Perspektif

Sudahkah Kajian Keislaman Ramah Disabilitas?

4 Mins read

Kegiatan kajian keislaman yang melibatkan jama’ah penyandang disabilitas kini mulai hadir di berbagai daerah melalui komunitas atau organisasi keagamaan masyarakat. Hal ini muncul, salah satunya, karena meningkatnya kesadaran masyarakat dan tokoh agama terhadap aksesibilitas keagamaan bagi penyandang disabilitas. Perkembangan ini merupakan langkah yang patut diapresiasi dan perlu terus ditingkatkan agar penyandang disabilitas diberdayakan secara optimal dalam mengakses, memahami, dan berkontribusi dalam kegiatan keagamaan.

Tulisan ini merupakan refleksi dan pengalaman penulis saat terlibat dalam kegiatan kajian keislaman yang melibatkan jama’ah penyandang disabilitas. Pengalaman tersebut memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya inklusivitas dalam kegiatan keagamaan. Tulisan ini juga bertujuan untuk mengajak pembaca memahami tantangan dan solusi dalam menciptakan lingkungan yang aksesibel bagi semua.

Tersedianya Aksesibilitas Kajian Ramah Disabilitas

Setiap individu berhak memperoleh akses terhadap kegiatan keagamaannya, termasuk penyandang disabilitas. Kegiatan kajian Islam perlu menciptakan lingkungan yang inklusif, baik dari segi fisik bangunan maupun sikap masyarakatnya. Oleh karena itu, ketika mengadakan kajian yang melibatkan jama’ah penyandang disabilitas, aksesibilitas menjadi hal yang harus diperhatikan.

Bangunan fisik seperti masjid, gedung dakwah, atau lokasi lain yang digunakan untuk kajian keislaman perlu dilengkapi fasilitas yang ramah disabilitas. Agar jama’ah penyandang disabilitas dapat mengaksesnya secara setara. Dengan penyediaan fasilitas seperti ramp atau jalur landai untuk pengguna kursi roda maupun lansia, penyandang disabilitas tidak hanya diberi akses, tetapi juga diberdayakan untuk terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan.

Guiding block juga dapat menjadi fasilitas pendukung aksesibilitas bagi jama’ah penyandang disabilitas netra. Selain itu, kehadiran pendamping untuk membantu mobilitas jama’ah penyandang disabilitas netra menjadi salah satu fasilitas yang dapat disediakan. Penyelenggara dapat memberikan pelatihan terlebih dahulu kepada pendamping agar dapat berinteraksi dan memberikan layanan dengan tepat.

Baca Juga  Sekularisasi, Langkah Akhiri Absolutisme Agama

Selain itu, juru bahasa isyarat perlu dihadirkan dalam kegiatan kajian Islam untuk memenuhi kebutuhan aksesibilitas bagi jama’ah penyandang disabilitas rungu atau Tuli. Kehadiran juru bahasa isyarat harus dipastikan dapat diakses dengan baik oleh jama’ah Tuli. Tujuannya adalah memastikan informasi tersampaikan dengan jelas. Oleh karena itu, juru bahasa isyarat tidak boleh hanya menjadi “hiasan” yang duduk di depan panggung, tetapi tidak dapat diakses jama’ah Tuli karena posisinya terlalu jauh atau terhalang tembok dan tiang.

Lebih dari itu, dalam kegiatan keagamaan seperti ibadah atau kajian, aksesibilitas tidak hanya terbatas pada aspek fisik. Pemahaman masyarakat, jama’ah, atau umat terhadap kebutuhan penyandang disabilitas menjadi hal yang sangat penting. Sensitivitas terhadap disabilitas menjadi dorongan utama untuk mendukung lingkungan keagamaan yang inklusif.

Seperti yang disampaikan seorang teman Katolik dalam diskusi bertema “Disabilitas dalam Sudut Pandang Agama-agama #1” yang diselenggarakan oleh HIMA PLB UNY beberapa bulan lalu, gereja bukan sekadar bangunan, tetapi umat yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, inklusivitas tidak hanya berhenti pada penyediaan fasilitas fisik, tetapi juga pada kesadaran umat sebagai penggeraknya.

Berhenti Menjadikan Penyandang Disabilitas sebagai “Bahan Bersyukur”

Bersyukur merupakan bagian dari ibadah dan penghambaan setiap hamba kepada Tuhannya. Syukur adalah wujud ibadah sekaligus bentuk pengakuan atas segala nikmat yang diberikan Allah. Kewajiban dan keutamaan bersyukur, serta peringatan bagi yang lupa bersyukur, juga tertuang dalam firman-Nya di kitab suci. Oleh karena itu, saling mengingatkan untuk bersyukur adalah bentuk kebaikan, terutama dalam majelis atau kajian keislaman.

Namun, berdasarkan pengalaman penulis dalam mengikuti beberapa kajian keislaman yang melibatkan jama’ah penyandang disabilitas. Tidak jarang penyampai materi mengajak bersyukur dengan cara yang kurang tepat. Dalam beberapa kesempatan, da’i mengajak jama’ah untuk bersyukur dengan merujuk pada kehadiran jama’ah penyandang disabilitas, seolah-olah disabilitas hanya menjadi objek rasa syukur, bukan kelompok yang perlu dihormati dan disabilitas diberdayakan secara setara dalam ruang keagamaan.

Baca Juga  Disability Awareness: Revolusi Mental Generasi Milenial Melalui Pendekatan Literasi Keagamaan

Contohnya, “Mari kita bersyukur atas nikmat Allah yang telah memberikan kesempurnaan dalam hidup, sementara masih ada saudara-saudara kita yang mendapat keistimewaan dan keterbatasan dari Allah.”

Narasi seperti ini tidaklah tepat. Kalimat tersebut justru menciptakan sekat, seolah-olah mengajak jama’ah non-disabilitas untuk merasa “sempurna” dan menegaskan bahwa jama’ah penyandang disabilitas adalah manusia yang “tidak sempurna”. Padahal, kajian keislaman yang melibatkan penyandang disabilitas diharapkan dapat menghapus sekat-sekat demi mewujudkan inklusivitas secara menyeluruh. Narasi yang kurang tepat justru dapat menghambat tujuan tersebut.

Ajakan bersyukur seharusnya ditujukan kepada semua orang, karena setiap kehidupan manusia selalu dipenuhi kebaikan dari Allah. Keragaman kondisi dan cerita kehidupan adalah dinamika masing-masing individu dalam menjalani perjalanan hidup di dunia.

Disabilitas Bukan Dikasihani tapi Diberdayakan!

Tidak jarang masyarakat memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang lemah dan tidak berdaya sehingga perlu dikasihani. Padahal, ketidakberdayaan yang dialami penyandang disabilitas sering kali disebabkan oleh lingkungan sosial yang membatasi dan tidak memberikan kesempatan serta akses untuk berkembang.

Dalam kajian keislaman atau kegiatan lainnya yang melibatkan penyandang disabilitas. Penting untuk memahami bahwa mereka tidak membutuhkan rasa kasihan terhadap kondisi yang menjadi identitas mereka. Seperti yang disampaikan teman-teman penyandang disabilitas, mereka membutuhkan kesempatan yang setara dan ruang untuk mengembangkan diri, yang selama ini sering diabaikan.

Menghormati dan memberdayakan penyandang disabilitas perlu dimulai dari pola pikir yang memandang mereka setara, dengan hak dan kesempatan yang sama. Kajian keagamaan memiliki peran penting dalam membangun pemahaman keagamaan yang inklusif dan berkeadilan. Sehingga dapat membentuk masyarakat yang saling menghormati dan mendukung, termasuk terhadap penyandang disabilitas.

Teringat materi Fikih Difabel oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang disampaikan oleh Ibu Ro’fah, M.A., Ph.D. Beliau menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai rujukan utama umat Islam memandang penyandang disabilitas secara netral. Al-Qur’an tidak memandang disabilitas sebagai hukuman dari Allah, bukan pula sebagai “berkah” atau mukjizat, dan tidak pula menunjukkan kelemahan iman seseorang.

Baca Juga  Sebuah Upaya Agar Indeks Membaca Orang Indonesia Tak Jeblok

Menghormati dan memberdayakan penyandang disabilitas perlu dimulai dari pola pikir yang memandang mereka sebagai individu setara yang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Dalam konteks ini, kajian keagamaan memiliki peran penting untuk menciptakan ruang di mana penyandang disabilitas diberdayakan melalui pemahaman keagamaan yang inklusif dan berkeadilan. Sehingga terbangun masyarakat yang saling menghormati dan mendukung satu sama lain.

Editor: Assalimi

Kemal Pasha Wijaya
19 posts

About author
Juru Bahasa Isyarat sekaligus Pemuda yang Sedang Belajar tentang Kesetaraan dan Inklusivitas.
Articles
Related posts
Perspektif

Beasiswa Pendidikan Muhammadiyah untuk Semua

3 Mins read
Pendidikan tinggi di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam hal aksesibilitas. Terutama bagi masyarakat dari golongan ekonomi lemah dan yang tidak termasuk…
Perspektif

Tiga Model Pembacaan Tafsir Gender Modern Menurut Hadia Mubarak

2 Mins read
Isu teologis menjadi salah satu unsur yang paling mendesak bagi umat Muslim di era modern. Salah satunya adalah aspek penafsiran ayat-ayat al-Qur’an…
Perspektif

Etika Islam dan Semangat Filantropisme (3): Filantropi Sebagai Kritik

2 Mins read
Transformasi konsep-konsep kesalehan dalam Islam yang diterjemahkan dalam gerakan sosial dan filantropi yang saat ini berkembang tentu memiliki makna tersirat yang kuat….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *