BI.

Menurut Sjafruddin, susunan dan tugas Dewan Moneter diatur dalam undang-undang tersendiri. Sedangkan dari sisi bentuk badan hukum, BI didasarkan pada undang-undang.

Dari sisi tugasnya, yang membedakan BI dengan DJB menurut UU No. 11/1953 adalah BI bertugas memajukan perkembangan perbankan yang sehat berkaitan dengan urusan kredit dan urusan bank di Indonesia. Artinya BI memiliki wewenang dalam bidang moneter dan perbankan.

Adapun letak perbedaan dalam independensi, Bank Indonesia mengakomodasi unsur pemerintah di dalam struktur organisasinya. Mereka adalah Menteri Keuangan dan Menteri Perekonomian sebagai ketua dan anggota Dewan Moneter.

Kekuasaan Dewan Moneter ini sangatlah kuat, karena selain menetapkan kebijakan umum di bidang moneter. Dewan Moneter juga menetapkan hal-hal lain yang dianggap terkait dengan kepentingan umum, termasuk penetapan tarif-tarif bank. Sedangkan DJB independen, kecuali untuk satu dan lain hal saat itu.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Dosen Prodi Perbankan Syariah FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *