Tarikh

Strategi Diplomasi Politik antara Hasan dan Muawiyah

3 Mins read

Pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib, kursi kekhalifahan digantikan oleh anaknya sendiri, yaitu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dibaiat oleh Qays bin Sa’ad (salah satu pengikut Ali) tepat pada bulan Ramadhan tahun 41 H/661 M.

Menurut Ibnu Al-Bakar bin Abdullah, terdapat kurang lebih 40.000 orang dari para pendukung Ali yang berupaya menstabilkan kondisi perpolitikan, dengan cara menjadikan Hasan sebagai pengganti kekhalifahan, kemudian dikuti oleh umat muslim lainnya (Murodi, 2011).

Namun, Muawiyah tidak mengakui Hasan sebagai khalifah, dan tetap berambisi untuk menjadi pemimpin. Karena ia sangat memahami gejolak perpolitikan sejak masa Nabi hingga masa Khulafaur Rasyidin. Bahkan, ia telah menduduki posisi gubernur pada masa Usman bin Affan.

Pendamai Antara Perselisihan Dua Golongan Besar

Muawiyah ingin menuntut balas atas kematian Usman, dan merasa berhak untuk menjadi pemimpin umat Islam (Ali Muhammad Ash-Salabi, 2017). Salah satu usaha Muawiyah dalam menjadi pemimpin yaitu dengan menyusun strategi untuk melawan Hasan, karena ia mengetahui bahwa Hasan tidak memiliki pengalaman sebagai pemimpin.

Ketika terdengar berita Muawiyah akan melakukan penyerangan kepada Hasan, maka Qays memberi saran untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Sesungguhnya, Hasan bin Ali tidak menyukai adanya peperangan, tetapi dengan terpaksa, akhirnya menerima tawaran tersebut.

Lantas, Hasan mengutus Qays, dengan mengirim 12.000 pasukan. Ketika berada di Madain, Muawiyah membuat strategi untuk menyebarkan berita kematian Qays. Tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut, Hasan langsung menghentikan serangannya, dan menyelesaikannya dengan cara perdamaian.

Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan kemudian melakukan tukar menukar utusan. Muawiyah mengirim utusan dari Bani Quraisy untuk menawarkan perdamaian kepada Hasan, dengan jaminan akan memberikan keselamatan atas dirinya dan keluarganya atas pertikaian umat Islam, serta seluruh permintaan Hasan akan dikabulkan Muawiyah. Sehingga, Hasan bersedia melakukan perdamaian dengan Muawiyah (Ali Muhammad Ash-Salabi, 2017).

Baca Juga  Janissary: Pasukan Terkuat Milik Kesultanan Turki Utsmani

Hasan mengambil keputusan ini, karena ia tidak ingin terjadi perpecahan antara umat Islam dan ia merasa tidak mampu menjadi khalifah, atau kemungkinan Hasan diteror orang-orang yang tidak menyukainya. Untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya, maka tidak ada jalan lain selain berdamai dengan Muawiyah (Al-Hamid Al-Husaini, 1989).

Selain itu, terdapat hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Bakrah, yang menyatakan bahwa cucunya kelak akan menjadi pendamai antara perselisihan dua golongan besar:

“Aku melihat Nabi di atas mimbar, sementara Hasan di sampingnya. Kadang beliau melihat hadirin, kadang beliau melihat Hasan. Kemudian Nabi bersabda: “Cucuku ini adalah pemimpin. Semoga Allah menjadikan perdamaian dua kelompok besar yang bertikai”.

Kesempatan ini memberikan peluang besar bagi Muawiyah untuk mendudukkan posisi kepemimpinan. Ia memberikan berbagai tawaran diplomasi kepada Hasan, hingga tidak ada jalan lain selain melakukan perdamaian dengan Muawiyah.

Hasan kemudian mengutus ‘Amr bin Sulayman untuk mengirimkan surat perdamaian kepada Muawiyah. Surat tersebut berisi tentang pesyaratan dan legalitas kepemimpinan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah, jika ingin menggantikan kepemimpinan.

Isi Surat Pernyataan Hasan bin Ali

Berikut isi surat pernyataan yang diajukan Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan:

Pertama, Hasan meminta Muawiyah agar selama kepemimpinannya, ia mengamalkan Al-Qur’an, sunah Rasulullah saw., dan sunah Khulafaur Rasyidin, sebagai bentuk penghormatan kepada kekhalifahan sebelumnya.

Kedua, Muawiyah harus memberikan kompensasi finansial kepada Hasan bin Ali. Salah satu persyaratannya adalah Muawiyah harus memberikan sebagian harta dari Baitul Mal kepadanya.

Ketiga, Muawiyah harus memberikan jaminan keamanan harta dan jiwa kepada Hasan bin Ali dan para pengikutnya. Selain itu, Hasan meminta kepada Muawiyah untuk tidak memungut apa pun dari masyarakat Hijaz, Irak, dan Madinah (Ali Muhammad Ash-Salabi, 2017).

Baca Juga  Muhammad Abduh (9): Akhir Hayat Sang Mujaddid

Keempat, Muawiyah tidak boleh mencela Ali bin Abi Thalib dan seluruh keluarganya. Hingga akhirnya persyaratan tersebut disetujui oleh kedua pihak, kemudian Hasan mengirimkan surat kepada Muawiyah untuk bertemu di Maskin.

Setelah itu, keduanya berunding. Tidak saling bertemu secara langsung, akan tetapi saling berseberangan di Jembatan Manhaj. Peristiwa tersebut berlangsung selama tujuh hari. Di hari terakhirnya, Muawiyah mengajukan permintaan kepada Hasan untuk menyerahkan Qays agar dipotong tangan dan lidahnya, akan tetapi Hasan menolaknya.

Hasan mengancam apabila Muawiyah tetap melaksanakan kehendaknya atas permintaan tersebut, maka tidak akan dibaiat. Melihat ancaman tersebut, Muawiyah membatalkan keinginannya. Lunaknya Muawiyah karena permintaannya ditolak, merupakan bentuk siasat agar Hasan segera menyerahkan kekuasaan.

Hingga pada 41 H atau 611 M, Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah (Murodi, 2011). Peristiwa inilah yang menjadikan bukti atas hadis Nabi Muhammad saw. yang memuat tentang Hasan akan menyatukan perselisihan antara dua kelompok besar.

Menurut Al-Biquni, “Turunnya Hasan dari kekuasan mengindikasikan tentang kebolehan pemimpin mengundurkan diri dari kepemimpinannya.” (Imam Jamaluddin as-Suyuti, 2006). Proses pembaiatan Hasan dan Muawiyah berlangsung di Kufah, seluruh pemimpin dan pengikut berkumpul untuk berbaiat kepada Muawiyah.

Pada akhirnya, kepemimpinan Muawiyah diakui oleh Hasan beserta seluruh masyarakat Kufah. Kemudian, Muawiyah menuju Basrah untuk meminta masyarakat berbaiat kepadanya. Akan tetapi masyarakat tidak mau berbaiat kepada Muawiyah, sebab menurut mereka, harta umat Islam tidak boleh diserahkan kepada siapa pun dengan cara yang tidak sah.

Meski demikian, karena telah memperoleh pengakuan kekuasaan dari Hasan bin Ali, Muawiyah tetap melakukan propaganda ke semua masyarakat agar tunduk kepadanya (Murodi, 2011). Hingga seluruh umat Islam bersatu kembali di bawah kepemimpinannya.

Baca Juga  Bolehkah Kita Meragukan Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan?

Hidayatul Musthofiya
1 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Hadis di UIN Sunan Ampel
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds