Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, mencari alternatif pandangan hidup adalah suatu hal yang wajar jika stoikisme telah ramai dijadikan pembahasan. Dengan sebuah premis yang menawarkan beberapa konsep pengelolaan emosi itu, stoikisme kiranya berhasil memperlihatkan kepada manusia modern bahwa kebajikan adalah yang utama dari segala situasi kehidupan. Kini manusia modern seolah-olah mendapat obat mujarab atas disrupsi yang menyerang kondisi eksistensial mereka.
Tetapi, meski demikian maraknya stoikisme dibahas – sebagai salah satu pembelajar stoikisme, belakang ini saya menyadari ada beberapa kerancuan praktik yang dialami para stoik, terutama pada anak-anak remaja. Seperti misalnya, suburnya aktivitas rebahan, kemalasan berpikir kritis, sikap toxic positivity, bahkan sampai pada perilaku anti sosial.
Setelah saya amati, kerancuan tersebut ternyata berakar dari mereka yang gagal paham dengan prinsip yang biasa disebut “dikotomi kendali”. Sehingga, entah mereka secara sadar ataupun tidak, seolah-olah stoikisme disimpulkan sebagai dalil untuk menormalisasi keangkuhan.
Dengan dampak seperti itu, bukan lantas kita menganggap prinsip “dikotomi kendali” itu salah, atau stoikisme adalah aliran filsafat yang sesat. Tetapi keberadaan stoikisme musti kita pahami kembali meskipun menjadi suatu pemikiran filsafat yang terkesan praktis dan sederhana.
Bertumpu pada ceramah para ahli dan buku bacaan tentang stoikisme, tulisan ini nanti akan mengupas beberapa kerancuan yang sudah disebutkan, dan menegaskan kembali prinsip stoikisme yang sepertinya lepas dari interpretasi para stoik pemula.
Kesalahpahaman Dikotomi Kendali
Ketika membaca ‘dikotomi kendali’, pemahaman kita pasti tidak jauh-jauh dari apa yang ada dalam kendali, dan yang ada di luar kendali. Itu hal yang saya pikir sudah terlampau klise bagi para pembelajar stoikisme. Bahkan, saya berani jamin kalau kebanyakan para pembelajar stoik sebenarnya hanya takjub dengan prinsip tersebut.
Tepat di situ, kita perlu berhati-hati, meskipun pemahaman tersebut terkesan sederhana, tapi tidak sedikit orang yang gagal paham.
Dikotomi kendali adalah doktrin yang dibawa oleh Epictetus. Di balik prinsip itu, Epictetus berargumen bahwasannya untuk mendapatkan kebajikan, manusia haruslah memeriksa kesan atas apa yang sudah terjadi. Pemeriksaan kesan bukan berarti sebatas apa yang tidak bisa dipikirkan dan apa yang bisa dipikirkan.
Di titik inilah yang kadang kebanyakan orang gagal paham; yang akhirnya mengakibatkan malas dalam berpikir, terlebih lagi menyuburkan aktivitas rebahan. Mungkin mereka mengira, memikirkan hal yang rumit adalah hal di luar kendali, dan yang sederhana berada di dalam kendali.
Kesalahpahaman itu seakan-akan mengandaikan bahwa stoikisme ialah aliran filsafat yang meminimalisir pendayagunaan akal. Padahal, kalau kembali pada prinsip dikotomi kendali itu sendiri, kita justru dituntun untuk berfokus pada akal, atau sebutan popularnya, “hidup selaras dengan alam”. Bukan berarti yang dimaksud akal sebagai satu-satunya sumber kebajikan, melainkan hanya dengan akal, manusia bisa mencapai sumber kebajikan. Dari pandangan inilah stoikisme memetakan perbedaan kendali sebagai tugas utama akal.
Fakta dan Makna: Dikotomi Kendali
Saya punya pendapat alternatif agar memahami dikotomi kendali bisa lebih sederhana. Dalam hidup, kita selalu bertemu dengan keadaan, dan di dalam keadaan, pasti tidak lepas dari fakta dan makna. Untuk mengetahui perbedaannya, kita haruslah memandang keadaan secara apa adanya.
Sebagai contoh, ketika kita terpeleset di kamar mandi, umumnya kita akan jatuh dan merasakan sakit. Terpeleset di kamar mandi dan rasa sakit, itu sebuah fakta. Sedangkan soal terpeleset di kamar mandi adalah kesialan, lalu mengumpat karena membuat kita terlambat pergi ke kampus (misalnya), itu sebuah makna.
Di antara fakta dan makna, tentunya kita sepakat bahwa yang bisa diubah adalah makna dan bukan fakta. Tepat di titik ini, kita pasti bertanya-tanya: lalu, di antara fakta dan makna, apa saja yang berkaitan dengan dikotomi kendali?
Fakta, itu sifatnya eksternal, di luar kendali kita. Di antara contoh yang mudah dipahami: perkataan orang lain, perasaan orang lain, pikiran orang lain, waktu, kondisi cuaca, dan hal-hal yang terjadi. Sementara makna, itu sifatnya internal, dan inilah yang di dalam kendali kita, yaitu ‘pikiran kita sendiri’.
Jadi, kalau kita sudah benar-benar memahami fakta dan makna di dalam sebuah keadaan, maka dikotomi kendali pun akan bisa diterapkan. Memang tak mudah, tapi setidaknya, di sini saya sudah memperjelas bahwa dikotomi kendali tidak berarti menyuruh manusia untuk malas berpikir, atau bahkan melestarikan rebahan.
Stoikisme bukan Toxic Positivity
Di tengah beragamnya interpretasi tentang stoikisme, tak sedikit juga yang mengkritiknya. Salah satu yang paling sering digaungkan adalah stoikisme seolah-olah sama dengan toxic positivity. Setelah saya telaah, hal itu lagi-lagi berakar dari kesalahpahaman terhadap dikotomi kendali.
Menurut sumber terkait, toxic positivity merupakan gagasan tentang seseorang yang selalu mengenyampingkan emosi negatif dan mentiranikan emosi positif. Orang yang terkena toxic positivity ini seringkali memproyeksikan citra positif kepada apapun, bahkan saat tidak merasa positif.
Demikian juga, kondisi semacam itu yang akhirnya membuat orang jadi anti sosial, sombong, dan kurang berempati. Sebab, orang yang toxic positivity tidak membiarkan perasaannya melihat hal yang seharusnya terjadi atau dirasakan.
Tentu saya kurang sepakat jika stoikisme atau dikotomi kendali disamakan dengan toxic positivity. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas tadi, bahwa dikotomi kendali itu mengajarkan manusia untuk melihat sesuatu/keadaan secara apa adanya. Orang yang berpendirian stoik¾walaupun suatu keadaan terasa sepenuhnya positif, ia selalu yakin kalau di dalam dirinya ada kekurangan yang perlu diperbaiki.
Ini bukan berarti orang stoik selalu tidak puas dengan pencapaiannya, tetapi stoikisme menganggap bahwa kebahagiaan (eudamonia) yang hendak dicapai manusia sebagai makhluk yang terbatas, itu berkorelasi dengan hidup yang bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik (kebajikan).
Stoikisme Tidak Sesederhana Itu
Melihat kesalahpahaman yang terjadi, sepertinya kita harus jujur kalau stoikisme bukan ajaran yang absolut praktis dan pasif. Sebagaimana yang diungkapkan Masimmo Pigliucci dalam bukunya berjudul, “Stoik: Apa dan Bagaimana”, bahwa tidak ada satu cara tunggal, tidak ada pula seperangkat doktrin baku semacam katekismus – yang menurutnya positif tanpa memenuhi syarat. Stoikisme hadir sama seperti aliran filsafat yang lain, yaitu perlu pembiasaan, ketekunan latihan, dan tentu kesabaran ketika menerapkannya.
Tidak luput juga dari sematan-sematan terhadap stoikisme yang katanya ajaran pasif, tulisan ini bisa menjadi penanda kalau stoikisme bukan mengajarkan manusia untuk, malas berpikir, melanggengkan rebahan, bersikap angkuh, anti sosial, ataupun yang paling ekstrim, “fatalistik”. Hanya saja, mengapa ia kemudian terkesan degradatif? Itu karena interpretasi yang bercorak pragmatis.
Editor: Soleh